Penyakit Apatisme (Foto: Ilustrasi) |
Penulis: Mikael Kudiai
Pengantar
Setidaknya di Yogyakarta, saya sudah
menjelang empat tahun. Hiruk-piuknya kota ini terkadang susah sekali untuk kita
pila, terutama pada situasi akhir-akhir ini. Memahami situasi pada akhir-akhir ini
memang sedikit sulit, di kalangan mahasiswa Papua, situasi kota Yogyakarta, dan
situasi militer sendiri yang sering bermain peran dalam melegitimasi kekerasan
struktural dan fisik di kalangan masyarakat Yogyakarta sendiri.
Dengan melihat situasi seperti itu,
ditambah dengan berbagai pertimbangan yang tertumpuk dalam kepala saya, maka
lahirlah ide untuk mencoba menganalisis secara struktual tentang situasi
mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Sebelum melanjut, disini saya akan
menjelaskan soal siasat terbentuknya sikap apatisme mahasiswa Papua yang secara
dialeitis dan historis terbentuk karena, pertama, kurikulum pendidikan kolonialisme
Indonesia di Papua yang mengakibatkan kekerasan struktural itu tercipta, kedua,
situsi Yogyakarta sendiri dan akibatnya terhadap mahasiswa Papua, ketiga, meninjau
kembali data Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2014 yang bocor kemarin, dan keempat,
akibat terjadinya sikap apatisme di kalangan mahasiswa Papua di Yogyakarta.
Pendidikan
Kurikulum Indonesia di Papua
Ketika Soewardi Soerjaningrat kembali
ke Indonesia pada September 1919, kemudian ia segera bergabung dalam sekolah
binaan saudaranya. Pengalaman mengajar yang sudah dia alami waktu dia di
sekolah binaan saudaranya, kemudian dia digunakan untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
atau Perguruan Nasional Tamansiswa.
Saat ia genap berusia 40 tahun, ia
mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa (Dwi Suswono, 2003: 159).
Disamping Ki Hadjar Dewantoro
membentuk sekolah terebut, dia juga merekrut para pemuda mahasiswa dan pelajar
Indonesia untuk belajar.
Sistem kurikulum pun dia buat yang
berkonteks dan keberhasilan dibentuknya Tamansiswa merupakan langkah awal,
bagaimana Indonesia melahirkan kader-kader pejuang yang sungguh-sungguh
berjuang demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Belajar dari perjuangan sistem
pendidikan yang berkontekstual yang dibentuk Ki Hadjar Dewantoro, di Papua
tidak ada hal seperti demikian, walau Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi
Papua sudah digulirkan hingga sekarang menjelang sekitar 6 tahun.
Dalam UU Otsus secara transparan dan
sempurna, telah di atur tentang pendidikan yang kontekstual[1]. Otsus
yang dilegitimasi pada saat periode kepresidenan Megawati, lahir karena murni
status politik Papua Merdeka[2]. Dengan
lahirnya status politik Papua Merdeka dan diberikannya Otsus oleh elit Jakarta,
rakyat Papua menggiurkan penolakan keras dan Otsus pun hingga sampai saat ini
tidak berjalan dengan baik. Yang diperparah dalam bidang pendidikan.
Di sisi lain, kurikulum Indonesia di
Papua, bagai praktek pendidikan di sekolah-sekolahnya binatang[3].
Bagaimana tidak? Orang Papua dalam periode pendidikan, berjalan tak beraturan
dan tak sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat Papua sendiri.
Dengan adanya sistem pendidikan yang
kurang masif, maka legitimasi kehancuran pun secara dinamis terjadi, entah
dalam masyarakat kelas bawa, menengah dan kelas atas.
Sekarang apakah benar, pendidikan
Papua itu melegitmasikan adanya kekerasan struktural dalam masyarakat Papua?
Nah untuk menjawabnya, saya punya
pengalaman. Beberapa waktu lalu, saya bersama salah satu kakak saya dari Papua,
namanya Ibiroma Wamla[4]. Kami
berdua pergi kampus Universitas Sanata Dharma (USD) bertemu dengan dosen
sastra.
Disana, saya dengan kakak saya ini sempat
diberitahukan begini,
“Saya ini heran dengan sikap mahasiswa
Papua di Yogyakarta,” ujar dosen itu.
“Kenapa anak Papua itu maunya
mabuk-mabukan, maunya buat kekacauan, buat onar, dan lain-lainnya. Setelah saya
pelajari lagi lebih jauh tentang Papua, ternyata benar, semua sudah di bentuk secara
tersistematis untuk tidak mengenali diri mereka sendiri melalui pendidikan.
Makanya mereka lebih ekstrim menjadi orang lain.” Lanjutnya.
Coba kita melihat kembali situasi
pendidikan di Papua. Lebih dari yang sudah saya jelaskan di atas, kita orang Papua
sudah dan terus dibuat menjadi orang lain. Misal, ketika di bangku SD,
pendidikan yang didapatkan tak pernah diajarkan tetang, pahlawan-pahlawan
seperti Theys Hiyo Eluai, Tomas Wanggai, Arnold AP, dan beberapa tokoh pejuang
Papua lainnya sebagai pendidikan yang kontekstual di Papua.
Mungkin ini terlau jauh, juga misal
tentang budaya, belum pernah ada pendidikan yang diajarkan untuk anak-anak
Papua tentang, misal dalam suku Mee, Papua, bagaimana membuat Koteka (pakaian
adat laki-laki), Moge (pakaian adat perempuan), atau pun Noken. Saya punya
pengalaman yang cukup ambisius tentang pendidikan. Walau pun ada beberapa yang
memulainya dengan inisiatif sendiri untuk membuat pendidikan yang kontekstual,
pasti tekanan dari dinas pendidikan setempat atau dari aparat keamanan selalu
memberikan teror atau intimidasi.
Hal paling gila adalah, rata-rata
mahasiswa Papua setelah kuliah mulai mengetahui tentang siapa sebenarnya,
Nelson Mandela, Marten Luther King JR, Mahatma Gandhi, dan lain-lainnya, yang
sebenarnya mesti itu diajarkan di bangku SD, SMP, atau SMA.
Hal seperti ini yang membuat kita
mahasiswa dan masyarakat Papua, menjadi orang lain. Saya benarkan apa yang
disampaikan oleh dosen USD tersebut, bahwa kita dibentuk menjadi orang lain
karena sistem pendidikan kolonial yang disetting oleh Jakarta.
Militer
yang “Provokatif” di Yogyakarta
Beberapa waktu lalu, saya membaca
statusnya[5] Made
Supriatma yang diposting pada tanggal 02 Desember 2015 lalu tentang munculnya
Paksi Katon di Yogyakarta yang memprovokasi anti separatisme. Kalimat yang
dituliskan Made di bagian terakhirnya begini,
“Yang
menjadi persoalan adalah haruskah soal-soal separatis dan unjuk rasa ini
ditangani oleh orang semacam Muhammad Suhud? Mengapa aparat-aparat keamanan
lebih suka menggunakan 'proxy' orang-orang seperti Suhud?”
Pertanyaan ini mempertegas, sebenarnya
ada apa dibalik munculnya Paksi Katon dan beberapa organisasi taktis lainnya
yang dibentuk untuk membungkam dan membunuh demokrasi di kota Yogyakarta.
Untuk menjawab pertanyaan ini, pemetaan
persoalan provokasinya anti separatisme bukan hal baru bagi mahasiswa Papua
juga organ-organ kiri di Yogyakarta. Hal ini hampir setiap tahunnya terjadi dan
dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Paksi Katon, Front Anti Komunis
Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Jogja Rembuk, Banser, GP Ansor,
Pareanom, Gerakan Pemuda Islam, Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, dan
Pagar Nusantara yang menjadi dalang utama pembunuhan demokrasi dengan
memanfaatkan isu-isu anti separatisme dan komunisme di Yogyakarta.
Sekarang, mengapa dengan begitu saja,
militer dalam hal ini aparat-aparat keamanan membiarkan kemunculan adanya unsur
kelompok-kelompok tersebut bermain di kalangan mahasiswa dan masyarakat yang
berada di Yogyakarta?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya
punya pengalaman. Saya bersama teman-teman saya dari Aliansi Mahasiswa Papua
[AMP] punya pengalaman yang cukup ambisius dengan keberadaan
organisasi-organisasi tidak jelas ini. Pengalaman kami ketika kami melakukan
aksi demonstrasi pada peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat pada
01 Juli 2014[6]
lalu di Yogyakarta.
Hamin dua hari, sebelum tanggal 1
Juli, Paksi Katon melakukan sebaran isu anti separatisme di setiap titik di
Yogyakarta dengan memasang paleho dan spanduk di setiap titik-titik pusat kota
Yogyakarta. Tak jauh dari tempat pusat mahasiswa Papua, di Jalan Kusumanegara,
depan Asrama Papua Kamasan I pun ditempeli baleho dengan tulisan, “Yogyakarta
Anti Separatisme”[7].
Pada saat itu kami tidak menanggapi dan memberikan pernyataan balik. Hingga tangga
01 Juli tiba.
Kami melakukan aksi demonstrasi damai
dari rute Asrama Kamasan I Papua, hingga long
murch ke Malioboro. Tidak sampai disana, tepat di Makam Pahlawan, kami
dihadang oleh sekitar ratusan aparat keamanan, dalam hal ini Polisi. Polisi
menyuruh kami tidak melakukan aksi demonstrasi damai hingga ke Malioboro.
Setelah bernegosiasi, ternyata
pernyataan yang dikeluarkan oleh para kepolisian adalah ada kelompok tandingan
yang sedang mau menghadang aksi kami. Kelompok itu adalah Paksi Katon.
Kejadian yang membuat saya sama
kawan-kawan semakin yakin, Paksi Katon dan Polisi bekerja sama untuk membunuh
dan membungkam ruang-ruang demokrasi pasca demonstrasi AMP adalah, pertama,
ketika kami dihadang, para aparat keamanan sama sekali tidak mengijinkan
demonstrasi kami berjalan hingga ke Malioboro, kedua, karena kami tetap mempertahankan
untuk tetap akan mau long murch ke
Malioboro, para pihak Polisi menyuruh Paksi Katon untuk mengibar spanduk
provokasi anti separatisme di Yogyakarta. Ketika, setelah para polisi menyuruh
dikibarkan spanduk tersebut, polisi juga menyuru ketua Paksi Katon, Muhammad
Suhut untuk berhadapan langsung oleh kami masa AMP. Itu beberapa kemungkinan yang membuat kami
semakin yakin, bahwa, Paksi Katon adalah organisasi legalnya aparat keamanan.
Lebih lanjut lagi, aksi kami pada saat
tanggal 01 Desember 2015 di Jakarta. Tiga hari sebelum keberangkatak kami masa
AMP dari Jogja ke Jakarta, spanduk provokasi Yogyakarta anti separatis dipasang
di setiap titik di Yogyakarta. Hingga tangga 30 November, kami berangkat.
Setelah sekitar 360 masa AMP ditahan
di Polda, saya ditelpon oleh salah satu kawan saya di Yogyakarta. Katanya
organisasi pengacau, Paksi Katon telah mengeluarkan pernyataan[8] dengan
mengatakan, “Yogyakarta kota pelajar, budaya, dan wisata yang aman damai telah
dikotori dan dibuat tidak nyaman oleh OPM. Saya mengajak semua warga Yogya
untuk peduli dan menjaga Yogyakarta dari gerakan separatis OPM ... Mari kita
bangkit dan usir gerakan separatis OPM di Yogyakarta."
Bersamaan dengan itu, Paksi Katon bersama
Polisi masuk di Asrama Papua Kamasan I dan membuat kekacauan di Asrama. Kebetulan di
depan asrama ada satu gambar berlukis Bintang Kejora. Nah, gambar itu saya
diberitahukan oleh teman saya bahwa yang menghapus gambar itu adalah Polisi
dengan memakai pisau sangkur mereka.
Hingga akhirnya Paksi katon bersama
dengan sekitar 29 organisasi tersebut, mengeluarkan pernyataan bahwa Yogyakarta
anti separatisme. Pernyataan tersebut juga dibenarkan juga oleh salah satu
anggota DPR Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Chang Hendryanto[9] dengan
mengatakan pihaknya sepakat dengan pernyataan yang sudah dikeluarkan oleh para
organisasi Paksi Katon.
Kalau isunya hingga membunuh dan
membungkam ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta, berarti seperti apa yang sudah
disampaikan[10]
oleh Aris Yeimo, Presiden Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (Ipmapa) di Yogyakarta,
bahwa, “Mengingat tindakan siar kebencian adalah tindak pidana dan diskriminasi
rasial. Ini adalah Pelanggaran HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 156 Junto
Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 4 Junto Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2008 tentang peghentian diskriminasi ras dan etnis, sehingga
para pelaku baik secara invidu maupun organisasi wajib diberikan sangksi sesuai
dengan aturan yang berlaku demi melindungi hak asasi manusia setiap warga
Negara Indonesia. Sembari mewujudkan prinsip negara Indonesia adalah negara
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”
Setelah dikeluarkan pernyataan dari
Ipmapa Yogyakarta, Paksi Katon dan beberapa organisasi anti separatisme lainnya
sempat melakukan seminar di UIN Sunan Kalijaga (Suka Yogyakarta). Momen
tersebut dihadiri juga dari kami mahaiswa Papua.
Diakhir seminar, salah satu mahasiswa
Papua, sempat bertanya, apa yang kalian pahami tentang separatisme dan
diskriminasi. Jawaban yang kami terima dari pemateri-pemateri tersebut melenceng
jauh, dengan mereka mengatakan, sebenarnya anti separatisme itu bukan ditujukan
kepada mahasiswa dan pelajar Papua di Yogyakarta.
Dengan pernyataan seperti itu semakin
jelas, bahwa apa yang mereka lakukan dan bicarakan dalam seminar tersebut,
pertama, organisasi yang diketuai oleh Muhammad Suhut ini masih membangun
sebuah polularitas walau isu yang mereka bangung benar-benar mereka tak mereka pahami,
kedua, organisasi semacam Paksi Katon ini murni bukan dari inisiatif Kraton
Yogyakarta, tetapi inisiatif mereka sendiri, dan ketiga, isu separatisme dan
anti komunis merupakan isu utama mereka untuk membangun dengan membungkam
ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta.
Disini semakin jelas, bahwa dari
perwakilan DPR Yogyakarta, Paksi Katon dan beberapa organisasi yang menyebarkan
isu anti separatisme, hingga para aparat keamanan, memiliki suatu garis
koordinasi untuk membungkam dan membunuh ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta.
Nah, dari sebaran provokasi isu di
atas, terlepas dari sistem keistimewaan Yogyakarta, dalam hal ini adalah posisi
Kraton Yogyakarta sendiri.
Berhubungan dengan posisi Kraton
Yogyakarta yang hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait dengan
tebaran isu anti separatisme di atas, Kraton Yogyakarta sendiri memiliki
sejumlah persoalan, di antaranya adalah legalitas pewarisan posisi Kraton
Yogyakarta sendiri, soal keistimewaan Yogyakarta yang berhak menjadi Gubernur
dan Wakilnya, dan tanah-tanah milik rakyat yang diklaim sebagai hak pakai oleh
Kraton Yogyakarta.
Misalnya soal Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat
Gronden (PAG) di Yogyakarta yang berdasarkan Rijksblad Kasultanan No.
16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi
milik kesultanan dan kadipaten. Ribuan hektar SG di seluruh DIY, kini
terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman) (Kabare, Juli 2007, hlm.
14-15). Selain SG, PAG masih luas juga, dan terkonsentrasi di Kulon Progo.
Kedua jenis tanah keraton itu merupakan sumber pendapatan kedua keraton itu
dari sahamnya di Hotel Ambarukmo, Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan padang
golf Merapi.
Pengelolaan tanah-tanah keraton itu
berada di bawah yurisdiksi kantor Paniti Kismo, yang dikepalai oleh GBPH
Hadiwinoto, adik Sultan HB X, dengan gelar Penghageng Kawedanan Hageng Wahono
Sarto Kriyo (Kabare, Juli 2006, hlm. 60-62). Legalisasi SG dan PAG melalui UU Keistimewaan
Yogyakarta, sudah berkali-kali ditekankan oleh Sultan Hamengkubuwono X (Kabare,
Juli 2007, hlm. 13).
Di tengah-tengah situasi persoalan di
atas, mahasiswa Papua selalu saja menjadi kambinghitamnya persoalan-persoalan
di atas oleh pihak-pihak aparat keamanan yang bergraunnya dimainkan oleh
organisasi-organisasi seperti Paksi Katon.
Rentetan kasus ketika keistimewaan
Yogyakarta menjadi persoalan yang semakin besar, ada banyak kasus-kasus yang
hingga sampai saat ini belum diselesaikan secara hukum oleh aparat keamanan dan
para pengadilan di Yogyakarta. Misalnya kasus pembacokan Paulus Petege[11], salah
satu mahasiswa Papua yang hingga kini pihak kepolisian tidak memberikan jawaban
apa-apa soal kasus ini, kedua pembunuhan Elizabeth Isir[12] di Rel
Kereta Api di Timoho yang hingga kini juga belum diselesaikan secara hukum,
ketiga, kasus pembacokan Yafet Adii[13] di
Selokan Mataram oleh kelompok-kelompok Patimura Mudah yang hingga kini aparat
keamanan tidak menyelesaikan kasus ini, dan masih banyak lagi kasus-kasus
pembunuhan hingga tabrakan misterius yang hingga kini belum diungkitkan oleh
pihak kepolisian di Yogyakarta.
Situasi ini menimbulkan sebuah
kekecewaan yang sangat fatal oleh mahasiswa Papua terhadap aparat keamanan dan
pengadilan negeri di DIY.
Disamping menimbulkan sebuah
kekecewaan terhadap sikap pemerintah DIY, traumatisnya rentetan isu pun
bergulir di kalangan mahasiswa Papua yang sedang berstudi di Yogyakarta. Dengan
adanya traumatis dan pandangan yang diskriminatif ini, mahasiswa Papua menjadi
dipojokan oleh sikap-sikap otoriternya aparat hingga membunuh mentalitas
mahasiswa Papua itu sendiri.
Apa lagi diperparah dengan kosntruksi
pandangan yang diskriminatif yang terbangun di Papua, pendidikan Papua yang
mengajarkan orang Papua menjadi orang lain, hingga terbawa di Yogykarta. Dan di
Yogyakarta malah diperpara dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan keamanan dan
Paksi Katon yang membangun isu yang sangat sensitif kepada mahasiswa Papua.
Akhirnya sikap apatis itu mulai muncul
di kalangan mahasiswa Papua itu sendiri. Apatis dengan menghiraukan persoalan
Papua, apatis dengan mengorbankan kuliah dan apatis dengan sistem kebersamaan
orang Papua yang terbangun hingga luntur dan lebur perlahan-lahan.
Meninjau
Data BIN Tahun 2014 yang Bocor
Beberapa waktu lalu data Badan
Intelijen Negara (BIN) Tahun 2014 tentang pemetaan orang Papua mulai dari
mahasiswa, pelajar, aktivis HAM, hingga rakyat Papua sendiri, bocor di
Australia. Isu bocornya data tersebut hebo di seluruh kalangan rakyat Papua[14].
Perbedaan yang mencolok antara data Kopasus tahun 2011 dan data BIN 2014 ada
pada sistematika dan strategi militer untuk membunuh orang Papua. Kalau data
tahun 2011, pemetaannya dan target ditujukan dan dilakukan dengan memberikan
daftar DPO. Tetapi kalau tahun 2014 semakin ringan. Lebih pada pembunuhan karakter
dan cara berpikir orang Papua.
Bocornya data BIN ini, dijelaskan di
bagian OPS bagian 1 proses pemetaannya hingga dari kalangan mahasiswa Papua
dari organisasi luar kampus hingga luar kampus di Yogyakarta. Seperti
paguyuban-paguyuban mahasiswa Papua, ikatan induk Ipmapa Yogyakarta, AMP Komite
Kota Yogyakarta dan organisasi-organisasi mahasiswa Papua di tingkatan kampus.
Dari proses pemetaan tersebut,
dijelaskan lagi soal targetan dan strategi yang akan dilakukan oleh BIN dengan
memakai Bantuan Kepolisian atau Intelijen (Banpol) yaitu mahasiswa atau rakyat
Papua sendiri.
Khusus di Yogyakarta, dijelaskan
secara menyeluruh seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Targetan dan
strategi tersebut dari akhir 2015 hingga awal tahun 2016, semakin parah.
Terbukti ketika, pertama, setiap paguyuban-paguyuban (organisasi kabupaten)
mahasiswa Papua sudah disibukan dengan berbagai kegiatan masing-masing, tetapi
tidak pada koordinasi Ipmapa Yogyakarta, kedua, banyak penyusup-penyusup yang
masuk di kalangan paguyuban mahasiswa Papua dengan memberikan
pelatihan-pelatihan yang pro terhadap NKRI dan militer. Misal seperti kegiatan
kepemimpinan, traning, workshop dan
lain-lainnya yang menjauhkan nasionalisme kepapuaan sendiri. Kasus ini terbukti
di ikatan mahasiswa Papua di Malang. Bagaimana BIN memakai mahasiswa Papua
melakukan seminar[15] yang
pro terhadap pemerintah Indonesia.
Ketiga, dijelaskan secara rinci
targetan-targetan BIN untuk membunuh kesadaran nasionalisme mahasiswa Papua
dengan seperti yang sudah dijelaskan di atas, minimal mendukung program MP3EI,
Proyek pembangunan, dan lain-lainnya di Papua. Dan ini sudah terbukti sendiri
di Yogyakarta. Seperti beberapa waktu lalu Freeport melakukan perekrutan
besar-besaran untuk mahasiswa Papua di Yogyakarta dengan memakai kampus-kampus
teknik di Yogyakarta. Misal, UGM, STTNS, dan UPN Veteran. Dalam acara seminar
di STTNS, saya sempat ikut seminarnya, tetapi apa yang dijelaskan dan dibawakan
di seminar itu? Pemateri membagi-bagikan kejayaan Indonesia untuk mahasiswa
Papua, dijelaskan sikap-sikap postif dari Freeport, dan lain-lain yang pro
terhadap program pemerintah Indonesia.
Pasca sebelum bocornya data BIN ini,
keyakinan para pemimpin organisasi Ipmana dan AMP dari berbagai pembacaan-pembacaan
situasi yang sering kami lakukan membenarkan ketika data BIN tersebut bocor.
Dari berbagai kasus dan permainan BIN
di atas, korban utama adalah mahasiswa Papua sendiri di Yogyakarta. Korba
tersebut melegitimasikan sikap apatis di tengah-tengah situasi kota Yogyakarta
yang benar-benar menjadi sebuah ladang pusat para militer bermain peran dengan
mengkambinghitamkan mahasiswa Papua demi kepentingan mereka.
Apatisme
Mahasiswa
Dari beberapa kasus yang sudah saya
jelaskan di atas, mulai dari pendidikan kolonialisme Indonesia yang diterapkan
di Papua, hingga berakibat pada perilaku, sikap dan cara berpikir orang Papua,
lalu masuk ke situasi Yogyakarta sendiri dengan tebaran isu anti separatisme
kepada mahasiswa Papua, juga meninjau data BIN, saya berkesimpulan bahwa, sikap
apatisme mahasiswa Papua setidaknya timbul karena hal tersebut.
Bagaimana tidak? Kekerasan struktural
di masa perbudakan struktural di Papua sudah dan terus melegitimasi hancurnya
Papua secara struktural. Proses yang panjang hingga mahasiswa Papua itu sendiri
apatis terhadap persoalan-persoalan Papua. Masalah di Papua itu tak hanya soal
perusahaan, pelanggatan HAM secara fisik, tetapi lebih parah adalah ketika
mentalitas dan cara berpikir orang Papua dihancurkan berkeping-keping hingga
orang Papua menjadi orang lain.
Lahirnya para borjuis-borjuis lokal
pun timbul karena pertentangan sistem kapitalisme di Papua. Juga borjuis-borjuis
lokal itu menjadi jaminan dan melegitimasi masyarakat kelas menengah dan bawa
di Papua.
Terakhirnya bahwa, untuk membongkar
ruang-ruang tersebut, tak cukup ketika kita hanya memahami dan mempraktekannya
dalam kehidupan. Tetapi persoalan seperti ini penting untuk menjadi bahan
penyadaran yang panjang. Minimal dalam bidang pendidikan yang terlepas dari
sistem pendidikan kolonialisme di Papua.
Penulis adalah
mahasiswa talapas.
Pustaka:
[1](Baca: http://docplayer.info/345109-Bagian-iii-pendidikan-di-era-otonomi-khusus-papua.html)
Dikutip pada 17 Januari 2016
[2] Skripsi
Agustinus Dogomo tentang “Dinamika Otonomi Khusus Papua”. Hlm. 129.
[3] (Baca: http://kudiaim.blogspot.co.id/2015/12/membayangkan-sekolah-binatang.html)
Dikutip pada 17 Januari 2016
[4] (lihat: https://www.facebook.com/Ibiroma?fref=ts)
Dikutip pada 17 Januari 2016
[5] (Baca: https://www.facebook.com/m.supriatma/posts/10153449964428533)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[6] (Tonton:
https://www.youtube.com/watch?v=kr5usQOB4uw)
Dikutip pada 18 Januari 2018
[7] (Baca: http://jogja.tribunnews.com/2014/08/15/masyarakat-jogja-cinta-damai-tolak-aksi-separatis-mahasiswa-papua)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[8] (Baca: http://www.tribunnews.com/regional/2015/12/01/fjas-tolak-aksi-separatis-dan-sara-di-yogyakarta)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[9] (Baca: http://news.okezone.com/read/2015/12/01/510/1258861/dprd-diy-mahasiswa-asal-papua-jangan-buat-ulah)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[10] (Baca: https://kabarmapegaa.blogspot.com/2015/12/ipma-papua-diy-spanduk-sebar-kebencian.html)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[11] (Baca: http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/12/09/15242571/Relawan.Jokowi.Desak.Penuntasan.Kasus.Pelanggaran.HAM)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[12] (Baca: http://hamsi-kaimana.blogspot.co.id/2010/05/jenazah-elisabet-isir-diterbangkan-ke.html)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[13] (Baca: http://watagaiye.blogspot.co.id/2015/03/pembacokan-dilakukan-oleh-sekelompok.html)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[14] (Baca: http://www.infospesial.net/62258/media-australia-bocorkan-dokumen-rahasia-bin-soal-operasi-papua/)
Dikutip pada 18 Januari 2016
[15] (Baca: http://majalahbeko.blogspot.co.id/2016/01/mahasiswa-papua-di-malang-bubarkan.html)
Dikutip pada 18 Januari 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar