Sabtu, 19 Maret 2016

Siasat Apatisme Mahasiswa Papua di Yogyakarta

Penyakit Apatisme (Foto: Ilustrasi)


Penulis: Mikael Kudiai

Pengantar
Setidaknya di Yogyakarta, saya sudah menjelang empat tahun. Hiruk-piuknya kota ini terkadang susah sekali untuk kita pila, terutama pada situasi akhir-akhir ini. Memahami situasi pada akhir-akhir ini memang sedikit sulit, di kalangan mahasiswa Papua, situasi kota Yogyakarta, dan situasi militer sendiri yang sering bermain peran dalam melegitimasi kekerasan struktural dan fisik di kalangan masyarakat Yogyakarta sendiri.

Dengan melihat situasi seperti itu, ditambah dengan berbagai pertimbangan yang tertumpuk dalam kepala saya, maka lahirlah ide untuk mencoba menganalisis secara struktual tentang situasi mahasiswa Papua di Yogyakarta.

Sebelum melanjut, disini saya akan menjelaskan soal siasat terbentuknya sikap apatisme mahasiswa Papua yang secara dialeitis dan historis terbentuk karena, pertama, kurikulum pendidikan kolonialisme Indonesia di Papua yang mengakibatkan kekerasan struktural itu tercipta, kedua, situsi Yogyakarta sendiri dan akibatnya terhadap mahasiswa Papua, ketiga, meninjau kembali data Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2014 yang bocor kemarin, dan keempat, akibat terjadinya sikap apatisme di kalangan mahasiswa Papua di Yogyakarta.


Pendidikan Kurikulum Indonesia di Papua
Ketika Soewardi Soerjaningrat kembali ke Indonesia pada September 1919, kemudian ia segera bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar yang sudah dia alami waktu dia di sekolah binaan saudaranya, kemudian dia digunakan untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa.

Saat ia genap berusia 40 tahun, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa (Dwi Suswono, 2003: 159).

Disamping Ki Hadjar Dewantoro membentuk sekolah terebut, dia juga merekrut para pemuda mahasiswa dan pelajar Indonesia untuk belajar.

Sistem kurikulum pun dia buat yang berkonteks dan keberhasilan dibentuknya Tamansiswa merupakan langkah awal, bagaimana Indonesia melahirkan kader-kader pejuang yang sungguh-sungguh berjuang demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Belajar dari perjuangan sistem pendidikan yang berkontekstual yang dibentuk Ki Hadjar Dewantoro, di Papua tidak ada hal seperti demikian, walau Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Papua sudah digulirkan hingga sekarang menjelang sekitar 6 tahun.

Dalam UU Otsus secara transparan dan sempurna, telah di atur tentang pendidikan yang kontekstual[1]. Otsus yang dilegitimasi pada saat periode kepresidenan Megawati, lahir karena murni status politik Papua Merdeka[2]. Dengan lahirnya status politik Papua Merdeka dan diberikannya Otsus oleh elit Jakarta, rakyat Papua menggiurkan penolakan keras dan Otsus pun hingga sampai saat ini tidak berjalan dengan baik. Yang diperparah dalam bidang pendidikan.

Di sisi lain, kurikulum Indonesia di Papua, bagai praktek pendidikan di sekolah-sekolahnya binatang[3]. Bagaimana tidak? Orang Papua dalam periode pendidikan, berjalan tak beraturan dan tak sesuai dengan apa yang diinginkan rakyat Papua sendiri.

Dengan adanya sistem pendidikan yang kurang masif, maka legitimasi kehancuran pun secara dinamis terjadi, entah dalam masyarakat kelas bawa, menengah dan kelas atas.

Sekarang apakah benar, pendidikan Papua itu melegitmasikan adanya kekerasan struktural dalam masyarakat Papua?

Nah untuk menjawabnya, saya punya pengalaman. Beberapa waktu lalu, saya bersama salah satu kakak saya dari Papua, namanya Ibiroma Wamla[4]. Kami berdua pergi kampus Universitas Sanata Dharma (USD) bertemu dengan dosen sastra.

Disana, saya dengan kakak saya ini sempat diberitahukan begini,

“Saya ini heran dengan sikap mahasiswa Papua di Yogyakarta,” ujar dosen itu.

“Kenapa anak Papua itu maunya mabuk-mabukan, maunya buat kekacauan, buat onar, dan lain-lainnya. Setelah saya pelajari lagi lebih jauh tentang Papua, ternyata benar, semua sudah di bentuk secara tersistematis untuk tidak mengenali diri mereka sendiri melalui pendidikan. Makanya mereka lebih ekstrim menjadi orang lain.” Lanjutnya.

Coba kita melihat kembali situasi pendidikan di Papua. Lebih dari yang sudah saya jelaskan di atas, kita orang Papua sudah dan terus dibuat menjadi orang lain. Misal, ketika di bangku SD, pendidikan yang didapatkan tak pernah diajarkan tetang, pahlawan-pahlawan seperti Theys Hiyo Eluai, Tomas Wanggai, Arnold AP, dan beberapa tokoh pejuang Papua lainnya sebagai pendidikan yang kontekstual di Papua.

Mungkin ini terlau jauh, juga misal tentang budaya, belum pernah ada pendidikan yang diajarkan untuk anak-anak Papua tentang, misal dalam suku Mee, Papua, bagaimana membuat Koteka (pakaian adat laki-laki), Moge (pakaian adat perempuan), atau pun Noken. Saya punya pengalaman yang cukup ambisius tentang pendidikan. Walau pun ada beberapa yang memulainya dengan inisiatif sendiri untuk membuat pendidikan yang kontekstual, pasti tekanan dari dinas pendidikan setempat atau dari aparat keamanan selalu memberikan teror atau intimidasi.

Hal paling gila adalah, rata-rata mahasiswa Papua setelah kuliah mulai mengetahui tentang siapa sebenarnya, Nelson Mandela, Marten Luther King JR, Mahatma Gandhi, dan lain-lainnya, yang sebenarnya mesti itu diajarkan di bangku SD, SMP, atau SMA.

Hal seperti ini yang membuat kita mahasiswa dan masyarakat Papua, menjadi orang lain. Saya benarkan apa yang disampaikan oleh dosen USD tersebut, bahwa kita dibentuk menjadi orang lain karena sistem pendidikan kolonial yang disetting oleh Jakarta.

Militer yang “Provokatif” di Yogyakarta
Beberapa waktu lalu, saya membaca statusnya[5] Made Supriatma yang diposting pada tanggal 02 Desember 2015 lalu tentang munculnya Paksi Katon di Yogyakarta yang memprovokasi anti separatisme. Kalimat yang dituliskan Made di bagian terakhirnya begini,

“Yang menjadi persoalan adalah haruskah soal-soal separatis dan unjuk rasa ini ditangani oleh orang semacam Muhammad Suhud? Mengapa aparat-aparat keamanan lebih suka menggunakan 'proxy' orang-orang seperti Suhud?”

Pertanyaan ini mempertegas, sebenarnya ada apa dibalik munculnya Paksi Katon dan beberapa organisasi taktis lainnya yang dibentuk untuk membungkam dan membunuh demokrasi di kota Yogyakarta.

Untuk menjawab pertanyaan ini, pemetaan persoalan provokasinya anti separatisme bukan hal baru bagi mahasiswa Papua juga organ-organ kiri di Yogyakarta. Hal ini hampir setiap tahunnya terjadi dan dilakukan oleh kelompok-kelompok seperti Paksi Katon, Front Anti Komunis Indonesia, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Jogja Rembuk, Banser, GP Ansor, Pareanom, Gerakan Pemuda Islam, Pemuda Pancasila, Pemuda Muhammadiyah, dan Pagar Nusantara yang menjadi dalang utama pembunuhan demokrasi dengan memanfaatkan isu-isu anti separatisme dan komunisme di Yogyakarta.

Sekarang, mengapa dengan begitu saja, militer dalam hal ini aparat-aparat keamanan membiarkan kemunculan adanya unsur kelompok-kelompok tersebut bermain di kalangan mahasiswa dan masyarakat yang berada di Yogyakarta?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya punya pengalaman. Saya bersama teman-teman saya dari Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] punya pengalaman yang cukup ambisius dengan keberadaan organisasi-organisasi tidak jelas ini. Pengalaman kami ketika kami melakukan aksi demonstrasi pada peringatan hari Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat pada 01 Juli 2014[6] lalu di Yogyakarta.

Hamin dua hari, sebelum tanggal 1 Juli, Paksi Katon melakukan sebaran isu anti separatisme di setiap titik di Yogyakarta dengan memasang paleho dan spanduk di setiap titik-titik pusat kota Yogyakarta. Tak jauh dari tempat pusat mahasiswa Papua, di Jalan Kusumanegara, depan Asrama Papua Kamasan I pun ditempeli baleho dengan tulisan, “Yogyakarta Anti Separatisme”[7]. Pada saat itu kami tidak menanggapi dan memberikan pernyataan balik. Hingga tangga 01 Juli tiba.

Kami melakukan aksi demonstrasi damai dari rute Asrama Kamasan I Papua, hingga long murch ke Malioboro. Tidak sampai disana, tepat di Makam Pahlawan, kami dihadang oleh sekitar ratusan aparat keamanan, dalam hal ini Polisi. Polisi menyuruh kami tidak melakukan aksi demonstrasi damai hingga ke Malioboro.

Setelah bernegosiasi, ternyata pernyataan yang dikeluarkan oleh para kepolisian adalah ada kelompok tandingan yang sedang mau menghadang aksi kami. Kelompok itu adalah Paksi Katon.

Kejadian yang membuat saya sama kawan-kawan semakin yakin, Paksi Katon dan Polisi bekerja sama untuk membunuh dan membungkam ruang-ruang demokrasi pasca demonstrasi AMP adalah, pertama, ketika kami dihadang, para aparat keamanan sama sekali tidak mengijinkan demonstrasi kami berjalan hingga ke Malioboro, kedua, karena kami tetap mempertahankan untuk tetap akan mau long murch ke Malioboro, para pihak Polisi menyuruh Paksi Katon untuk mengibar spanduk provokasi anti separatisme di Yogyakarta. Ketika, setelah para polisi menyuruh dikibarkan spanduk tersebut, polisi juga menyuru ketua Paksi Katon, Muhammad Suhut untuk berhadapan langsung oleh kami masa AMP.  Itu beberapa kemungkinan yang membuat kami semakin yakin, bahwa, Paksi Katon adalah organisasi legalnya aparat keamanan.

Lebih lanjut lagi, aksi kami pada saat tanggal 01 Desember 2015 di Jakarta. Tiga hari sebelum keberangkatak kami masa AMP dari Jogja ke Jakarta, spanduk provokasi Yogyakarta anti separatis dipasang di setiap titik di Yogyakarta. Hingga tangga 30 November, kami berangkat.

Setelah sekitar 360 masa AMP ditahan di Polda, saya ditelpon oleh salah satu kawan saya di Yogyakarta. Katanya organisasi pengacau, Paksi Katon telah mengeluarkan pernyataan[8] dengan mengatakan, “Yogyakarta kota pelajar, budaya, dan wisata yang aman damai telah dikotori dan dibuat tidak nyaman oleh OPM. Saya mengajak semua warga Yogya untuk peduli dan menjaga Yogyakarta dari gerakan separatis OPM ... Mari kita bangkit dan usir gerakan separatis OPM di Yogyakarta."

Bersamaan dengan itu, Paksi Katon bersama Polisi masuk di Asrama Papua Kamasan I  dan membuat kekacauan di Asrama. Kebetulan di depan asrama ada satu gambar berlukis Bintang Kejora. Nah, gambar itu saya diberitahukan oleh teman saya bahwa yang menghapus gambar itu adalah Polisi dengan memakai pisau sangkur mereka.

Hingga akhirnya Paksi katon bersama dengan sekitar 29 organisasi tersebut, mengeluarkan pernyataan bahwa Yogyakarta anti separatisme. Pernyataan tersebut juga dibenarkan juga oleh salah satu anggota DPR Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Chang Hendryanto[9] dengan mengatakan pihaknya sepakat dengan pernyataan yang sudah dikeluarkan oleh para organisasi Paksi Katon.

Kalau isunya hingga membunuh dan membungkam ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta, berarti seperti apa yang sudah disampaikan[10] oleh Aris Yeimo, Presiden Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua (Ipmapa) di Yogyakarta, bahwa, “Mengingat tindakan siar kebencian adalah tindak pidana dan diskriminasi rasial. Ini adalah Pelanggaran HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 156 Junto Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 4 Junto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang peghentian diskriminasi ras dan etnis, sehingga para pelaku baik secara invidu maupun organisasi wajib diberikan sangksi sesuai dengan aturan yang berlaku demi melindungi hak asasi manusia setiap warga Negara Indonesia. Sembari mewujudkan prinsip negara Indonesia adalah negara hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”

Setelah dikeluarkan pernyataan dari Ipmapa Yogyakarta, Paksi Katon dan beberapa organisasi anti separatisme lainnya sempat melakukan seminar di UIN Sunan Kalijaga (Suka Yogyakarta). Momen tersebut dihadiri juga dari kami mahaiswa Papua.

Diakhir seminar, salah satu mahasiswa Papua, sempat bertanya, apa yang kalian pahami tentang separatisme dan diskriminasi. Jawaban yang kami terima dari pemateri-pemateri tersebut melenceng jauh, dengan mereka mengatakan, sebenarnya anti separatisme itu bukan ditujukan kepada mahasiswa dan pelajar Papua di Yogyakarta.

Dengan pernyataan seperti itu semakin jelas, bahwa apa yang mereka lakukan dan bicarakan dalam seminar tersebut, pertama, organisasi yang diketuai oleh Muhammad Suhut ini masih membangun sebuah polularitas walau isu yang mereka bangung benar-benar mereka tak mereka pahami, kedua, organisasi semacam Paksi Katon ini murni bukan dari inisiatif Kraton Yogyakarta, tetapi inisiatif mereka sendiri, dan ketiga, isu separatisme dan anti komunis merupakan isu utama mereka untuk membangun dengan membungkam ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta.

Disini semakin jelas, bahwa dari perwakilan DPR Yogyakarta, Paksi Katon dan beberapa organisasi yang menyebarkan isu anti separatisme, hingga para aparat keamanan, memiliki suatu garis koordinasi untuk membungkam dan membunuh ruang-ruang demokrasi di Yogyakarta.

Nah, dari sebaran provokasi isu di atas, terlepas dari sistem keistimewaan Yogyakarta, dalam hal ini adalah posisi Kraton Yogyakarta sendiri.

Berhubungan dengan posisi Kraton Yogyakarta yang hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait dengan tebaran isu anti separatisme di atas, Kraton Yogyakarta sendiri memiliki sejumlah persoalan, di antaranya adalah legalitas pewarisan posisi Kraton Yogyakarta sendiri, soal keistimewaan Yogyakarta yang berhak menjadi Gubernur dan Wakilnya, dan tanah-tanah milik rakyat yang diklaim sebagai hak pakai oleh Kraton Yogyakarta.

Misalnya soal Sultanaat Gronden (SG) dan Pakualamanaat Gronden (PAG) di Yogyakarta yang berdasarkan Rijksblad Kasultanan No. 16/1918 dan Rijksblad Kadipaten No. 18/1918, semua tanah yang tidak dapat dibuktikan merupakan hak eigendom (hak milik) orang lain, otomatis menjadi milik kesultanan dan kadipaten. Ribuan hektar SG di seluruh DIY, kini terkonsentrasi di Yogyakarta, Bantul dan Sleman) (Kabare, Juli 2007, hlm. 14-15). Selain SG, PAG masih luas juga, dan terkonsentrasi di Kulon Progo. Kedua jenis tanah keraton itu merupakan sumber pendapatan kedua keraton itu dari sahamnya di Hotel Ambarukmo, Ambarukmo Plaza, Saphier Square, dan padang golf Merapi.

Pengelolaan tanah-tanah keraton itu berada di bawah yurisdiksi kantor Paniti Kismo, yang dikepalai oleh GBPH Hadiwinoto, adik Sultan HB X, dengan gelar Penghageng Kawedanan Hageng Wahono Sarto Kriyo (Kabare, Juli 2006, hlm. 60-62). Legalisasi SG dan PAG melalui UU Keistimewaan Yogyakarta, sudah berkali-kali ditekankan oleh Sultan Hamengkubuwono X (Kabare, Juli 2007, hlm. 13).

Di tengah-tengah situasi persoalan di atas, mahasiswa Papua selalu saja menjadi kambinghitamnya persoalan-persoalan di atas oleh pihak-pihak aparat keamanan yang bergraunnya dimainkan oleh organisasi-organisasi seperti Paksi Katon.

Rentetan kasus ketika keistimewaan Yogyakarta menjadi persoalan yang semakin besar, ada banyak kasus-kasus yang hingga sampai saat ini belum diselesaikan secara hukum oleh aparat keamanan dan para pengadilan di Yogyakarta. Misalnya kasus pembacokan Paulus Petege[11], salah satu mahasiswa Papua yang hingga kini pihak kepolisian tidak memberikan jawaban apa-apa soal kasus ini, kedua pembunuhan Elizabeth Isir[12] di Rel Kereta Api di Timoho yang hingga kini juga belum diselesaikan secara hukum, ketiga, kasus pembacokan Yafet Adii[13] di Selokan Mataram oleh kelompok-kelompok Patimura Mudah yang hingga kini aparat keamanan tidak menyelesaikan kasus ini, dan masih banyak lagi kasus-kasus pembunuhan hingga tabrakan misterius yang hingga kini belum diungkitkan oleh pihak kepolisian di Yogyakarta.

Situasi ini menimbulkan sebuah kekecewaan yang sangat fatal oleh mahasiswa Papua terhadap aparat keamanan dan pengadilan negeri di DIY.

Disamping menimbulkan sebuah kekecewaan terhadap sikap pemerintah DIY, traumatisnya rentetan isu pun bergulir di kalangan mahasiswa Papua yang sedang berstudi di Yogyakarta. Dengan adanya traumatis dan pandangan yang diskriminatif ini, mahasiswa Papua menjadi dipojokan oleh sikap-sikap otoriternya aparat hingga membunuh mentalitas mahasiswa Papua itu sendiri.

Apa lagi diperparah dengan kosntruksi pandangan yang diskriminatif yang terbangun di Papua, pendidikan Papua yang mengajarkan orang Papua menjadi orang lain, hingga terbawa di Yogykarta. Dan di Yogyakarta malah diperpara dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan keamanan dan Paksi Katon yang membangun isu yang sangat sensitif kepada mahasiswa Papua.

Akhirnya sikap apatis itu mulai muncul di kalangan mahasiswa Papua itu sendiri. Apatis dengan menghiraukan persoalan Papua, apatis dengan mengorbankan kuliah dan apatis dengan sistem kebersamaan orang Papua yang terbangun hingga luntur dan lebur perlahan-lahan.  

Meninjau Data BIN Tahun 2014 yang Bocor
Beberapa waktu lalu data Badan Intelijen Negara (BIN) Tahun 2014 tentang pemetaan orang Papua mulai dari mahasiswa, pelajar, aktivis HAM, hingga rakyat Papua sendiri, bocor di Australia. Isu bocornya data tersebut hebo di seluruh kalangan rakyat Papua[14]. Perbedaan yang mencolok antara data Kopasus tahun 2011 dan data BIN 2014 ada pada sistematika dan strategi militer untuk membunuh orang Papua. Kalau data tahun 2011, pemetaannya dan target ditujukan dan dilakukan dengan memberikan daftar DPO. Tetapi kalau tahun 2014 semakin ringan. Lebih pada pembunuhan karakter dan cara berpikir orang Papua.

Bocornya data BIN ini, dijelaskan di bagian OPS bagian 1 proses pemetaannya hingga dari kalangan mahasiswa Papua dari organisasi luar kampus hingga luar kampus di Yogyakarta. Seperti paguyuban-paguyuban mahasiswa Papua, ikatan induk Ipmapa Yogyakarta, AMP Komite Kota Yogyakarta dan organisasi-organisasi mahasiswa Papua di tingkatan kampus.

Dari proses pemetaan tersebut, dijelaskan lagi soal targetan dan strategi yang akan dilakukan oleh BIN dengan memakai Bantuan Kepolisian atau Intelijen (Banpol) yaitu mahasiswa atau rakyat Papua sendiri.

Khusus di Yogyakarta, dijelaskan secara menyeluruh seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Targetan dan strategi tersebut dari akhir 2015 hingga awal tahun 2016, semakin parah. Terbukti ketika, pertama, setiap paguyuban-paguyuban (organisasi kabupaten) mahasiswa Papua sudah disibukan dengan berbagai kegiatan masing-masing, tetapi tidak pada koordinasi Ipmapa Yogyakarta, kedua, banyak penyusup-penyusup yang masuk di kalangan paguyuban mahasiswa Papua dengan memberikan pelatihan-pelatihan yang pro terhadap NKRI dan militer. Misal seperti kegiatan kepemimpinan, traning, workshop dan lain-lainnya yang menjauhkan nasionalisme kepapuaan sendiri. Kasus ini terbukti di ikatan mahasiswa Papua di Malang. Bagaimana BIN memakai mahasiswa Papua melakukan seminar[15] yang pro terhadap pemerintah Indonesia.

Ketiga, dijelaskan secara rinci targetan-targetan BIN untuk membunuh kesadaran nasionalisme mahasiswa Papua dengan seperti yang sudah dijelaskan di atas, minimal mendukung program MP3EI, Proyek pembangunan, dan lain-lainnya di Papua. Dan ini sudah terbukti sendiri di Yogyakarta. Seperti beberapa waktu lalu Freeport melakukan perekrutan besar-besaran untuk mahasiswa Papua di Yogyakarta dengan memakai kampus-kampus teknik di Yogyakarta. Misal, UGM, STTNS, dan UPN Veteran. Dalam acara seminar di STTNS, saya sempat ikut seminarnya, tetapi apa yang dijelaskan dan dibawakan di seminar itu? Pemateri membagi-bagikan kejayaan Indonesia untuk mahasiswa Papua, dijelaskan sikap-sikap postif dari Freeport, dan lain-lain yang pro terhadap program pemerintah Indonesia.

Pasca sebelum bocornya data BIN ini, keyakinan para pemimpin organisasi Ipmana dan AMP dari berbagai pembacaan-pembacaan situasi yang sering kami lakukan membenarkan ketika data BIN tersebut bocor.

Dari berbagai kasus dan permainan BIN di atas, korban utama adalah mahasiswa Papua sendiri di Yogyakarta. Korba tersebut melegitimasikan sikap apatis di tengah-tengah situasi kota Yogyakarta yang benar-benar menjadi sebuah ladang pusat para militer bermain peran dengan mengkambinghitamkan mahasiswa Papua demi kepentingan mereka.

Apatisme Mahasiswa
Dari beberapa kasus yang sudah saya jelaskan di atas, mulai dari pendidikan kolonialisme Indonesia yang diterapkan di Papua, hingga berakibat pada perilaku, sikap dan cara berpikir orang Papua, lalu masuk ke situasi Yogyakarta sendiri dengan tebaran isu anti separatisme kepada mahasiswa Papua, juga meninjau data BIN, saya berkesimpulan bahwa, sikap apatisme mahasiswa Papua setidaknya timbul karena hal tersebut.

Bagaimana tidak? Kekerasan struktural di masa perbudakan struktural di Papua sudah dan terus melegitimasi hancurnya Papua secara struktural. Proses yang panjang hingga mahasiswa Papua itu sendiri apatis terhadap persoalan-persoalan Papua. Masalah di Papua itu tak hanya soal perusahaan, pelanggatan HAM secara fisik, tetapi lebih parah adalah ketika mentalitas dan cara berpikir orang Papua dihancurkan berkeping-keping hingga orang Papua menjadi orang lain.

Lahirnya para borjuis-borjuis lokal pun timbul karena pertentangan sistem kapitalisme di Papua. Juga borjuis-borjuis lokal itu menjadi jaminan dan melegitimasi masyarakat kelas menengah dan bawa di Papua.

Terakhirnya bahwa, untuk membongkar ruang-ruang tersebut, tak cukup ketika kita hanya memahami dan mempraktekannya dalam kehidupan. Tetapi persoalan seperti ini penting untuk menjadi bahan penyadaran yang panjang. Minimal dalam bidang pendidikan yang terlepas dari sistem pendidikan kolonialisme di Papua.

Penulis adalah mahasiswa talapas.




[2] Skripsi Agustinus Dogomo tentang “Dinamika Otonomi Khusus Papua”. Hlm. 129.
[4] (lihat: https://www.facebook.com/Ibiroma?fref=ts) Dikutip pada 17 Januari 2016
[6] (Tonton: https://www.youtube.com/watch?v=kr5usQOB4uw) Dikutip pada 18 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar