Minggu, 13 Maret 2016

Sekolah di Papua Seharusnya Membebaskan

Wajah anak-anak Papua dalam carut marutnya pendidikan Papua (Foto: Ist)

Penulis: Fransiskus Kasipmabin

"Di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara," (Bernard Shaw)

Judul tulisan di atas merupakan sebuah refleksi pribadi saya selama perjalanan mengikuti proses pendidikan (pendidikan sekolah formal) sampai saat ini. Refleksi adalah sebuah pengharapan.

Pengharapanlah membangkitkan kembali segala bentuk tindakan manusia. Walaupun dunia ini diporak-porandakan oleh segala hal, namun masih ada harapan akan perbaikan dunia, yaitu pengharapan.

Saat ini, kita dihadapkan pada berbagai persoalan baik itu persoalan sosial, persoalan kesejahteraan, persoalan korupsi, persoalan kebebasan-berekspresi, persoalan kemanusiaan, sampai dengan persoalan tawar menawar pemekaran.

Pemekaran yang ditawarkan saat-saat ini misalnya adalah sebuah paket khusus pemerintah pusat yang kemudian diperdagangkan oleh para pejabat lokal di Papua. Ia dinilai penuh muatan yang dapat mengiring masyarakat asli Papua pada sebuah keadaan yang buruk.

Namun, bangsa ini masih akan  bernapas karena ada pengharapan yang besar untuk bangkit membangun kembali, seperti yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini.

Lalu, apa sebenarnya pengharapan bagi seorang tokoh pendidikan kritis, Paulo Freire. Pengharapan bagi Freire adalah sebuah kesaksian dan penghargaan tentang daya hidup batin sekian generasi manusia yang tidak beruntung dan tentang kekuatan yang kerap kali diam. Namun, lapang pada diri berjuta-juta orang yang tidak pernah rela membiarkan pengharapannya padam: orang-orang di seluruh dunia yang telah diberdayakan oleh pedagogi kaum tertindas.

Oleh karena demikian, kesaksian saya dan kesaksian semua manusia di bumi ini, bumi Indonesia dan bumi Papua perlu direfleksikan bersama. Refleksi saya, sekolah adalah sebuah kesaksian. Hadirnya sekolah, saya mengenal dan memahami segala sesuatu yang digelapkan sengaja maupun tidak sengaja, belum diperlihatkan, disembunyikan, kemudian, keluar dari kedok kegelapan, keluar dari lembah kebodohan menuju pembebasan diri demi  kemerdekaan universal.

Meneropong sejarah peradaban sekolah di Papua menarik untuk disimak. Hadirnya sekolah di Papua memunyai misi yang besar. Misi itu apakah kemudian akan menjadi kenyataan?
Saya mengotak-atik jendela google, menyangkut sejarah masuknya pendidikan (sekolah) di Papua, membuka halaman demi halaman buku ternyata belum menemukan, mungkin beberapa buku yang tidak sempat saya temukan masih ada terkait dengan sejarah masuknya pendidikan. Namun, menarik sekali ketika melihat sebuah tulisan (artike) di bloggernya sejarah pekabaran injil di Mansinam. Di sana saya menemukan apa yang saya cari.

Saya melihat sebuah artikel yang mengisahkan tentang sebuah buku dari Pdt. Jusuf Fredrik Onim, M.Th yang berjudul "87 tahun Sejarah Pendidikan Teologi di tanah Papua". Buku ini didapati data beberapa sekolah dasar pertama di Mansinam yang didirikan pada tahun 1856, dan beberapa bulan kemudian sebuah sekolah di buka di Kwawi.

Setahun setelah injil  masuk di tanah Papua 1867 sekolah ketiga di buka di Andai, Manokwari, dan menurut data dari buku tersebut ada sebuah sekolah di Fanindi, sehingga sampai tahun 1875, tercatat ada 6 buah sekolah.  

Peran sekolah yayasan di Papua membangkitkan motivasi belajar bagi warga pribumi. Baik yayasan Kristen maupun Katolik sangat berperan penting karena sekolah tersebut menciptakan generasi yang akan menjadi pemimpin (pejabat) di Papua, sehingga mereka menjadi pemimpin di bebrapa kabupaten di Papua.

Selain itu, peran Gereja melalui Yayasan Kristen  ditentukan dengan banyaknya lembaga yang dikelolah oleh yayasan ini, sekitar 826  pada tahun 1962, YPK 463 dan YPPK 363 dan Pemerintah Belanda sendiri 27 Sekolahan.

Pendidikan katolik masuk melalui wilayah selatan. Pendidikan Kristen pada zaman itu dikhususkan untuk orang-orang asli Papua, sedangkan katolik dibebaskan kepada semua kaum, seperti anak-anak kei, bugis dan Maluku yang datang ke tanah Papua.

Setelah melewati beberapa fase (kedudukan Belanda dan Jepang), kemudian bangkitnya nasionalisme Indonesia paskah kemerdekaan, maka pendidikan Jawanisme dan model pendidikan budaya bisu mulai bergerak ke penjuruh nusantara termasuk Irian Jaya (kini Papua dan Papua Barat).

Pendidikan budaya bisu merupakan sebuah paket yang dipaketkan langsung dari Jawa untuk dipergunakan di seluruh Indonesia termasuk Bangsa Papua Barat. Gerakan budaya bisu menyangkut semua aspek, dan dengan target-target tertentu. Misalnya pendidikan Indonesia di Papua dengan target menumbuhkembangkan nasionalisme bangsa Indonesia. Inilah timbul hegemoni Jawasentris di bumi Papua.

Menarik sekali, baru-baru ini beredar video tentang kasus penganiayaan guru terhadap murid di salah satu sekolah ternama di Jayapura. Sampai-sampai walikota Jayapura turun tangan dalam kasus pemukulan tersebut. Walikota menaggapi kasus pemukulan, kemudian sidak atau kunjungan mendadak ke sekolah, untuk mengetahui kebenarannya. Hal tersebut membuktikan, bahwa penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah amat sangat kurang benar.
Proses belajar di sekolah dari dulu sampai saat ini menemukan (mengamati), guru adalah raja dari segala makluk hidup yang menghidupi kehidupan di sekolah, baik itu siswa, gedung, hewan, segala tanaman dan lain-lainnya.

Murid harus patuh dan setia terhadap perintah guru. Apa pun yang diperintahkan guru, murid dengan senang hati melaksanakannya.  Guru adalah komandan sedangkan murid adalah perajurit yang siap untuk melaksanakan perintah komandan. Mereka tunduk kepada atasanya. Itulah fenomena sekolah di Papua.

Pengalaman saya dulu di sekolah. Saya sangat  menghormati dan patuh sampai takut terhadap guru. Di luar jam sekolah pun saya harus hormat kepada guru. Takut karena perintahnya harus dilaksanakan, jika mengabaikan perintahnya atau belum dikerjakan, maka hukuman lebih berat dari tugas yang diberikan oleh guru tersebut.

Sekolah semacam ini menciptakan manusia robot. Manusia yang dikendalikan oleh tuannya,  sehingga Manusia tersebut patuh terhadapnya. Sekolah bermodel ini bukan membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan membantu menciptakan manusia kuli bangunan pemerintah (menjadi PNS), kuli bangunan korporat, kuli bangunan LSM asing dan lainnya. 

Selain itu, Peraktek pendidikan (guru di sekolah) yang menyedihkan dan melelahkan. Guru melampaui batas kewajarannya. Regulasi yang dibuat sekolah pun memberatkan murid. Aturan yang dibuat seolah-olah murid menjadi korban dari aturan tersebut. Diwajibkan harus memakai seragam sekolah, batik sekolah, makai sepatu, jika tidak memiliki semuannya akan dikeluarkan dari sekolah dan lain-lainya.

Kemudian, sekolah memiskinkan kreatifitas murid. Mematikan cara berfikir murid. Solah-olah murid tidak apa-apanya, hanyalah sebuah becana kosong yang siap diisi oleh guru. Sekolah medel ini bagi Freire adalah pendidikan model Banking. Guru seharusnya mendorong dan mendukung siswa untuk berekspresi mengembangkan potensi yang dimilikinya, baik itu bakat dan minatnya di sekolah.

Seharusnya guru menjadi teman, guru menjadi pembimbing yang setia dan mendorong bagi siswanya untuk lebih mengenal dirinya, lingkungan sekitar dan masyarakat pada umumnya yang ada di wilayah tersebut.

Sekolah membebaskan murid bermain sepuas mereka. Bermain bersama gedung, bersama bunga-bunga, pepohonan dan taman disekeliling sekolah. Bebas bermain selama berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan sampai bertahun-tahun. Segala sesuatu yang ada di lingkungan sekolah adalah milik mereka (anak murid).

Kemudian, aturan yang dibuat seharusnya memperhatikan aspek-aspek lain dari siswa. Tidak sama ratakan tetapi kemudian memperhatikan dari segala segi, baik keinginan siswa, latar belakang siswa dan lainnya yang perlu untuk diperhatikan. Karena aturan dibuat untuk ditegakan dan dilaksanakan oleh penghuni sekolah. Apa lagi aturan tersebut memberatkan bagi siswa sedangkan guru belum terikat dengan aturan.

Wajah sekolah sepert ini seharusnya segera diubah. Jika masih saja diterapkan di negeri ini, negeri bangsa orang Papua di Papua, saya yakin dan percaya bahwa sekolah itu akan menciptakan manusia robot, manusia yang ingin menjadi PNS, menciptakan manusia bermental kuli bangunan, siap dipekerjakan di mana-mana.

Dan pada akhirnya, manusia tersebut tunduk kepada para penguasa, tunduk kepada korporat, tunduk kepada para  kapitalis sehingga seluruh kekayaan yang menghuni ditanah ini, bangsa ini, bangsa Indonesia dan bangsa Papua akan menghilang ditelan para penghisap hasil bumi itu.
Sekolah diharapkan membuka diri. Sekolah keluar dari dokma-dokma yang dibangun oleh model pendidikan jawasentris. Sekolah seharusnya keluar dari segala jenis kegiatan yang membunuh siswa secara langsung maupun tidak langsung. Sekolah model perbudakan yang dibangun ini, harus segera dihakiri.

Moh. Yamin menwarkan beberapa pandangan yang seharusnya sekolah perhatikan, di antaranya sekolah didesain dengan lingungan yang kondusif dan menyenangkan, menciptkan ruang berinteraksi antara sesama murid, guru dan staf lainnya dalm sekolah dengan penuh persahabatan kemudian perlu untuk dilakukan.

Sekolah dideasin untuk wadah bagi murid berdinamika dan berporoses demi pengembangan dirinya dan menyemai nilai pendidikan untuk memperkuat jati diri anak murid.

Kemudian, Moh.Yamin berkata dalam Beny Susetyo, kegiatan pendidikan yang terjadi saat ini hanyalah sebuah proses pembelajaran yang memaksa siswa untuk menelusuri atau menaiki tangga pendidikan yang tidak berujung. Lebih ironis lagi, pengajaran yang mewajibkan sekolah seperti pendapat Ilich (1999:517), membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri.
Sekolah membebaskan adalah sebuah potret penyelenggaraan pendidikan yang berpedoman pada proses pembelajaran dalam kelas dan menjadikan ruangan kelas itu dialog kritis dan transpormatif. Oleh sebab itu, sekolah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada murid untuk mencari tau sendiri dan menemukan, menganalisa, mengkritis atas segala sesuatu dan mencari jalan keluar untuk menjadi solusi menyelasikan masalah.

Oleh karena demikian, untuk mengetahui bagimana sekolah yang membebaskan itu? Moh.Yamin mengatakan Pertama, pendidikan yang dilandasi semangat pembebasan serta perubahan ke arah yang lebih baik; Kedua, keberpihakan. Keberpihakan merupakan ideologi pendidikan itu sendiri yang bertujuan membebaskan semua siswa tanpa menggunaka label apapun;Ketiga, metodoli yang dibangun berdasarkan kegembiraan siswa dan guru dalam proses pembelajaran; Keempat, mengutamakan partisipasi dan komunikasi yang sehat antara peneglola pendidikan, guru, siswa, kali kelas dan masyarakat di lingkungan tersebut.

Dengan demikian, mengakhiri ulasan singat ini, saya berpandangan bahwa sekolah yang membebaskan adalah sekolah yang menciptakan peradaban baru. Keluar dari segala bentuk penindasan, mengutamakan kepentingan siswa. Siswa diberi kebebasan, tidak terikat oleh segala sesuatu aturan atau regulasi yang dibuat oleh sekolah. Menciptakan hal baru, mengakomodir seluruh kepentingan bersama menuju sutu peradaban baru, demi terwujudnya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Oleh karena demikian, saya berharap sekolah-sekolah di Papua setidaknya mentransformasi diri menuju sekolah yang unggul, mengedepankan kreatif, menciptakan inovasi-inovasi baru, agar bisa bersaing dunia luar. Semoga!

Fransiskus Kasipmabin  adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar