Foto: Penembakan pelajar SMA di Paniai pada 08 Desember 2014 |
Penulis: Ismantoro Dwi Yuwono
Lebih parahnya lagi, wakil presiden
Jusuf Kalla, dalam menanggapi pelanggaran HAM di Papua berkomentar, kalau
rakyat kena tembak dianggap melanggar HAM, tetapi kalau TNI-Polri yang kena
tembak tidak melanggar HAM seperti yang sering terjadi di Papua. Jusuf Kalla
juga mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sebenarnya
berakar pada lemahnya produktifitas rakyat Papua dan gaya hidup konsumtif
rakyat Papua. Dan oleh karena itulah, untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan di Papua, rakyat Papua harus meningkatkan
produktifitas dan menekan gaya hidup konsumtif.
Argumen dari Jusuf Kalla tersebut
menunjukan bahwa dia membuta terhadap kenyataan yang tengah terjadi di Papua.
Tampaknya dia tidak berpikir bahwa untuk meningkatkan produktifitas butuh biaya
dan perhatian dari pemerintah Indonesia, sedangkan selama ini rakyat Papua
bertahun-tahun telah dimiskinkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai
kebijakannya yang pro-terhadap modal asing dan abai terhadap kesejahteraan
rakyat, dalam hal ini rakyat Papua.
Produktifitas yang dimaksud oleh Jusuf
Kalla, tentu saja, dalam pengertian kerangka teori pembangunan yang bertumpu
pada ketergantungan terhadap modal asing. Dengan demikian, Jusuf Kalla
tampaknya mengarahkan rakyat Papua untuk mengamini keberadaan
perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di tanah Papua, salah satunya yang
terbesar adalah Freeport-McMoran Copper & Gold. Dari argumentasinya
tersebut, terselip pesan secara implisit, bahwa hendaknya rakyat Papua
mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu perusahaan asing, diantaranya
Freeport, membutuhkan buruh-buruh murah, siap bekerja dengan baik dan
berkualitas untuk kepentingan proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh
modal asing.
Jusuf Kalla lupa kalau selama ini
pemerintah Indonesia tidak care (abai) terhadap kesejahteraan
rakyat Papua. Pemerintah hanya care (perduli) pada kepentingan
pemodal asing di tanah Papua dan menindas rakyat Papua, baik melalui tindakan
represifnya melalui TNI-Polri maupun pemiskinan secara terstruktur. Bagaimana
mungkin rakyat Papua bergaya hidup konsumtif, kecuali para elitenya, apabila
hidup mereka miskin, sengsara, kelaparan dan kurang gizi.
Dari wawancara yang penulis lakukan
dengan seorang aktivis dari Papua (atas permintaan dari yang bersangkutan nama
dan organisasi tidak penulis sebutkan), Papua hingga hari ini masih ditelantarkan
oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya penduduk
miskin di sana-sini, infrastrukturnya pun sangat buruk dan dibangun oleh
masyarakat setempat tanpa adanya uluran bantuan dari korporasi, Freeport dan
pemerintah Indonesia; di Yahukimo misalnya, sepanjang perjalanan rumput-rumput
begitu tinggi, jalanan tidak diaspal, jembatan dibuat dari kayu oleh penduduk
setempat, penerangan listrik (lampu) tidak ada, rumah-rumah pun banyak sekali
yang kumuh bagaikan gubuk-gubuk di tengah hutan atau gubuk-gubuk yang dibangun
seadanya di daerah persawahan. Aktivis yang penulis wawancara ini menanyakan
dimana dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh pemerintah Indonesia kepada
Papua?! Tidak ada pembangunan di Papua, penduduk papua banyak yang miskin dan
kelaparan. Dan pelanggaran HAM pun sering terjadi di tanah Papua. Sungguh Jusuf
Kalla menutup mata terhadap hal ini.
Aktivis lain dari Papua yang penulis
wawancarai mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia datang ke Papua
memperkenalkan demokrasi dan keadilan tetapi tidak ada demokrasi dan keadilan
di Papua, pemerintah Indonesia pun selalu meneriakan HAM, namun pelanggaran HAM
di tanah Papua terus terjadi. Mereka—pemerintah Indonesia hanya perduli pada
korporasi [terutama terhadap Freeport-McMoran Copper & Gold] tidak perduli
pada rakyat Papua.
Permasalahan pelanggaran HAM di tanah
Papua oleh TNI-Polri benar berakar pada permasalah ekonomi, tapi bukan
permasalahan sebagaimana yang disampaikan oleh Jusuf Kalla [terkait dengan
produktivitas rakyat Papua], tetapi permasalahan ekonomi-politik yang bersifat
struktural dimana modal asing dan sepak terjang kapitalis di tanah Papualah
yang merupakan aktor utamanya. Kemunculan OPM dan berbagai pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh TNI-Polri berakar dari sini. Jika Jusuf Kalla menuduh kalau
rakyat yang menembak TNI-Polri tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM, namun
jika TNI-Polri yang menembak rakyat adalah sebaliknya, pertanyaan yang harus
disodorkan kepada Jusuf Kalla, rakyat yang mana? Rakyat di Indonesia tidak
memiliki alat untuk menembak, seperti pistol (senjata api genggam yang pendek
dan kecil). Apakah yang dimaksud oleh Jusuf Kalla adalah OPM? Jika, iya, Jusuf
Kalla tampaknya harus lebih banyak belajar mengapa OPM terbentuk dan membuka
pikiran lebar-lebar mengapa mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Indonesia?
Sejarah pertambangan Freeport di tanah
Papua mencatat: Untuk mengamankan kepentingan modalnya Freeport tidak
segan-segan membayar mahal TNI-Polri untuk menindas buruh-buruh dan rakyat Papua
yang menuntut keadilan terhadap dampak beroperasinya perusahaan pertambangan
tambaga dan emas itu. Tidak tanggung-tanggung 300 juta digelontorkan oleh
Freeport untuk jasa keamanan dari TNI-Polri setiap bulannya. ICW (Indonesia
Corruption Watch) bahkan mencatat, Freeport membayar jasa keamanan untuk
kepolisian dan TNI sebesar 79,1 juta dolar AS atau sekitar Rp. 711 miliar,
selama tahun 2001-2010. Bahkan Freeport meminta kepada pemerintah Indonesia
untuk semakin memperkuat keamanan modal dengan cara menambah jumlah TNI-Polri
di tanah Papua.
Respon pemerintah Indonesia terhadap
permintaan Freeport tersebut positif, tercatat pada tahun 2012 jumlah TNI di
tanah Papua cukup tinggi: untuk personil-tentara Angkatan Darat berjumlah
12.000-13.000 prajurit, TNI Angkatan Laut berjumlah 1.272 prajurit, TNI
Angkatan Udara berjumlah 570 prajurit. Sehingga total tentara yang menjaga
kemanan modal Freeport di tanah Papua berjumlah 14.842 prajurit.
Jika dibandingkan dengan Aceh dalam
situasi darurat militer pada tahun 2003, jumlah pasukan di sana sebanyak
33.703, sementara Papua dan Papua Barat hari ini tidak dalam situasi darurat
militer maupun sipil, tetapi memiliki pasukan setengah dari jumlah pasukan yang
berada di Aceh dalam keadaan darurat militer pada tahun 2003.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden
Joko Widodo untuk kasus ini, sama seperti pendahulunya (mantan Presiden SBY),
akan memperkuat keamanan modal Freeport di tanah Papua dan berencana untuk
membangun kodam (komando daerah) baru. Kebijakan dari Joko Widodo ini jelas
merupakan kebijakannya yang berpihak pada kepentingan Freeport bukan untuk
kepentingan rakyat Papua. Sudah cukup banyak pelanggaran HAM yang dilakukan
TNI-Polri di tanah Papua untuk mengamankan modal Freeport. Dengan kebijakannya
tersebut Joko Widodo justru akan lebih memperparah pelanggaran HAM di tanah
Papua.
Berbagai cara yang digunakan oleh
TNI-Polri untuk mengamankan kepentingan modal Freeport akan dilakukan, dari
menindas aksi-aksi massa yang dilakukan oleh buruh sampai pada pamer kekuatan
militer kepada rakyat Papua. Dengan menunjukkan (pamer) kekuatan militer yang
mematikan pada rakyat Papua, Freeport-TNI-Polri berharap rakyat Papua akan
berpikir dua kali untuk menuntut keadilan terhadap sepak terjang Freeport yang
merugikan masyarakat Papua.
Penembakan yang mengakibatkan 5 remaja
Papua tewas dan 13 orang lainnya mengalami luka-luka serius tidak bisa hanya
dilihat dari sudut pandang yang sangat sempit, yakni karena disebabkan oleh 3
remaja yang meminta TNI menyalakan lampu mobil yang dikendarainya pada malam
hari. Tindakan brutal TNI-Polri tersebut sangat ada kaitannya dengan
kepentingan Freeport dalam mengamankan modalnya.
Kondisi buruk buruh-buruh Freeport dan
masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar dan tidak jauh dari pertambangan
Freeport—kota Enarotali salah satunya—merupakan ancaman potensial bagi
Freeport. Ancaman yang menjadi nyata ketika mereka melakukan perlawanan karena
alasan kondisi buruk yang mereka alami. Untuk mencegah dan merepresi perlawanan
itulah Freeport mengedepankan TNI-Polri sebagai anjing penjaga (watch dog)-nya.
Superioritas TNI-Polri harus dibangun, dan TNI-Polri pun perlu untuk pamer
kekuatan di hadapan rakyat Papua walaupun harus dengan cara membunuh, seperti
yang terjadi pada kasus penembakan 5 remaja di Enarotali-lapangan Gobay, Pinai,
Papua.
Pendekatan keamanan selalu saja dipakai
oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport dalam meredam protes buruh dan rakyat
Papua. Dengan kata lain, baik pemerintah maupun Freeport selalu bekerjasama
“memelihara konflik” di tanah Papua melalui pendekatan keamanan (baca: tindakan
represi TNI-Polri). Fakta sejarah memberikan catatan, aksi massa yang dilakukan
oleh buruh Freeport pada 18 Maret 2006 (semasa SBY-Jusuf Kalla berkuasa) yang
menuntut keadilan hingga permintaan untuk menutup tambang Freeport dihadapi
dengan represi oleh TNI-Polri. Terjadi bentrokan berdarah di Abepura pada saat
itu. Pendekatan-pendekatan keamanan terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dan Freeport hingga hari ini.
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di notesnya penulis di akun facebook pribadinya. Kami menyadari bahwa tulisan ini sangat penting untuk kita pahami bersama, bagaimana sistem kapitalisme itu berjamur dan bermain bersama praktek militerisme untuk melindungi kekayaan alam Papua demi kepentingan mereka.
Redaksi Matoa
Tulisan ini pernah dimuat di notesnya penulis di akun facebook pribadinya. Kami menyadari bahwa tulisan ini sangat penting untuk kita pahami bersama, bagaimana sistem kapitalisme itu berjamur dan bermain bersama praktek militerisme untuk melindungi kekayaan alam Papua demi kepentingan mereka.
Redaksi Matoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar