Rabu, 16 Maret 2016

Marx di Angkringan Satpam

Karl Marx (Foto: Ilustrasi)


Penulis: Adolfh Seno

Hampir seminggu lebih hujan tak mengguyur kota Yogyakarta. Setiap titik kota hingga perkampungan kumuh sudah begitu kering. Yang ada hanya air bekas cucian milik Barabas, pemilik Angkringan Sarang Anak-Anak Tolak Penindasan Antar Manusia (Satpam) di pinggiran jalan di suatu sudut kota.

Belum memasuki bulan pertama di semester awal, musim hujan pun tiba dan membasahi kota pendidikan tersebut.

Angkringan beratap terpal berwarna cokelat hitam yang sering digunakan untuk tempat nongkrong para tokoh-tokoh buangan dari berbagai daerah pun, diguyur hujan pada saat itu.

Dari kejauhan, tempat itu terlihat seperti perkemahan anak-anak pramuka. Tentu anda tahu bagaimana membayangkan situasinya.

Di samping kedua sisi meja yang menjajakan bungkusan nasi, gorengan, dan jajanan lainnya, ditempatkan juga dua buah bangku panjang dibawanya.

Disitu ada Camilo. Camilo adalah seorang pelajar. Dia duduk posisi paling pojok disamping Tan Cu seorang nelayan yang sempat singgah disitu. Disitu juga ada Ernest seorang dokter dan Celia seorang aktivis perempuan. Mereka berdua duduk berhadapan dengan Tan Cu dan Camilo.


Tiga bulan lalu, Camilo mendapat stigma sebagai seorang pemberontak karena melawan dan menentang pajak pembangunan yang dianggapnya sebagai permainan birokrasi yang menguras uang orang tuah siswa di kota itu.

Mereka masing-masing santai dengan kopi hitam yang diletakannya di depan meja berukuran setinggi dada.
Dari kejauhan, seorang nelayan asal Tiongkok ini terlihat sedang memainkan bahasa tubuh. Bahasa tubuh yang menyindir itu dibuatnya berulang-ulang.

Karena tidak menerima gaya Tan Cu, Camilo, anak Ernest ini membalas dengan kerutan dahi menampilkan wajah kurang setuju dengan gaya dan ekspresi Tan Cu.

Situasi di angkringan itu semakin memanas karena aktivitas mereka berdua.  

Di tempat milik Barabas ini, tidak pernah memandang adanya senior atau junior, laki-laki atau perempuan, suku, etnis, apalagi agama, tetapi di sini semua dianggap setara.

Semua yang ada di tempat itu sadar bahwa perbedaan-perbedaan sepeti rasialisme, diskriminasi, konflik agama, dan lain-lainnya itu tercipta akibat perjuangan ekonomi dalam masyarakat berkelas.

***

Hujan tak kunjung henti. Aku berlari berlari secepat mungkin dari tempat kerjaku menuju Angkringan milik Barabas. Kebetulan, aku sering sekali mampir di Angkringan itu karena kekhasan kopi hitam yang dijualnya beda dari yaang lainnya.

Setibanya, aku langsung memesan kopi,

“Broo, aku pesan Black Coffee ya,”

Barabas sengaja tidak menanggapi apa yang aku bicara.

“Mas broo, aku pesan kopi hitam,” dengan nada keras aku katakan ke manusia pemilik angkringan ini.
Dia kaget dan sejenak balik ke aku.

“Ohhhh, sory mas, aku ngak lihat tadi. Soalnya aku sedikit sibuk,”

“Iyooo, kopi hitam satu.” Kata saya dengan nada emosi.

Tempat ini membuat aku tertarik dan selalu ingin kesini, karena siapa pun yang ke Angkringan ini juga semua menolak pikirannya si Adam. Si Adam adalah pemilik Hotel Melatih yang berdiri tepat di depan angkringan ini.

Dengan memiliki kekayaannya yang berlimpa, Si Adam menganggap semua manusia egois, sangat ambisius tanpa memandang nasib sesama manusianya. Konon katanya hotel ini telah membuat rakyat pemilik tanahnya digusur dengan kebijakan pembersihan dan tata ruang kota oleh pemerintah yang ditundukkan oleh uang Pak Adam,” kata barabas sambil mengantarkan kopiku.

“Trus, yang gusur bangunan itu siapa-siapa?” tanya Camilo ketika mendengarkan aku dan Barabas berbincang.

“Yang gusur itu, Polisi dan Tentara yang dibayar oleh si Adam untuk membantai siapa saja saja yang melawannya.” Jawab si mantan preman pemilik angkringan ini.

“Adam itu sosok yang  sejak masa mudanya telah menjadi seorang pengusaha besar,”

“Sekarang, dia adalah Direktur Utama di PT. Smith yang memiliki anak perusahaan yang tersebar di berbagai daratan bumi ­­dan berkonsenterasi di berbagai bidang.” Lanjut Barabas sambil menjelaskannya.

Setelah si pemilik Angkringan itu bercerita panjang lebar mengenai Si Adam tersebut, karena kami yang ada disitu semakin serius mendengar apa yang dia katakan, tiba-tiba ada seseorang yang tak dikenal datang menghampiri kami.

“Eeee kawan-kawan, coba lihat siapa yang datang,” kata Barabas dengan mengajak kami melihatnya.

Orang itu berbadan besar. Karena diguyuri hujan, dia membungkus kepalanya dengan karung goni dari guyuran hujan.

“Utang lagi, pasti berutang si tua brewokan itu, pasti saja”. Mantap preman pemilik angkringan berambut gimbal itu menggeruti.

“Tapi kasihan juga, kata orang disini, Dia paling miskin, ada anaknya pernah meninggal karena Dia tidak mampu membawanya ke rumah sakit untuk berobat, Dia baru lima bulan lalu di sini, karena di depak dari negeri seberang”, kata penjaga angkringan itu sambil mencuci beberapa gelas yang kotor menggunakan air hujan.

Kami asyik berdiskusi tentang situasi Papua yang beberapa waktu lalu memanas di media mainstrim Indonesia sambil yang lainnya mengesampingkan ajakan si penjaga Angkringan Satpam itu.

 “EHhmmmmm…..,” suara itu mengheningkan suasana diskusi sekejap saja.

Suara seorang tua brewokan, berdiri tepat di belakang Ernest. Aku sebelumnya belum mengenal pria ini, karena jarang ia kemari untuk berbelanja atau berdiskusi ditempat ini.

"Hei, kau jangan terlalu heran dengan kehadiran para elit borjuis itu, pemerintah negara Inggris, pemilik media maistrem atau siapapun itujangan heran dengan media murahan yang diskriminatif itu,” suaranya agak tegas sambil menatapku tajam.

“Dalam situasi rakyatmu yang seperti sekarang ini, kelompok yang sok-sokan baik, dengan bahasa-bahasa nafsu mereka yang berkedok kemanusiaan, kelompok yang sok perhatian dengan situasi kalian Orang Asli Papua (OAP) yang benar-benar dibuat terbelakang, ditindas SDMnya juga dikuras semkain habis itu akan bermunculan, pada saat kalian mulai memberontak ingin bebas.Jelaskannya lagi.

Nampaknya pria ini sudah beberapa menit berdiri dan mendengarkan perbincangan kami dan dia melontarkan pun tidak jauh dari apa yang sedang kami diskusi.

Si brewok itu tak henti-hentinya memotong perbincangan kami dan terus menjelaskan, "Mereka akan sok perhatian memberi bantuan-bantuan, menayangkannya melalui media-media provokatif untuk menghancurkan psikologi, untuk memperbaiki status kebusukan mereka di dalam hati kalian.

Karena keasyikan berbicaranya, si pemilik angkringan itu memberikan kode de si prewon ini untuk mau menagih utang-utangnya.

"Mereka itu hanya ingin memperbaiki tatanan penjajahan mereka yang hampir kalian hancurkan," lanjutnya.

Barabas menampilkan wajah kusutnya. Nampaknya ia walau hatinya tak sampai menolak permintaan si brewokan itu untuk berhutang gorengannya.

"Ingat!, Hanya kau orang Papua sendiri dan persatuan rakyat tertindas di seluruh dunia yang bisa hancurkan semua bentuk penindasan dan tentunya dengan ideologyang benar-benar matang ntuk menghancurkannya.” katanya sambil mengangkat kresek berisi gorengannya. Kebetulan walau ditagus utang-utangnya oleh si pemilik angkringa ntersebut, tetapi si brewok itu tetap saja belum ada uang, dan dia masih mau berutang gorengan kepada pemilik angkringan tersebut sambil bercerita panjang lebar.

Pria itu membuat situasi benar-benar tegang. Ernest sesekali menghisap rokok Cerutu kesukaannya sambil memandang Camilo anaknya.

Celia mulai mengangkat gelas kopinya dan mengatakan, “Benar sobat, kira-kira bagaimana perjuangan perempuan di Papua? Harus dikoordinir, agar perempuannya dapat mengerti posisinya untuk membebaskan bangsa Papua dari segala bentuk penindasan,

“Sangat penting membangun sektor untuk mendidik akar rumput agar dapat sadar dengan laju dan perkembangan dunia yang sedang dihajar habis oleh kapitalisme. Minimal mereka dapat sadar situasinyalaa,” tambah si aktivis perempuan itu yang sedang menikmati kopi yang baru saja ia pesan.

Aku masing merenung tanpa menanggapi pertanyaan dan pernyataan si aktivis perempuan itu. Aku juga  masing penasaran siapa pria brewokan itu?

Perkataannya langsung mengingatkanku, bahwa memang benar, belakangan banyak isu Papua yang dimuat dalam media-media nasional milik kolonial. Mulai dari isu tolak Otonomi Khusus (Otsus), Freeport, hingga Isu Papua Merdeka. Hal ini bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan untuk dimuat di media diskriminatif mereka dan memang memunculkan banyak pertanyaan.

Sangat benar pikirku dalam benak, bahwa Otsus yang kini kata para aktivis kalau gagal itu muncul dari perlawanan rakyat Papua tahun 1990-an. Otsus yang diberikan tahun 2001, yang kini diibaratkan gula-gula manis pemerintah Indonesia itu hanya untuk menenangkan pemberontakan akar rumput.

“Woooeee, woee sobat, ayo pikir apa kau ini? Jawab dulu pertanyaan saya?” Celia menegurku merasa diabaikan pertanyaannya tadi.

Pria itu hilang sekejap dalam gelapnya malam yang diguyur hujan yang tak kunjung berhenti. Kepergiannya dari angkringan ini pun tanpa pamit dari kami.

Memang benar dan aku semakin yakin, apa yang dikatakan pria brewok tersebut, gumamku dalam hati setelah meneguk kopi yang sudah dingin.

Berarti para birokrat sedang dan terus menjadi jalan untuk mencari cela meloloskan bisnis mereka, benar bahwa si Lukas Enembe (Gubernur Papua) sedang mencari cela meloloskan Otsus Plus yang kata seorang kawan saya merupakan berisi aturan-aturan tentang pengelolahan hasil SDA. Ada pun kelompok lainnya sedang berjuang untuk menempatkan OAP menjadi prisedir Freeport Indonesia.

Yang lebih lagi membenarkan pernyataan si brewo tadi lagi adalah apa hubungannya pemerintah Inggris mengunjungi Papua dengan menawarkan pendidikan untuk Papua. Padahal, saat Inggris memimpin UNI EROPA dalam sidang Dewan HAM PBB yang ke-54 pun pihak mereka keras kepala mendukung diktator Soeharto yang melakukan pembantaian di Timor Leste dan sekarang pun kita tahu mereka itu siapa.

“Haiii, kau jangan tidur, ayo jawab pertanyaanku tadi, atau kamu penasaran dengan si tua tadi?” Tanya Celia sambil menuntut pertanyaannya dijawab. Hampir sepuluh menit aku merenung karena pertimbangan dari kata-kata si brewok tadi.

“Ia benar, si Brewok tadi siapa ya? Aku sangat penasaran? Dia seakan memberi jalan terang terhadap semua renungan dan pertanyaanku selama ini,” kataku sambil menghisap rokok yang hampir mati.

Tanco menegakkan badannya, sambil menggulung rokok Lampionnya dan menjawab pertanyaanku, “Dia tokoh yang telah berimajinasi tentang tatanan umat manusia,

“Maksudnya?” tanyaku sambil memajukan telingaku di mulut Tanco.

“Karena Dia, manusia semakin sadar posisinya di bumi ini, bahwa semua manusia adalah pencipta dan menyadarkan menusia bahwa, manusia itu memiliki kesamaan hak tanpa memandang kekotak-kotakkan yang diciptakan kelompok rakus itu,” kata Tanco menjawab pertanyaanku.

“Dia karena tidak punya uang, sering pindah-pindah rumah, pendapatannya tidak cukup untuk biaya makan, membayar ongkos rumah, apalagi sekolah anak-anaknya. Dia juga diusir dari tempat tinggalnya akibat tulisan-tulisannya yang sarat akan kritik dan propaganda,” ujar Camilo melanjutkan penjelasannya tentang si brewok itu.

Barabas hanya senyum kecil-kecil di sudut angkringan, sepertinya merasa puas telah membantunya selama ini.

“Apa menulis?” Tanyaku lebih penasaran.

“Benar, Ia sering membaca, menulis, berdiskusi, dan sangat aktif di organisasi buruh,” tambah Ernest.

“Kamu tahu? Aku meninggalkan tugasku sebagai dokter akibat tulisan-tulisannya. Aku lebih memilih menjadi petani sambil membantu mereka yang memerlukan bantuanku,

“Dia pernah menulis bahwa, memang kita harus mendapatkan uang untuk dapat hidup dan bekerja, tetapi jangan kita bekerja untuk mendapatkan uang,” lanjut Ernest.

Aku masih menanti jawaban yang tepat bahwa sebenarnya siapa orang itu.

“Aku sangat menanti-nanti buku pertamanya, yaitu Das Kapital I yang ia tulis,” kata Ernest sambil mengisap rokok Cerutunya.

“Ooo berarti Dia Karl Marx?” tanyaku meminta pembenaran.

“Benar!, makanya tadi kami terdiam ketika Dia mulai berkata-kata,” kata Ernest lagi.

“Apaaaaaa?” aku terjatuh dari tempat tidurku, karena kaget, bagai mimpi buruk.

“Cih, di mana aku?” kataku dalam hati.

“Ah, mimpi!” aku mengucak-ngucak mataku.

Sial ini hanya mimpi ternyata,”  kataku sendirian sambil berdiri dan membuka jendela kamarku.

Mimpi yang mengajarkan sesuatu, bahwa mereka sedang mengatur sesuatu yang besar untuk menjatuhkan kami ke dalam lubang yang lebih dalam dari pada penindasan Kapitalisme.


Penulis (nama samaran) adalah mahasiswa yang sedang kuliah di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar