Foto: Penembakan pelajar SMA di Paniai pada 08 Desember 2014 |
Penulis: Ismantoro Dwi Yuwono
Pada 8 Desember 2014, tepatnya pada pukul 10.00 WIT
(Waktu Indonesia Bagian Timur), Senin pagi, terjadi tindakan brutal yang
dilakukan oleh aparat gabungan Polri (Polisi Republik Indonesia) dan TNI
(Tentara Nasional Indonesia) di Kota Enarotali, Kabupaten Paniai. Aparat
gabungan ini dengan membabi buta menembaki rakyat Papua yang tidak bersenjata,
yang berusaha ingin berdialog dengan mereka.
Akibat dari aksi brutal dua aparat gabungan tersebut
4 orang tewas seketika, disusul 5 jam kemudian 1 orang yang dibawa lari ke
rumah sakit (RSUD [Rumah Sakit Umum Daerah] Madi-Papua) oleh penduduk setempat,
karena tertembak di bagian perutnya, tewas. Dokter di rumah sakit tersebut
tidak dapat menolong Abai Gobai dari kematian yang mengerikan yang disebabkan
oleh perutnya yang robek dan peluru yang bersarang di dalamnya.
Berikut ini adalah nama-nama rakyat Papua yang mati
karena kebrutalan aparat gabungan tersebut:
Aksi brutal yang dilakukan dua aparat gabungan
tersebut berawal dari aksi ugal-ugalan aparat TNI yang mengendarai sebuah mobil
dan tidak menyalakan lampu di malam hari. Ketika mobil itu melintas di pondok
natal, yang berlokasi di kogekotu, paniai (Jalan Raya Enarotali-Madi) mobil
tersebut diberhentikan oleh tiga orang remaja yang sedang berjaga-jaga di
pondok natal tersebut. Mereka menghentikan dan menahan mobil tersebut hanya
untuk menyarankan kepada pengendaranya agar lampu mobil dinyalakan agar tidak
terjadi kecelakaan.
Ditegur seperti itu si pengendara bukannya merespon
dengan baik, tetapi malah kembali ke Markas TNI di Kota Madi. Dari sana si
pengendara mengajak teman-teman TNI-nya kembali ke tempat mobil itu diberhentikan,
di Tokoguto, dan tempat mobil itu ditahan.
Gerombolan TNI tersebut kemudian mengejar 3 remaja
Papua berusia belasan tahun, yang telah dengan lancang menghentikan mobil yang
dikendarai oleh tentara tersebut. Satu orang tertangkap, dikeroyok, digebuki
dan di injak-injak hinga babak belur dan pingsan. Remaja yang telah pingsan ini
kemudian dilarikan oleh warga ke rumah sakit untuk segera mendapatkan
pertolongan medis.
Pada pagi harinya masyarakat berkumpul di lapangan
Gobay, Pinai, Papua, untuk berdialog dan meminta pertanggungjawaban aparat yang
telah menganiaya hingga pingsan remaja itu. Namun belum sempat mereka melakukan
dialog dengan aparat TNI dan meminta pertanggungjawaban, tiba-tiba saja aparat
gabungan TNI-Polri melakukan aksi brutal. Menembaki rakyat Papua yang sedang
berkumpul pada waktu itu. Dari aksi brutal tersebut, sebagaimana telah penulis
tunjukan di muka, 5 orang tewas, dan semuanya adalah anak remaja, dan 13 orang
lainnya dilarikan ke rumah sakit karena keadaannya yang sangat kritis. Ada pun
TNI yang telah melakukan aksi brutal tersebut berasal dari kesatuan TNI 753
Batalyon wilayah Nabire.
Berita tentang pembunuhan rakyat Papua oleh
TNI-Polri itu pun menyebar bagaikan gelombang siaran radio dari satu frekuensi
ke frekuensi lainnya, memicu ribuan rakyat Papua berkumpul dan menyemut di
lapangan karel Gobay. Lapangan yang bersebelahan dengan Komando Rayon Militer
(Koramil) Paniai Timur-Papua.
Ribuan rakyat Papua itu berkumpul untuk meminta
pertanggungjawaban dari Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) dan Pangdam
(Panglima Daerah Militer). Mereka meminta Polda dan Pangdam Papua datang ke
tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengubur ke-4 orang Papua yang tewas (1
orang yang tewas telah dikubur oleh keluarganya) dan menyeret ke jalur hukum
tentara dan polisi yang telah melakukan pembunuhan. Massa meminta pelaku
dihukum seberat-beratnya.
Ke-4 jenasah korban penembakan brutal TNI-Polri
tersebut dibaringkan berjajar di lapangan karel Gobay oleh massa. Massa tidak
akan mengubur ke-4 jenasah tersebut apabila Polda dan Pangdam belum datang
untuk mempertanggungjawabkan tindakan brutal itu.
Namun, ketika hingga 10 Desember 2014 Polda dan
Pangdam tidak datang untuk bertanggungjawab, ribuan massa itu pun kasihan
terhadap jenasah yang dibaringkan tersebut. Dan oleh karena itulah, kemudian
massa menguburkan ke-4 jenasah tersebut. Korban dikubur tepat di depan Kantor
Komando Rayon Militer (Kodam) Paniai Timur, yang bersebelahan dengan lapangan
karel Gobay. Tepat di bawah tiang bendera merah putih. Ribuan massa itu sangat
menyesali ketidakdatangan Polda dan Kodam.
Sementara itu pada 19 Desember 2014 Front Mahasiswa
Papua Jogjakarta (FMPJ) melakukan aksi demonstrasi di depan bundaran UGM
(Universitas Gadjah Mada). Dalam orasinya Mahasiswa meminta Presiden Joko
Widodo bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang
dilkukan oleh TNI-Polri di Paniai-Papua. Mereka menagih janji Joko Widodo yang
diucapkannya sebelum dia menjadi Presiden Republik Kapitalis Indonesia. Saat
itu Joko Widodo pernah berjanji, bahwa seandainya dia menjadi Presiden dia akan
menuntaskan berbagai bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia. Kini Joko Widodo
telah benar-benar menjadi Presiden, dan oleh karena itulah saatnya Joko Widodo
merealisasikan janji yang pernah diucapkannya.
Saat FMPJ melakukan aksi aparat polisi yang berjaga
di lokasi itu melakukan provokasi dengan mengejek pendemo dengan
berteriak-teriak menirukan bahasa khas Papua. Tindakan rasis polisi tersebut
dibarengi dengan menyerang para pendemo dengan tameng dan tongkat kayu,
sehingga terjadi keributan.
Ejekan bernada rasis tersebut tidak dihiraukan oleh
pendemo, mereka tetap berdemonstrasi, berorasi meminta pertanggungjawaban
pemerintah Indonesia untuk menuntaskan pelanggaran HAM di Papua yang telah
menewaskan 5 orang remaja-rakyat Papua.
Massa yang kesal diprovokasi oleh polisi,
melampiaskan kekesalannya dengan cara membakar ban kendaraan bermotor. Dan
ketika itulah polisi meminta paksa para pendemo untuk membuka jalan yang
diblokir sambil memadamkan api dan menyerang pendemo dengan bogem mentah (tinju
tangan kosong) dan tongkat kayu.
Setelah keributan usai, massa aksi terus
dilanjutkan. Dalam orasi massa menambahkan tuntutan bahwa aparat kepolisian
harus menghormati kebebasan berpendapatan karena itu merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari penegakan hak asasi manusia (HAM) itu sendiri.
“45 tahun lebih kami mencoba untuk menjadi bagian
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia namun yang kami dapat malah pelanggaran
HAM! Kami cuma ingin bertemu dengan Pak Presiden Jokowi dan menuntut apa yang
dijanjikan di masa kampanye!” teriak salah satu massa aksi.
Tidak hanya rakyat di Papua dan mahasiswa-mahasiswa
Papua di Yogyakarta, berbagai lembaga yang menilai pelanggaran HAM oleh
TNI-Polri adalah sebuah kejahatan meminta pemerintah Indoensia bertanggungjawab
terhadap hal itu. Salah tuntutan mereka adalah Joko Widodo diminta untuk segera
membentuk tim penyelidik untuk melakukan pengusutan terhadap pelanggaran HAM
tersebut.
Diantara lembaga-lembaga yang menuntut terhadap
pengusutan pelanggaran HAM tersebut adalah lembaga Amnesty Internasional (AI).
Lembaga HAM internasional ini bermarkas di London. Lembaga ini meminta agar
pemerintah Indonesia segera menyelidi penggunaan aparat keamanan yang mematikan
di Kabupaten Paniai, Papua, yang menyebabkan 5 orang warga sipil tewas.
Amnesty Internasional juga meminta dibentuknya tim
investigasi yang cepat, independen dan imparsial atas pembunuhan dan penggunaan
kekuataan yang berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia di Paniai.
Beberapa insiden yang menurut Amnesty Internasional
belum dilakukan pertanggung jawababn, yakni, pembunuhan tiga warga Papua di
Kongres Rakyat Papua III (Oktober 2011), saat pemogokan tambang di Timika
(Oktober 2011), dan saat pertemuan agama di Sorong (Mei 2013) atau pembunuhan
aktivis politik Mako Tabuni (Juni 2013).
Selain Amesty Internasional ada sejumlah organisasi
yang menuntut hal yang sama pada pemerintah Indonesia, seperti Expo Waena,
Gapura Universitas Cendrawasih, dan Kampus Umel Mandiri. Beberapa komponen
lembaga yang tergabung dalam aksi kali ini adalah Jaringan Perempuan Papua,
Mahasiswa Papua Peduli HAM, KontraS, BUK Papua, SKPKC Fansiskan Papua, Komite
Nasional Papua Barat (KNPB), Forum Independen Mahasiswa (FIM), Garda-P, dan
Baptis Papua. Berbagai organisasi pro-terhadap penegakan HAM ini melakukan aksi
massa di depan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), mendesak DPRP pro-aktif
dalam menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM di Papua.
“Kasus Wasior 2001 dan Wamena Berdarah 2003 yang
sudah dilakukan investigasi secara independen oleh Komnas HAM saja masih
tertahan di Kejaksaan Agung, apalagi kasus-kasus HAM lainnya. Kami pesimis
dengan kebijakan Negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua,” kata
Pilipus Rohaba (koordinator aksi).
Walau pun rakyat Papua dan berbagai organisasi
tersebut mengencangkan suara bahwa pelanggaran HAM telah menewaskan 5 remaja
Papua tersebut adalah TNI-Polri, namun pemerintah Indonesia berusaha untuk
menolak kenyataan itu, dan menuding bahwa penembakan itu dilakukan oleh
Organisasi Papua Merdeka (OPM) bukan oleh TNI-Polri. Ironis!
Lebih parahnya lagi, wakil presiden Jusuf Kalla,
dalam menanggapi pelanggaran HAM di Papua berkomentar, kalau rakyat kena tembak
dianggap melanggar HAM, tetapi kalau TNI-Polri yang kena tembak tidak melanggar
HAM seperti yang sering terjadi di Papua. Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa
kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sebenarnya berakar pada lemahnya
produktifitas rakyat Papua dan gaya hidup konsumtif rakyat Papua. Dan oleh
karena itulah, untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan di Papua, rakyat
Papua harus meningkatkan produktifitas dan menekan gaya hidup konsumtif.
Argumen dari Jusuf Kalla tersebut menunjukan bahwa
dia membuta terhadap kenyataan yang tengah terjadi di Papua. Tampaknya dia
tidak berpikir bahwa untuk meningkatkan produktifitas butuh biaya dan perhatian
dari pemerintah Indonesia, sedangkan selama ini rakyat Papua selama
bertahun-tahun telah dimiskinkan oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai
kebijakannya yang pro-terhadap modal asing dan abai terhadap kesejahteraan
rakyat, khususnya rakyat Papua.
Produktifitas yang dimaksud oleh Jusuf Kalla, tentu
saja, dalam pengertian kerangka teori pembangunan yang bertumpu pada
ketergantungan terhadap modal asing. Dengan demikian, Jusuf Kalla tampaknya
mengarahkan rakyat Papua untuk mengamini keberadaan perusahaan-perusahaan asing
yang beroperasi di tanah Papua, salah satunya yang terbesar adalah Freeport
McMoran Copper & Gold. Dari argumentasinya tersebut, terselip pesan secara
implisit, bahwa hendaknya rakyat Papua mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu
perusahaan asing, diantaranya Freeport, membutuhkan buruh-buruh murah, siap
bekerja dengan baik dan berkualitas untuk kepentingan proses akumulasi kapital
yang dilakukan oleh modal asing.
Jusuf Kalla lupa kalau selama ini pemerintah
Indonesia tidak care (abai) terhadap kesejahteraan rakyat
Papua. Pemerintah hanya care (perduli) pada kepentingan pemodal
asing di tanah Papua dan menindas rakyat Papua, baik melalui tindakan
represifnya melalui TNI-Polri maupun pemiskinan secarat terstruktur. Bagaimana
mungkin rakyat Papua bergaya hidup konsumtif, kecuali para elitenya, apabila
hidup mereka sengsara, kelaparan dan kurang gizi.
Permasalahan pelanggaran HAM di tanah Papua oleh
TNI-Polri benar berakar pada permasalah ekonomi, tapi bukan permasalahan
sebagaimana yang disampaikan oleh Jusuf Kalla, tetapi permasalahan ekonomi-politik
yang bersifat struktural dimana modal asing dan sepak terjang kapitalis di
tanah Papualah yang merupakan aktor utamanya. Kemunculan OPM dan berbagai
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI-Polri berakar dari sini.
Sejarah pertambangan Freeport di tanah Papua
mencatat. Untuk mengamankan kepentingan modalnya Freeport tidak segan-segan
membayar mahal TNI-Polri untuk menindas buruh-buruh dan rakyat Papua meminta
keadilan terhadap beroperasinya perusahaan pertambangan tambaga dan emas itu.
Tidak tanggung-tanggung 300 juta digelontorkan oleh Freeport untuk jasa
keamanan dari TNI-Polri setiap bulannya. ICW (Indonesia Corruption Watch)
bahkan mencatat, Freeport membayar jasa kemanan untuk kepolisian dan TNI
sebesar 79,1 juta dolar AS atau sekitar Rp. 711 miliar, selama tahun 2001-2010.
Bahkan Freeport meminta kepada pemerintah Indonesia untuk semakin memperkuat
keamanan modal dengan cara menambah jumlah TNI-Polri di tanah Papua.
Berbagai cara yang digunakan oleh TNI-Polri untuk
mengamankan kepentingan modal Freeport, dari menindas aksi-aksi massa yang
dilakukan oleh buruh sampai pada menunjukkan kekuatan militer kepada rakyat
Papua. Dengan menunjukkan kekuatan pada rakyat Papua, TNI-Polri berharap rakyat
Papua takut dalam menuntut keadilan terhadap sepak terjang Freeport yang
merugikan masyarakat Papua.
BERSAMBUNG
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di notesnya penulis di akun facebook pribadinya. Kami menyadari bahwa tulisan ini sangat penting untuk kita pahami bersama, bagaimana sistem kapitalisme itu berjamur dan bermain bersama praktek militerisme untuk melindungi kekayaan alam Papua demi kepentingan mereka.
Redaksi Matoa
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di notesnya penulis di akun facebook pribadinya. Kami menyadari bahwa tulisan ini sangat penting untuk kita pahami bersama, bagaimana sistem kapitalisme itu berjamur dan bermain bersama praktek militerisme untuk melindungi kekayaan alam Papua demi kepentingan mereka.
Redaksi Matoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar