Rabu, 16 Maret 2016

Pembunuhan 5 Remaja Papua dan Hubungannya Dengan Freeport (Bagian 2)

Foto: Penembakan pelajar SMA di Paniai pada 08 Desember 2014

Penulis: Ismantoro Dwi Yuwono

Lebih parahnya lagi, wakil presiden Jusuf Kalla, dalam menanggapi pelanggaran HAM di Papua berkomentar, kalau rakyat kena tembak dianggap melanggar HAM, tetapi kalau TNI-Polri yang kena tembak tidak melanggar HAM seperti yang sering terjadi di Papua. Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sebenarnya berakar pada lemahnya produktifitas rakyat Papua dan gaya hidup konsumtif rakyat Papua. Dan oleh karena itulah, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua, rakyat Papua harus meningkatkan produktifitas dan menekan gaya hidup konsumtif.

Argumen dari Jusuf Kalla tersebut menunjukan bahwa dia membuta terhadap kenyataan yang tengah terjadi di Papua. Tampaknya dia tidak berpikir bahwa untuk meningkatkan produktifitas butuh biaya dan perhatian dari pemerintah Indonesia, sedangkan selama ini rakyat Papua bertahun-tahun telah dimiskinkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakannya yang pro-terhadap modal asing dan abai terhadap kesejahteraan rakyat, dalam hal ini rakyat Papua.


Produktifitas yang dimaksud oleh Jusuf Kalla, tentu saja, dalam pengertian kerangka teori pembangunan yang bertumpu pada ketergantungan terhadap modal asing. Dengan demikian, Jusuf Kalla tampaknya mengarahkan rakyat Papua untuk mengamini keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di tanah Papua, salah satunya yang terbesar adalah Freeport-McMoran Copper & Gold. Dari argumentasinya tersebut, terselip pesan secara implisit, bahwa hendaknya rakyat Papua mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu perusahaan asing, diantaranya Freeport, membutuhkan buruh-buruh murah, siap bekerja dengan baik dan berkualitas untuk kepentingan proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh modal asing.

Jusuf Kalla lupa kalau selama ini pemerintah Indonesia tidak care (abai) terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Pemerintah hanya care (perduli) pada kepentingan pemodal asing di tanah Papua dan menindas rakyat Papua, baik melalui tindakan represifnya melalui TNI-Polri maupun pemiskinan secara terstruktur. Bagaimana mungkin rakyat Papua bergaya hidup konsumtif, kecuali para elitenya, apabila hidup mereka miskin, sengsara, kelaparan dan kurang gizi.

Dari wawancara yang penulis lakukan dengan seorang aktivis dari Papua (atas permintaan dari yang bersangkutan nama dan organisasi tidak penulis sebutkan), Papua hingga hari ini masih ditelantarkan oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya penduduk miskin di sana-sini, infrastrukturnya pun sangat buruk dan dibangun oleh masyarakat setempat tanpa adanya uluran bantuan dari korporasi, Freeport dan pemerintah Indonesia; di Yahukimo misalnya, sepanjang perjalanan rumput-rumput begitu tinggi, jalanan tidak diaspal, jembatan dibuat dari kayu oleh penduduk setempat, penerangan listrik (lampu) tidak ada, rumah-rumah pun banyak sekali yang kumuh bagaikan gubuk-gubuk di tengah hutan atau gubuk-gubuk yang dibangun seadanya di daerah persawahan. Aktivis yang penulis wawancara ini menanyakan dimana dana otonomi khusus yang dikucurkan oleh pemerintah Indonesia kepada Papua?! Tidak ada pembangunan di Papua, penduduk papua banyak yang miskin dan kelaparan. Dan pelanggaran HAM pun sering terjadi di tanah Papua. Sungguh Jusuf Kalla menutup mata terhadap hal ini.

Aktivis lain dari Papua yang penulis wawancarai mengatakan, bahwa pemerintah Indonesia datang ke Papua memperkenalkan demokrasi dan keadilan tetapi tidak ada demokrasi dan keadilan di Papua, pemerintah Indonesia pun selalu meneriakan HAM, namun pelanggaran HAM di tanah Papua terus terjadi. Mereka—pemerintah Indonesia hanya perduli pada korporasi [terutama terhadap Freeport-McMoran Copper & Gold] tidak perduli pada rakyat Papua.

Permasalahan pelanggaran HAM di tanah Papua oleh TNI-Polri benar berakar pada permasalah ekonomi, tapi bukan permasalahan sebagaimana yang disampaikan oleh Jusuf Kalla [terkait dengan produktivitas rakyat Papua], tetapi permasalahan ekonomi-politik yang bersifat struktural dimana modal asing dan sepak terjang kapitalis di tanah Papualah yang merupakan aktor utamanya. Kemunculan OPM dan berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI-Polri berakar dari sini. Jika Jusuf Kalla menuduh kalau rakyat yang menembak TNI-Polri tidak dianggap sebagai pelanggaran HAM, namun jika TNI-Polri yang menembak rakyat adalah sebaliknya, pertanyaan yang harus disodorkan kepada Jusuf Kalla, rakyat yang mana? Rakyat di Indonesia tidak memiliki alat untuk menembak, seperti pistol (senjata api genggam yang pendek dan kecil). Apakah yang dimaksud oleh Jusuf Kalla adalah OPM? Jika, iya, Jusuf Kalla tampaknya harus lebih banyak belajar mengapa OPM terbentuk dan membuka pikiran lebar-lebar mengapa mereka melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia?

Sejarah pertambangan Freeport di tanah Papua mencatat: Untuk mengamankan kepentingan modalnya Freeport tidak segan-segan membayar mahal TNI-Polri untuk menindas buruh-buruh dan rakyat Papua yang menuntut keadilan terhadap dampak beroperasinya perusahaan pertambangan tambaga dan emas itu. Tidak tanggung-tanggung 300 juta digelontorkan oleh Freeport untuk jasa keamanan dari TNI-Polri setiap bulannya. ICW (Indonesia Corruption Watch) bahkan mencatat, Freeport membayar jasa keamanan untuk kepolisian dan TNI sebesar 79,1 juta dolar AS atau sekitar Rp. 711 miliar, selama tahun 2001-2010. Bahkan Freeport meminta kepada pemerintah Indonesia untuk semakin memperkuat keamanan modal dengan cara menambah jumlah TNI-Polri di tanah Papua.

Respon pemerintah Indonesia terhadap permintaan Freeport tersebut positif, tercatat pada tahun 2012 jumlah TNI di tanah Papua cukup tinggi: untuk personil-tentara Angkatan Darat berjumlah 12.000-13.000 prajurit, TNI Angkatan Laut berjumlah 1.272 prajurit, TNI Angkatan Udara berjumlah 570 prajurit. Sehingga total tentara yang menjaga kemanan modal Freeport di tanah Papua berjumlah 14.842 prajurit.

Jika dibandingkan dengan Aceh dalam situasi darurat militer pada tahun 2003, jumlah pasukan di sana sebanyak 33.703, sementara Papua dan Papua Barat hari ini tidak dalam situasi darurat militer maupun sipil, tetapi memiliki pasukan setengah dari jumlah pasukan yang berada di Aceh dalam keadaan darurat militer pada tahun 2003.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo untuk kasus ini, sama seperti pendahulunya (mantan Presiden SBY), akan memperkuat keamanan modal Freeport di tanah Papua dan berencana untuk membangun kodam (komando daerah) baru. Kebijakan dari Joko Widodo ini jelas merupakan kebijakannya yang berpihak pada kepentingan Freeport bukan untuk kepentingan rakyat Papua. Sudah cukup banyak pelanggaran HAM yang dilakukan TNI-Polri di tanah Papua untuk mengamankan modal Freeport. Dengan kebijakannya tersebut Joko Widodo justru akan lebih memperparah pelanggaran HAM di tanah Papua.

Berbagai cara yang digunakan oleh TNI-Polri untuk mengamankan kepentingan modal Freeport akan dilakukan, dari menindas aksi-aksi massa yang dilakukan oleh buruh sampai pada pamer kekuatan militer kepada rakyat Papua. Dengan menunjukkan (pamer) kekuatan militer yang mematikan pada rakyat Papua, Freeport-TNI-Polri berharap rakyat Papua akan berpikir dua kali untuk menuntut keadilan terhadap sepak terjang Freeport yang merugikan masyarakat Papua.

Penembakan yang mengakibatkan 5 remaja Papua tewas dan 13 orang lainnya mengalami luka-luka serius tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang yang sangat sempit, yakni karena disebabkan oleh 3 remaja yang meminta TNI menyalakan lampu mobil yang dikendarainya pada malam hari. Tindakan brutal TNI-Polri tersebut sangat ada kaitannya dengan kepentingan Freeport dalam mengamankan modalnya.

Kondisi buruk buruh-buruh Freeport dan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar dan tidak jauh dari pertambangan Freeport—kota Enarotali salah satunya—merupakan ancaman potensial bagi Freeport. Ancaman yang menjadi nyata ketika mereka melakukan perlawanan karena alasan kondisi buruk yang mereka alami. Untuk mencegah dan merepresi perlawanan itulah Freeport mengedepankan TNI-Polri sebagai anjing penjaga (watch dog)-nya. Superioritas TNI-Polri harus dibangun, dan TNI-Polri pun perlu untuk pamer kekuatan di hadapan rakyat Papua walaupun harus dengan cara membunuh, seperti yang terjadi pada kasus penembakan 5 remaja di Enarotali-lapangan Gobay, Pinai, Papua.

Pendekatan keamanan selalu saja dipakai oleh Pemerintah Indonesia dan Freeport dalam meredam protes buruh dan rakyat Papua. Dengan kata lain, baik pemerintah maupun Freeport selalu bekerjasama “memelihara konflik” di tanah Papua melalui pendekatan keamanan (baca: tindakan represi TNI-Polri). Fakta sejarah memberikan catatan, aksi massa yang dilakukan oleh buruh Freeport pada 18 Maret 2006 (semasa SBY-Jusuf Kalla berkuasa) yang menuntut keadilan hingga permintaan untuk menutup tambang Freeport dihadapi dengan represi oleh TNI-Polri. Terjadi bentrokan berdarah di Abepura pada saat itu. Pendekatan-pendekatan keamanan terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Freeport hingga hari ini.


Catatan:

Tulisan ini pernah dimuat di notesnya penulis di akun facebook pribadinya. Kami menyadari bahwa tulisan ini sangat penting untuk kita pahami bersama, bagaimana sistem kapitalisme itu berjamur dan bermain bersama praktek militerisme untuk melindungi kekayaan alam Papua demi kepentingan mereka.

Redaksi Matoa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar