Sabtu, 02 April 2016

Keturunan Orde Baru di Papua (Bagian 1)

Gambar diambil dari indoprogress.com

Penulis: Mikael Kudiai*

Siapa yang tak tahu, istilah keturunan? Silsilah ka? Asas yang menentukan bahwa kewarganegaraan seorang anak otomatis menurut kewarganegaraan bapaknya (baca: KBBI) ka?  Yang jelas, keturunan tidak jauh berbeda dengan sebuah karakter pewarisan orang tuahnya atau moyang sebelum-sebelumnya kepada generasi-generasi berikutnya. Agaknya miris ketika kelekatan pewarisan itu melebar hingga masuk ke watak dan perilaku secara terstruktur dalam satu tatanan sistem birokrasi (baca: lembaga Militer, PNS, hingga para pemimpin provinsi hingga desa) yang memang bukan semata.

Lingkaran setan terbesar keturunan dalam sejarah Indonesia adalah pada rezim otoritarian Orde Baru. Sangat miris, konspirasi tragedi G30S PKI yang mengorbankan ribuan bahkan jutaan manusia yang distigma bergabung dalam pemberontakan pada tahun 1965. Propaganda yang sangat kejam, bahkan melebihi batas rata-rata kemanusiaan yang sesungguhnya. Ini adalah kekuatan Soeharto dan antek-anteknya dalam lingkaran keluarga. Konspirasi lingkaran setan yang begitu kejam yang benar-benar mengerikan.

Parahnya lagi ketika membaca sepotong tulisan di Belok Kiri Fast tentang watak Orde Baru[1]  yang dijelaskan, dalam rentang waktu yang sangat lama, 32 tahun, rezim Orde Baru dan Jendral Suharto mendirikan sebuah kekuasaan yang sangat efektif dalam memberangus dan mencuci-otak sebagian besar rakyat Indonesia. Suharto tidak menjalankan sebuah junta militer, tapi sebuah pemerintahan militeristis yang totaliter.


Semua posisi-posisi strategis, sejak menteri, gubernur, bupati hingga ke tingkat desa, dijabat atau dikendalikan oleh militer. Sementara portofolio menteri-menteri ekonomi dijabat oleh teknokrat-teknokrat lulusan Amerika Serikat, terutamanya Berkeley, sehingga dinamakan Mafia Berkeley yang menjalankan ekonomi Keynesian atau kapitalisme negara.

Ditambah depolitisasi atas seluruh kehidupan berpolitik, yaitu penyederhanaan partai-partai politik menjadi tiga partai yang berada di bawah kendali rezim; pengendalian lembaga legislatif dan yudikatif; pemberangusan pers, serikat buruh, serikat tani, dan lain-lainnya.

Tak hanya itu, rezim otoriter Orde Baru juga membentuk sebuah lingkarang keluarga dengan memegang[2] panggung-panggung media seperti koran online dan cetak Kompas dan media TVRI. Misal salah satu berita yang sangat menjijikan dan mengesampingkan warga Tionghoa sebagai bentuk pelecehan masyarakat yang distigma PKI, Kompas mengusulkan “surat lahir” dan “nama keluarga” untuk menjamin legitimasi KTP. Isi beritanya begini, “Gubernur/KDH Djakarta Raya Mayjen KKO Ali Sadikin menerangkan bahwa untuk memperoleh kartu penduduk harus setahu tanggung jawab seorang kepala keluarga dan Kepala RT, yang kemudian barulah seorang lurah diperbolehkan untuk memberikan Kartu Penduduk yang diminta itu. “Prosedur itu perlu dilaksanakan mengingat belakangan ini sering terdapat penjalah gunaan kartu penduduk jang mereka peroleh dengan tjara jang tidak melalui prosedure seperti pernah dilakukan ex Brigdjen Supardjo” (“Prosedur aru untuk Peroleh Kartu Penduduk”, Kompas, 27 Januari 1967)

Propaganda ini yang melegitimasi tatanan sistem masyarakat hingga akar-akarnya, yang menurut hemat saya menjalar hingga Papua. Bagaimana tidak? Sadar atau tak sadar coba tengok sistem kerja dan kinerja birokrasi sistem di Papua!

Yang jelas, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya, begitu kata salah satu pepatah kuno. Bukan begitu? Selama setengah abad, satu hal yang perlu kita pahami adalah kekuasaan paling terbesar dan memegang panggung Indonesia adalah lembaga militer.

Hal paling sederhana, adalah ketika para aktivis melakukan demonstrasi damai, tetap saja ruang-ruang demokrasi dibungkam tanpa alasan yang jelas dan tak logis. Pembunuhan ruang-ruang demokrasi semakin hari kian membabibuta dalam tatanan masyarakat. Semua adalah hasil propaganda Orde Baru ini katakan saja hasil keturunan picikan yang begitu keci.

Tak perlu basa-basi, ada beberapa alasan yang bisa dibenarkan, bahwasannya para birokrat di Papua adalah keturunan Orde Baru, yaa, katakan saja, anak cucunya Soeharto:

Pertama, struktur pemerintahan di Papua dijadikan seperti sistem dinasti. Anda tahu, sistem dinasti birokratis? Sistem ini paling menjijikan, tak berperikemanusiaan dan tak berpengetahuan.

Dalam sebuah artikel yang ditulis[3] oleh Indra Jaya Piliang, dijelaskan bahwa sistem politik dinasti terjadi di mana orang-orang yang berasal dari satu keluarga atau sistem kekerabatan saling menyokong dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik. Dinasti politik yang terbentuk dalam era demokrasi adalah sebuah dinamika, bukan sesuatu yang disengaja. Kebebasan berdemokrasi memungkinkan kalangan the have dan the have not untuk berkompetisi di dalam kotak-kotak suara.

Kalangan berpendidikan tinggi sama nilainya dengan mereka yang sama sekali tak menempuh jenjang sekolah formal. Dari sini terlihat kesenjangan mendalam antara praktisi politik yang memiliki segalanya untuk bisa menang dan kalangan yang sama sekali tak bisa membeli sandal jepit. Mau bagaimana lagi? Sistem politik dan pemerintahan di Indonesia memang disusun seperti itu. “Ketamakan” dalam berdemokrasi muncul akibat ketakutan atas rezim otoritarian di masa lalu, selama 32 tahun. Seperti puasa yang lama, tiba-tiba saja ketika saat berbuka tiba, seluruh hidangan ingin dimakan.

Anda tahu, ketika Soeharto berkuasa selama 32 tahun? Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Goerge Aditjondro[4] tentang [KEKAYAAN SUHARTO] Cakupan, Dampak & Tanggungjawabnya Terhadap Rakyat, dijelaskan secara detail, bagaimana Soeharto membangun sebuah sistem dinasti kerajaan besar demi kepentingannya yang dipasang di seluruh keluarganya. Misal, perusahan yang dipegang oleh anaknya Titien Soeharto yang menyebar hingga kalangan masyarakat bawa dijadikan budak. Menjijikan bukan?

Hal seperti ini sudah terbangun di Papua sejak lama paska Papua dianeksasikan ke dalam Indonesia. Katakan saja Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua. Lihat, semisal, pergantian pemimpin, marga Kudiai menjadi pemimpin Pemprov, pasti seluruh jajaran dalam bidang-bidang adalah orang-orang di lingkaran keluarganya, tanpa melihat pengetahuan yang dia miliki.

Tak hanya dilingkaran Pemprov, diperparah lagi oleh Pemerintah Daerah (Pemda). Daerah-daerah yang sering terjangkit penyakit keturunan Orde Baru yang terjadi silih berganti ini juga terjadi di Nabire, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Intan Jaya, Serui, Fak-Fak, Kaimana, Merauke, Biak, Jayapura, Sentani, Keroom, Mapi, Boven Diguel, Sorong, Tambrau, Raja Ampat, Timika, Mamberamo, Manokwari, dan daerah-daerah kabupaten lain yang dimekarkan oleh pemerintah pusat (Jakarta) karena tawaran politik pemusnahan yang isinya adalah uang. Sistem dinasti sudah melebihi batas-batas yang sangat parah atas individu-individu yang memang benar karena ketidaktahuannya dia, atau kekurangan pengetahuan, atau kebodohannya dia, dan atau sudah mengetahui tetapi sengaja membuat sistem tersebut. Entahlah!

Kedua, pemerintah daerah yang masih terus memelihara pelanggaran HAM. Kasus ini menurut hemat saya biasa terjadi. Bahkan sering. Memelihara pelanggaran HAM terkadang terlihat lumrah dalam masyarakat kita, tetapi secara struktural, pembiaran pelanggaran HAM juga sering sekali dilakukan dengan alasan kepentingan tertentu.

Beberapa waktu lalu, pada 08 Desember 2014, telah terjadi penembakan[5] liar yang jelas-jelas dilakukan oleh militer Indonesia di Paniai yang mengorbankan lima siswa SMA meninggal dunia.

Sesudah kasus tersebut benyebar hingga kronologis kejadiannya tiba di Komnas HAM dan memakan waktu berbulan-bulan pemerintah Indonesia tak merespon apa-apa soal kasus tersebut, Bupati Paniai, dengan keras mengeluarkan stegmen tentang ancamannya untuk mengundurkan diri dan melepaskan garuda[6] sebagai seorang pemimpin negara.

Banyak kalangan masyarakat, apa lagi para keluarga korban dengan begitu keras mengeluarkan pernyataan kepada pemerintah Indonesia untuk segera tuntaskan tragedi tersebut. Tetapi hingga sampai hari ini, apa hasilnya? Bupati Paniai masih menduduki kursi hangat, rakyat Papua di Paniai masih dalam traumatis kejadian tersebut.

Pembiaran seperti ini dengan slogan akan mengundurkan diri ini, bisa saja kita katakan sebagai sok tahu, tetapi hanya omongan kosong belaka. Toh, siapa sangka - kejadian ini masih saja menjadi kejadian yang menguncang seluruh Indonesia, bahkan dunia hingga sampai saat ini yang hanya melegitimasi legalitas individu tersebut sebagai pemimpin.

Tak hanya itu, juga kejadian penembakan Arlince Tabuni[7] di Tiom, kabupaten Lany Jaya pada 01 Juli 2013 lalu. Sekarang, ada Pemda setempat yang mengomel-ngomel untuk tetap pertahankan proses penyelesaian ini? Hanya omongan kosong belaka.

Kasus-kasus seperti ini tak hanya terjadi di kedua kota saja, bahkan di seluruh daerah di Papua hampir sering sekali terjadi kejadian seperti ini. Terus, untuk apa posisi para pemimpin seperti ini di Papua? Kategori ini yang bisa kita katakan sebagai keturunan Orde Baru – keturunan Soeharto yang tak jauh beda hanya memelihata pelanggaran HAM dan loyalitas dia sebagai pemimpin. [Bersambung]

--------------------------------------------
Penulis adalah mahasiswa talapas.

Pustaka:

[1]  (Baca: http://belokkirifest.org/2016/02/22/menyoal-propaganda-orde-baru/) Dikutip pada 01 April 2016
[2] (Baca: http://indoprogress.com/2015/08/orde-baru-dan-pembentukan-keluarga/) Dikutip pada 02 April 2016
[3] (Baca: http://lautanopini.com/2013/10/23/dinasti-politik-dan-politik-dinasti/) Dikutip pada 02 April 2016
[4] (Baca: https://indocropcircles.wordpress.com/2013/03/04/kekayaan-suharto/) Dikutip pada 02 April 2016
[5] (Baca: www.papuansbehindbars.org/?p=3393&lang=id) Dikutip pada 02 April 2016
[6] (Baca: http://tabloidjubi.com/2015/06/04/bupati-paniai-siap-lepas-garuda-jika-tidak-ungkap-pelaku-kasus-paniai-berdarah/) Dikutip pada 02 April 2016
[7] (Baca: http://tabloidjubi.com/2013/07/12/arlince-tabuni-tewas-karena-tembakan-oknum-anggota-tni/) Dikutip pada 02 April 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar