Senin, 09 Mei 2016

Menyimak Sekelumit Gagasan Freire

Foto Paulo Freire yang diambil dari harirsilk.wordpress.com


Penulis: Johanes Supriyono*

Tulisan ini berupa ringkasan dari tulisan tentang pandangan Paulo Freire tentang pendidikan. Sumbernya ada dua seperti saya cantumkan pada tulisan ini. Saya menandai gagasan-gagasan Freire yang bagi saya pribadi menarik dan kemudian saya sarikan di sini. 

Harapan saya, tulisan ringkas ini pun memberikan suatu yang berharga bagi kita di Papua ketika bercakap-cakap tentang pendidikan.

Paulo Freire. Pedagogi Hati. (terjemahan A. Widyamartaya). Kanisius: Yogyakarta, 2001.

Beberapa pokok gagasan yang menarik untuk saya cermati kemudian dan sekaligus dielaborasi adalah: ketidaknetralan pendidikan. Artinya, pendidikan, dalam pandangan Freire, memihak pada yang miskin dan sengsara; mereka kaum tertindas dan termarginalisasi oleh yang berkuasa.


Secara tegas pendidikan yang diproposisikan oleh Freire melibatkan pendidikan politik sebagai salah satu agenda utamanya. Pendidikan tidak sekadar sebagai upaya untuk mengerti realitas melainkan mempertanyakan (mengkritisi) realitas. Realitas tidak dipandang sebagai suatu yang ada begitu saja melainkan melibatkan aktor tertentu yang memproduksi realitas atau yang mengkondisikan paradigma tertentu untuk memahami realitas.

Sebagai contoh realitas politik tidak mengasing dari kehidupan banyak orang. Kekuasaan tidak serta merta datang begitu saja dan otomatis melegalisasi yang berkuasa untuk bertindak ini atau itu. Pendidikan progresif yang digagas oleh Freire mendidik orang untuk mempertanyakan kesahihan penguasa menjalankan pemerintahan. Pendidikan, dengan demikian, berperan sebagai daya dorong (motivator) yang memberanikan orang-orang untuk memandang realitas di hadapannya, tidak mengizinkan realitas begitu saja menempati ruang publiknya.

Bertanya merupakan tindak ekspresi individu terhadap realitas di luar dirinya secara aktif menggugat adanya yang lain itu. Bertanya adalah lambang pemberontakan yang tidak seharusnya dimatikan atau dibunuh.

Freire dengan yang saya bahasakan sebagai pemberontakan menghendaki bahwa pendidikan bukanlah relasi hierarkial pendidikmurid yang menempatkan murid sebagai subordinan melainkan dalam situasi sosial-politik spesifik menjadi proses pencerahan untuk mengerti dunia hidupnya. Yang ditegaskan oleh Freire bukanlah pengertian akan segala hal melainkan kehendak dan kemauan keras untuk mengerti banyak hal.

Membangun hasrat orang untuk mengumpulkan informasi semakin banyak bagi dirinya sendiri itu jauh lebih sulit daripada mempasifkan orang untuk menerima (receptif) informasi dari orang lain.

Pendidikan metafora gua Plato

Untuk memulai bagian ini saya ingin meyakini bahwa pendidikan tidak berlari menjauh dari realitas sehari-hari yang paling akrab. Pendidikan, yang sangat saya pahami sebagai proses pemanusiawian, tidak dapat melayang tinggi menjauh dari kepedihan hidup sesama. Sebaliknya pendidikan mesti menukik di antara penderitaan yang diderita oleh mereka yang paling menderita.

Maka itu pendidikan yang sesungguhnya membangun kehendak untuk melepaskan diri dari belenggu ketidakmautahuan akan penderitaan orang lain atau ketidaksadaran akan penderitaan diri sendiri. Dalam pengertian yang paling luas pendidikan adalah pembebasan dari belenggu; serupa dengan seorang yang memaksa diri ke luar dari kungkungan gua dalam perumpaan yang dibuat oleh Plato. 

Yang dipikirkan oleh Freire tentang pendidikan secara relatif mendekati pemikiran Plato tersebut. Pendidikan mesti memihak kepada kepentingan mereka yang terbelenggu dan bukan basa-basi ketundukan pada yang berkuasa. Dalam bentuk yang paling banci dan ini yang saya temukan baru-baru saja adalah pendidikan yang diabdikan pada kepentingan kaum neoliberal yang menguasai pasar. Kekuatan kapital mereka telah demikian berkuasa untuk membuat orang menyerahkan dirinya dalam ketidakberdayaan untuk menjadi abdi karena desakan bertahan hidup.

Lebih lanjut pemikiran Freire tentang pendidikan merupakan proses penyadaran dan sekaligus partisipasi radikal dari kaum tertindas untuk merdeka dan menentukan "nasib" hidupnya sendiri. Pendidikan adalah proses pendampingan agar manusia terlepas dari belenggu penindasan dan keterikatan pada yang berkuasa. Pendidikan adalah pemberdayaan anak didik untuk dapat sadar dan menggugat komunitasnya.

Ilustrasi yang menarik dan sekaligus kontras untuk memperlihatkan kegagalan pendidikan di sekolah di Jakarta tempat saya dulu mengajar sesuai kerangka pemikiran Freire adalah indoktrinasi palsu hubungan antarsiswa berbeda kepercayaan. Proses penjejalan doktrin-doktrin yang keliru menyangkut cara beragama mereka mencipta suatu sekat yang membuat canggung dalam hubungan satu dengan yang lain karena aku berbeda dengan mereka dan perbedaan itulah yang ditonjolkan.

Perbedaan malah menjadi titik tekan sehingga tidak membangun sebuah suasana kondusif bagi solidaritas. Yang mencuat ke permukaan adalah bahwa kita berbeda dan tidak seharusnya kita dapat melakukan suatu hal bersama-sama karena kita berbeda.

Pendidikan [agama] semakin mengarahkan pada diri sendiri dan tidak menuju pada pembekalan ortopraksis yang altruis. Kondisi yang demikian menuntut siswa untuk tidak banyak berinteraksi dengan dunia  real yang lain: teman-temannya yang berbeda kepercayaan dan sekaligus mereka yang menderita sengsara.

Pendidikan yang berpihak, sebagaimana digagas oleh Freire, memberikan pendasaran yang kokoh bagi pedagogi pemanusiaan murid-murid dengan terlibat dalam dunianya; dunia yang menanggung azab dan sengsara, dunia kaum terpinggirkan. Justru kalau pendidikan agama berangkat dari sikap kita terhadap realitas kegagalan masyarakat, lenyapnya solidaritas terhadap yang miskin dan sengsara maka kita akan menemukan bahwa pendidikan agama bukanlah proses diferensiasi dari yang beragama berbeda melainkan membangun kebersamaan untuk membangun jagat hidup manusia yang lebih baik.

Maka itu pendidikan agama yang humanis mensyaratkan sebuah usaha untuk retrospeksi pada kekurangpelibatan dalam urusan sosial sehari-hari. (lihat. Agama Cinta Agama Masa Depan)

Dedy Kristanto.Pendidikan Religiositas sebagai Media Olah Rasa dalam Basis Nomor 01-02, Januari-Februari 2001.

Pedagogi religiositas yang ditawarkan  diambil dari rumusan Denis Collins bahwa "bereksistensi berarti bertindak secara politis" (hal 56). Dalam rumusan pendidikan agama di Indonesia dapatlah dirumuskan bahwa konteks sosial yang demikian memprihatinkan mampu memberikan kondisi khusus untuk penumbuhan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan pelingkupan kehidupan pada peserta didik secara istimewa. Konteks merupakan locus refleksi siswa yang sudah diterangi dengan kesadaran sosial yang wajar.

Dengan demikian saya merasa sah untuk menyimpulkan bahwa pendidikan adalah proses mengembangkan kemampuan siswa untuk bertindak politis demi hominisasi. Bagaimana siswa dapat merefleksikan lingkungan hidupnya? Bagaimana siswa mengakrabi lingkungan tempatnya bertumbuh sehingga tidak terasing? Bagaimana siswa dapat mengenali permasalahan-permasalahan sosial-religius dalam masyarakat dan menggugatnya? Maka itu pendidikan pada hakikatnya merupakan "percakapan" guru-murid-realitas dunia.

"Pedagogi religiositas hendak mengubah model pelajaran agama tradisional menjadi model dialogal transformatif. Usaha ini sebenarnya mau menempatkan peran agama dalam realitas kehidupan yang nyata di mana agama terlibat mencipta struktur sosial dan politik sistem kekuasaan. Demitologisasi agama terus dilakukan agar para siswa menjadi semakin mengerti bahwa selama ini agama telah dijadikan alat untuk menciptakan politic of fear" (hal. 57)

"Freire skeptis bahwa pendidikan tradisional dapat melahirkan pribadi-pribadi yang berpikiran kritis yang dapat menjadi agen perubahan sosial. pendidikan tradisional hanya menekankan penumpukan pengetahuan . baginya, pendidikan tidak berhenti di situ, tetapi harus membuat manusia berpikir kritis dan tergerak untuk mnejadi agen-agen perubahan sosial."

"Arah dan tujuan pendidikan Freire jelas: pendidikan yang dituntut situasi kita adalah pendidikan yang membuat membuat manusia berani membicarakan masalah-masalah lingkungan dan turun tangan dalam lingkungan tersebut; pendidikan yang mampu memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kepercayaan dan kekuatan untuk menghadapi bahaya-bahaya tersebut; bukan pendidikan yang membuat akal kita menyerah patuh pada keputusan-keputusan orang lain."

Kiranya kita bisa menimba pengetahuan dari Freire untuk mengubah paradigma yang berlaku dalam pendidikan kita di Papua. Dengan perubahan paradigma, kita bisa berharap bahwa pada generasi yang akan datang kita temukan insan-insan Papua yang kritis, sangat terlibat dengan kehidupan sesamanya, mampu berbela rasa, dan tidak menyerah, dan terus membangun kehidupan bersama yang lestari.

*Johanes Supriyono adalah penulis buku Semiotika dan Melangkah ke Dunia Luas (Pengulatan Anak-anak Papua). Alumnus Magister Universitas Indonesia itu penulis kolom di majalahselangkah.com. Ia bisa dihubungi melalui: hansprie@gmail.com

-----------------------------------------------------
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Selangkah, dimuat kembali untuk tujuan pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar