Selasa, 19 April 2016

Surat dari Mama

Tanah Papua. Foto ilustrasi: Ist.
Anakku,
Perkenankan aku hadir, mengungkapkan kegelisahan hati ini, melalui untain bait kata-kata, melalui surat ini. Mungkin kata-kata saya ini kurang berkenan di hatimu, anakku, saya meminta maaf. Tetapi saya berusaha hadir di hadapanmu melalui surat ini, apa adanya, dengan segala yang ada padaku.

Anakku,
baiklah sebelumnya kuucapkan rasa syukurku kepada Bapa di Sorga, Sang Pemberi Kehidupan. Hanya karena Dia, saya masih dapat bertahan, memberimu makanan ala kadarnya dari segala keterbatasanku saat ini, dan engkau hidup. Menemanimu, di setiap hidup, karya, dan perjuanganmu, anakku.

Sebelum terlambat, biarlah kutuliskan surat ini untukmu.

Anakku, kita memang sepantasnya bersyukur pada-Nya. Dia yang di Ataslah yang memberimu diriku untuk engkau tempati, anakku. Aku tidak membencimu, hanya karena engkau berkulit hitam, dari rumpun Melanesia, anakku.


Aku tidak membencimu, hanya karena engkau berambut keriting, anakku. Akulah ibumu, dan aku sangat mencintaimu, anakku. Akulah ibumu, yang memelihara engkau, dengan susu dan madu, dan engkau hidup. Terpujilah Bapa yang di Atas selama-lamanya, atas segala berkat-Nya ini.
Anakku,

Aku adalah Ibumu. Aku bangga karena engkau memanggilku ‘Mama’. Akulah Ibumu, tanah Papua, yang memeberimu kehidupan dengan segala yang ada padaku. Dan engkau hidup. Selamanya aku adalah Ibumu, dan selamanya engkau adalah anakku. Engkaulah permata hatiku.

Anakku ,di saat-saat seperti ini, senyuman sering tersungging di bibirku. Bukan senyuman sinis, anakku, tetapi senyuman kebahagiaan, mengenang  masa lalu hidup kita yang sangat indah dan harmonis.

Anakku,

Sejak engkau di dalam kandungan ibumu, aku menanti-nantikan engkau dengan senang hati. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Dia yang di Atas, yang telah menghadirkanmu, dan mempercayakanmu untuk diasuh olehku. Terus terang, aku bangga engkau lahir.

Aku bangga melahirkan manusia sepertimu. Engkau unik. Tidak ada anak sepertimu yang dimiliki oleh ibu-ibu yang lain di dunia, seperti Afrika, Amerika, Australia, Asia, Sumatera, Jawa, dan lain sebagainya. Engkau unik. Dan engkau yang unik itu dipercayakan Dia yang di Atas padaku. Sungguh, anakku, bangganya aku memilikimu; Anakku, manusia Papua.
Anakku,

Ketika engkau tumbuh besar, aku berusaha membentuk karaktermu. Aku berusaha membuatmu merasa memiliki semuanya yang kita punyai. Dengan kerasnya alam Papua, engkau kuajarkan untuk menjadi pribadi yang tidak pernah mengenal kata menyerah.

Engkau berusaha kubentuk menjadi pribadi yang menyukai tantangan, dan menjadikan tantangan dan kesukaran menjadi semangat untuk memperjuangkan hidup yang lebih baik lagi.

Anakku. Walau demikian, engkau adalah permata hatiku. Aku menyayangimu. Dan kuberi apapun yang kau butuhkan, hanya dengan sedikt kerja keras darimu, asalkan kau mau sedikit usaha. Anakku, aku telah menyediakan diriku sebagai tanah yang sangat subur, dimana engkau dapat bercocok tanam dan hidup.

Aku telah menyediakan diriku sebagai air, di mata-mata air di seluruh tanah ini. Itulah air susu ibu, anakku. Dan dengan meminumnya, engkau kini tumbuh dewasa. Dengan kerasnya alam, aku merangsang engkau untuk dapat mengolah dan memanfatkan otak, pikiran, pemberian Dia yang di Atas, untuk kehidupanmu sehari-hari. Dan engkau berhasil. Engkau memang jenius, anakku.
Anakku, akhirnya ingin kukatakan, bahwa aku ingin membentukmu menjadi manusia yang berwatak keras, dengan mimik muka yang keras. Itulah cirimu, anakku. Itulah gambaran semangat hidupmu yang selalu dijiwai oleh kerja keras, dan pantang menyerah, yang hidup di tengah kerasnya alam, tetapi melimpah ruah susu dan madunya, anakku.

Aku sangat bangga padamu.  Aku bangga, karena di dalam hitam kulitmu, mimik  mukamu yang oleh sebagaian orang disebut menyeramkan, Dia yang di Atas memberimu hati putih, putih seputih salju abadi, anakku. Hatimu lembut, penyayang, punya hati nurani, dan berbela rasa terhadap diriku sebagai ibumu, juga terhadap sesama dan alam. Inilah yang menjadikanmu sampai saat ini disebut ‘manusia alam’; manusia yang sangat berkaitan erat dengan alam. Aku bangga padamu, anakku, manusia hitam, pemilik hati putih, seputih salju abadi.

Anakku, bila kau sakit, akulah yang telah menyediaimu obat-obatan alami yang sangat berkhasiat menyembuhkan semua sakit yang engkau derita. Anakku, bersamaku, engkau aman, tenteram, dan sejahtera. Terpujilah Dia yang di Atas, yang memberkatiku, dan memberkatimu, anakku.

Anakku,

Kehidupan kita dahulu sangatlah indah. Kita hidup saling berdampingan, dan saling membutuhkan. Kita saling berkaitan erat. Dan kita hidup harmonis, saling memberi. Kita hidup dahulu, saling menghargai sebagai layaknya anak dengan ibunya. Kita saling menghormati dan saling menjaga. Itulah kehidupan kita dahulu.

Anakku,

Engkau, dengan setiap suku bangsamu, kubiarkan menempati wilayahnya masing-masing dariku. Aku berusaha adil padamu, anakku. Aku memeberikan semua yang engkau perlukan. Ketahuilah, aku telah membagi diriku, dam memperhatikan dan memeliharamu masing-masing, dengan caraku sendiri di tempat tinggalmu masing-masing.

Di dalam kelompok-kelompok suku bangsa itu, engkau hidup. Tetapi dari sanalah engkau kuajari  rasa saling menghargai antara sesama suku bangsa. Engkau kuajari bagaimana harus hidup harmonis, walau ada sedikit perbedaan antar kolompok suku bangsamu. Anakku, aku bangga padamu. Ketahuilah, jauh di balik kelompok suku bangsamu itu, engkau hanyalah satu. Kulitmu sama sama hitam. Rambutmu sama-sama keriting. Engkau adalah satu: Papua.

Anakku,

Ketika engkau telah tua, dan telah mendapat perhentian, seperti nenek moyangmu, Aku berduka, anakku. Tetapi yang lebihnya dari itu, aku juga bangga padamu, karena engkau akan kembali lagi ke pelukanku. Aku mencintaimu, anakku, selamanya engkau adalah anakku, dan selamanya engkaulah permata hatiku, manusia berkulit hitam, pemilik hati putih.

Anakku,

Ketika engkau berjuang untuk eksistensi kita sebagai sebuah bangsa, aku juga turut berjuang dengan caraku, anakku. Dan ketika Sang Sampari berkibar, sungguh, bangganya aku ini. Yang harus kamu tahu, anakku, akau akan sangat bangga, ketika engkau merasa bangga sebagai satu bangsa: Papua, dan akan ikut bersedih, jika kalian terjebak dalam jebakan perbedaan, anakku.

Akulah ibumu, dan akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi denganmu. Karena harus kamu tahu, bahwa kebanggaan dan sukacitamu sebagai sat bangsa adalah juga sukacitaku. Dan kesedihan dan dukacitamu dalam penjara suku, adama dan golongan adalah juga dukacitaku.
Anakku,

Sejak hari bersejarah itu, setelah kau pilih kita bergabung dengan mereka di sana, engkau tahu anakku, sakitnya hati ini. Mengapa anakku?

Tubuhku mulai dikoyak-koyak, anakku. Besi-besi panas menancap masuk  hingga ke dasar tubuhku yang paling dalam, anakku. Semua isi perutku diambil mereka semuanya. Anakku, aku kini mulai tidak berdaya. Mereka dengan kasarnya mengambil semua kepunyaanmu,  harta warisanmu itu, yang selama ini kusimpan jauh di dalam tubuhku. Anakku, aku mulai tidak berdaya.  Apa kau rela membiarkan harta warisan leluhurmu ini diambil semuanya oleh mereka, anakku?

Anakku,

Hutan-hutan tempat engkau bermain, tempat suaka margasatwa bernyanyi kini mulai dibabat, anakku. Anakku,  gunung-gunung tinggi dan danau tempat bersemayam roh leluhurmu, mulai kau izinkan untuk dicemari. Anakku, aku besedih.

Dengan mataku sendiri aku melihat engkau dengan bangganya berusaha mendatangkan proyek penghancuran atas diriku. Anakku, engkau dengan bangganya menempati kursi-kursi kepemimpinan, tetapi buta nurani ketika engkau menjadi pemimpin.

Anakku, engkau sendiri yang malah menandatangami proyek proyek penghancuran tubuhku. Anakku, sadarkah engkau dengan segala perbuatnmu ini? Anakku, dimana nuranimu kau siman? Teganya kamu melihatku begini ...

Anakku, harusnya engkaulah yang harus melindungiku. Dari mana engkau hidup, bila tidak di atasku, dan bersamaku?  Siapa yang akan menjagamu, bila aku tidak berdaya lagi? Ibu Afrika, Amerika, dan  lainnya hanya akan memeperhatikan anak-anak mereka, anak Afrika, Amerika, dan lainnya. Aku, Ibumu, Mama dari semua orang Papua lah yang akan memperhatikanmu, anakku Papua. Anakku,  kini aku bertanya; “Sampai kapan besi-besi panas yang tertusuk jauh di dasar tubuhku ini, yang menghisap urat nadiku ini kau lepaskan?

Anakku,

Kini, kulihat kebersamaanmu itu mulai pudar. Rasa sebangsa dan setanah airmu mulai hilang. Bela rasa dan hati nuranimu mulai tumpul. Anakku, mengapa engkau mulai demikian? Aku tidak mengajarimu demikian. Anakku, darimana kau dapatkan semua jalan menuju kebinasaan ini?
Anakku,

Aku perhatikan engkau baik-baik. Kepentingan diri sendirilah yang mulai kau perjuangkan. Kepentingan kelompokmulah yang utama. Engkau anakku, dengan segala kehormatan dan kekayaanmu, engkau mulai melupakan diriku. Engkau mulai melupakan Ibumu, yang membesarkan engkau dengan air susu dan madu.

Kini engkau mulai melupakan saudara sebangsamu, yang sementara ini hidup tersingkir, terbuang di tanahnya, bahkan terhadap ribuan orang yang dari waktu ke waktu cepat kembali ke pelukanku karena timah panaspun, kau hanya menutup mata.

Anakku, kini kulihat semua kebijakanmu hanya sarat KKN. Anakku, sadarlah! Engkau kini dibentuk menjadi sebuah  baut yang hanya menguatkan sebuah roda raksasa, yang terus berputar. Sayangnya roda itu berputar ke arahmu, yang akan menggilas bangsamu, masa depanmu dan anak cucumu, juga akan menggilas hari esokmu, dan hari esok anak cucumu yang akan kau lahirkan.
Anakku, sebagian dari engkau telah mengenyam pendidikan. Sadarkah engkau? Anakku, sekali lagi; sadarkah engkau dimana engkau berada, apa yang terjadi,  dan di mana posisimu di tengah semua gejolak ini?

Anakku,

Hatiku sedih. Hatiku sakit, seperti disayat silet berlumur sari cabai, memikirkan masa depan kita. Masa depan engkau anakku, dan anak cucumu nanti, dan masa depan aku, ibumu. Jujur, masa depan kita suram, anakku. Bagaimana kiranya kehidupan kita kelak, anakku?
Anakku, turutilah nasihatku ini.

Janganlah menjadi sekrup yang menguatkan roda raksasa ini, yang terus berputar ke arah kita untuk menggilas seluruh impian, cita-cita, dan harapan hidup kita di tanah ini. Berhati-hatilah anakku, dalam setiap tindakanmu. Di dalam benakmu, ingatlah selalu Tuhanmu, sesamamau sebangsa, dan petuah dari leluhurmu. Ingat perjalanan hidup kita dahulu, sampai saat ini.

Anakku, waktu tidak akan menunggu kita. Ibumu ini hanya dapat mengungkapkan perasaan padamu, hanya melalui gejolak alam yang selalu  tidak kau tangkap. Anakku, engkaulah tumpuan harapanku.
Engkaulah tumpuan harapan semua alam raya Papua. Engkaulah tumpuan harapan saudara saudarimu sebangsa dan setanah air Papua. Kini, akan seperti apa kehidupanmu kelak, haruslah kau tentukan dengan melakukan sesuatu, sekarang juga. Ingat, saat ini juga anakku..

Akakku, sekali lagi, lakukan sesuatu sekarang juga, demi kebaikan kehidupan kita bersama anakku. Demi kehidupanmu di atas tanah ini sebagai sebuah bangsa. Demi kehidupan  anak cucumu nanti. Demi keharmonisan hidup kita.

Anakku,

Walau engkau mengkianatiku, engkau tetaplah Anakku. Engkau permata hatiku, dan takkan kubiarkan engkau sendirian. Buatlah sesuatu, saat ini juga, demi kehidupan kita yang lebih baik di hari esok, anakku.

Aku tetap mencintaimu, anakku, karena engkaulah anakku. Selamanya akulah ibumu, dan engkaulah mutiara terindah pemberian Dia yang di Atas padaku untuk kuasuh, dan kuanggap engkau anakku. Engkaulah permata hatiku, anakku; anakku Papua, pemilik hati putih, seputih salju abadi.

Anakku, kini kutunggu balasan surat darimu. Kutunggu balasan suratmu melalui tindakan dan aksi nyata. Anakku, selamanya akulah ibumu, dan aku berada di setiap hidup, doa, karya dan perjuanganmu. Bebaskanlah diriku, dirimu, dan bebaskanlah anak cucumu yang akan hadir nanti di tanah Papua ini, dari tirani penindasan dan penderitaan ini. Berjuanglah, ayo ... berdirilah, dan lakukanlah! Gapailah masa depan yang indah gemilang untuk kehidupan kita di alam bebas.

Salam dan doaku, untukmu, anakku Papua. Dia yang di Atas akan selalu bersamamu, dalam setiap perjuangan kebenaranmu. Salam dan doa dari roh-roh  leluhurmu Papualah  yang senantiasa akan mengiringi langkahmu meniti jalan perjuangan ini.

Amin.

Ibumu tercinta,

Tanah Papuua. 


Penulis: Sanimala B.
(Mahasiswa Papua, kuliah di tanah Jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar