Foto Petrus Kindem. Tampak-anak-anak-Kampung Selil, Distrik Uliln, Papua, sedang bermain bulutangkis di areal HGU Bio Inti Agrindo. Sumber: www.mongabay.co.id |
Penulis: Topilus
B. Tebai
Tanah
air Papua itu mama bagi semua orang Papua. Setiap 312 suku bangsa yang
menempati tanah air Papua ini dilahirkan, dibesarkan, diasuh dan diberi makan
oleh mama Papua. Tanah air Papua itu nafas hidup kita. Tanah dorang ambil,
kitorang mati!
Kita
mulai dengan tanya kita punya diri. Patok saja, dari bapa punya bapa
(kakek). Dia melangsungkan hidup di atas tanah adatnya. Dia punya kebun di atas
tanah adatnya. Dari kebun yang di atas tanah itu, dia tanam berbagai jenis
bahan makanan. Lalu di sisa lahan yang lain, dia berburu. Dapat daging untuk
dia makan. Untuk suku bangsa Papua yang lain, mereka punya hutan-hutan sagu
milik kelompok/komunitas hidup. Saat persediaan sagu habis, ramai-ramai mereka
ke hutan sagu, bikin sagu, lalu pulang. Mereka berburu untuk ambil
daging.
Kebun
dengan bahan makanan itu ada dimana? Di atas tanah. Hutan sagu dan aneka macam
kuskus, rusa, burung, babi hutan, itu ada dimana? Di atas tanah. Jadi kita
punya hidup sejak dari bapa punya bapa, sangat tergantung pada tanah Papua ini.
Bahkan setelah kebudayaan luar dari sisi corak produksinya yang lebih bertumpu
pada kegiatan perdagangan, mengenal siklus keuangan, dan mengenal kapital dan
pasar itu datang, kita orang Papua yang di dalamnya 312 suku bangsa ini masih
hidup dalam tahapan mencukupi kebutuhan kita sendiri dengan berburu,
mengumpulkan bahan makanan, bertani/berkebun. Walau pendatang hasil migran
sudah di tahapan kapitalisme dengan mengandalkan pasar dan perputaran uang
untuk hidup, kita yang 312 suku bangsa di Papua ini masih mengandalkan tanah
Papua ini untuk hidup!
Maka
untuk pembangunan ekonomi hari ini, apabila pemerintah Indonesia dan aparatnya
di daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh tanah Papua ingin agar kita
bangsa Papua maju dalam ekonomi, mereka seharusnya tidak melepaskan kita dengan
tanah yang menghidupi. Bila Indonesia benar-benar ingin agar orang Papua maju
dan menjadi sejahtera, maka sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang diambil
dalam konteks ekonomi adalah kebijakan-kebijakan yang memproteksi dan melindungi
tanah-tanah adat milik orang Papua, melindungi kepemilikan tanah adat,
meregulasikannya.
Tapi apa yang terjadi saat ini?
Tanah
Papua dianggap milik negara. Ada dalam undang-undang dasar negara ini, bunyinya
antara lain bilang, “... tanah, air dan udara adalah milik negara dan
dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat ...” dan seterusnya. Tanah
Papua milik negara Indonesia, bukan milik masyarakat adat Papua. Maka
tanah-tanah adat tidak diproteksi. Hak milik masyarakat adat hilang. Apa akibat
dari hal ini?
Saya
bingung apa istilah yang pas, kit samakan saja dengan sistem
‘lelang.’ Indonesia membagi tanah Papua, petak-petak. Lalu masing-masing petak
dengan kekayaan dan potensi alamnya yang khas itu dilelang kepada para
investor, para pemodal asing maupun lokal dan kolaborasi. Mereka mengambil
petak-petak tanah Papua. Mereka tidak peduli, petak-petak tanah itu sebenarnya
adalah milik pusaka suku-suku bangsa Papua yang jumlahnya 312 itu.
Lalu mereka bikin industri pertambangan, pengeboran, penebangan hutan untuk
perkebunan sawit, dan lain-lain. Eksploitasi dan eksplorasi terus berlanjut
atas dasar undang-undang penanaman modal dari Indonesia.
Lalu
terjadilah yang demikian: Orang Papua kehilangan tanah. Artinya orang Papua
kehilangan tempat bikin kebun sebagai sumber bahan makanan. Orang
Papua kehilangan hutan-hutan sagu. Orang Papua kehilangan tanah tempat berburu.
Orang Papua kehilangan penopang kehidupannya. Istilahnya, tanah dorang ambil.
Lalu kitorang tunggu mati!
Tapi
sabar, para investor itu, mereka cerdik. Indonesia punya skema juga untuk
siasati kitorang punya kehidupan kekiniaan yang seperti di atas itu. Lalu
mereka bilang ke kita: Kalian orang Papua, masuklah ke dalam
perusahaan-perusahaan itu, jadilah pekerja di sana dengan gaji dan fasilitas
yang memadai. Uang ganti rugi dan hak ulayat akan kami berikan, silahkan kalian
pakai buat beli apa saja. Kami akan bangun fasilitas umum, pasar, sekolah dan
rumah sakit, dan lain-lain dan lain-lain. Intinya dorang bicara
banyak! Lalu Otonomi Khusus juga berikan kepada kita orang Papua kucuran dana
segar yang melimpah. Apalagi dalam program Respek, setiap kampung dapat lebih
dari 100 juta. Kita senang. Kita bahagia karena ada uang buat belanja segala
kebutuhan hidup. Kita bahagia karena ada fasilitas dari perusahaan dan
lain-lain dan lain-lain. Terus?
Kita
tidak sadar bahwa tanah kita sudah berpindah tangan ke dorang dan sudah jadi
milik dorang. Kita tidak sadar bahwa kita punya sumber kehidupan itu (tanah
kita) telah digantikan perannya oleh para perusahaan itu, para investor itu,
oleh uang Otsus itu, oleh beras Raskin itu. Kita tidak sadar bahwa kita
sekarang menggantungkan kita punya detak nafas ini kepada segala sesuatu yang
asing, yang tidak kita kenali, yang tidak kita produksi sendiri, yang tidak
kita mengerti alur dan sistemnya. Kita tidak sadar bahwa tanah air yang memberi
kita kehidupan sejak nenekmoyang kita itu telah kita persembahkan ke hadapan
imperialisme-kapitalisme global melalui pintu (UU PMA) yang dibuka lebar-lebar
oleh Indonesia yang mengaku diri ‘kitorang pu bapa’ itu.
Pikir-pikir,
kita sudah serahkan harta paling berharga yang bangsa Papua punya: tanah air
Papua. Kita telah berikan tanah air yang memastikan detak nafas kita tetap ada
itu kepada dorang. Lalu kita sudah menggantungkan detak nafas kita kepada
sistem, cara kerja, hasil-hasil produksinya mereka, yang asing bagi kita.
Masuk
akal kah? Jelas tidak! Bangsa Papua sudah rugi besar! Bangsa Papua sudah bikin
kesalahan besar: memberi nafas hidupnya kepada orang lain untuk dikendalikan!
Ini tidak masuk akal. Ini kesalahan besar bangsa Papua! Padahal orang Papua
mengaku diri punya akal budi, harkat dan martabat, marifat dan budi
pekerti.
Pikir-pikir,
apa yang bisa bangsa Papua banggakan tanpa tanah air?
Perusahaan-perusahaan
itu habiskan segala harta karun yang dikandung dalam tanah kita, yang
sebenarnya itu adalah milik pusaka kita. Harta karun itu adalah emas, tembaga,
titanium, uranium, minyak bumi, nikel, kayu, batubara, dan lain-lain dan
lain-lain. Lalu tanah jadi tandus, kering kerontong! Dorang kastinggal begitu
saja tanah itu. Di atasnya dibangun bangunan-bangunan, apartemen,
supermarket-supermarket. Siapa yang tempati semua itu? Siapa yang jadi
‘pemain-pemain’ di sana? Orang Papua? Akh, tipu besar!
Kitorang
lihat hasil pendidikan Indonesia saat ini pada orang asli Papua: sudah berapa
sarjana, magister dan doktor asli Papua? Mereka masih hidup semua kah banyak
yang mati muda? Mereka yang berpendidikan itu hanya segelintir, iya to?. Lalu
bagimana dengan 80% orang asli Papua di leposok-pelosok yang buta huruf hingga
hari ini? Bagaimana dengan penerapan penyelenggaraan pendidikan yang sangat
buruk di Papua saat ini? Kita harus mengerti, dengan penyelenggaraan pendidikan
yang model begini, kita orang asli Papua dipersiapkan hanya untuk jadi
pekerja-pekerja kasar, buruh-buruh upahan, staf-staf rendahan di dalam
perusahaan-perusahaan, di perkantoran dan segala divisi yang akan dibangun
kelak. Istilahnya, kalo su bisa baca surat pernyataan dan tandatangan
surat penyerahan tanah, ko su pintar!
Di
Jawa, Sumatera, Sulawesi, di Malaysia, di Australia, Amerika, Jepang, China,
ada jutaan tenaga kerja yang siap ke Papua, untuk memenangkan persaingan dengan
kita bangsa Papua dalam ranah pasar bebas, sebuah skema pembangunan ekonomi
kawasan tanpa ada sekat-sekat yang menghalangi, yang saat ini Indonesia dorang
sedang dorong. Kita orang Papua, dengan tingkat kemiskinan tinggi, dengan
tingkat angka buta huruf 80%, dengan tingkat pendidikan yang rendah, dengan
tingkat HIV/AIDS tinggi, dengan masyarakat yang masih dalam tahapan peradaban
komunal dan tribal, kita mau buat apa? Kita sudah tertinggal 50 langkah ke
belakang. Kita jelas-jelas tidak mampu mengikuti alur main kapitalisme dan
pasar bebas yang sudah di depan mata.
Pilihan
terakhir, dan sayangnya, telah jadi satu-satunya pilihan adalah kembali kepada
pengenalan diri kita dan penataan segala sistem yang bersinggungan dengan
kehidupan kita. Tak terkecuali penataan sistem ekonomi-politik.
Maka
satu-satunya cara bagi orang Papua adalah kembali menjadikan tanah Papua milik
ke-312 suku bangsa asli Papua itu. Lalu khusus untuk Papua, dibangunlah sistem
pembangunan ekonomi yang partisipatoris dan emansipatoris, yang menjadikan
sifat hubungan kepemilikan tanah oleh suku-suku bangsa Papua sebagai landasan utama
pembangunan ekonomi. Jadi syarat pembangunan ekonomi Papua sudah harus dari
pengakuan tanah adat, peran tanah bagi hidup orang Papua, dan pengembangan ke
depannya adalah memutus mata-mata rantai ketergantungan yang mengalihkan
ketergantungan manusia Papua pada alam (tanah airnya) kepada segala sesuatu
yang di luar dari tanah air mereka.
Bila
tidak seperti di atas, kita bilang, Indonesia itu penjajah. Dorang hanya
pentingkan tanah air Papua yang kita punyai dan ingin merampasnya dari kita
untuk kepentingan ekonomi mereka tanpa pedulikan kita bagsa Papua dengan segala
kondisi sosial ekonomi, budaya dan peradaban kita saat ini.
Kalau
saya berpikirnya begini, kamu terserah. Indonesia dan aparatur pemerintahannya
segera kembalikan tanah air Papua agar kembali menjadi milik masyarakat adat
Papua. Atur dalam regulasi dan undang-undang. Disahkan! Peran negara dalam
mengikat perjanjian eksplorasi, eksploitasi di atas tanah adat Papua ditiadaka.
Berbagai ikatan ketergantungan kepada segala sesuatu yang tidak bisa dihasilkan
manusia Papua mesti diupayakan untuk dihapus dari segala sistem hidup yang
diterapkan. Ada pengakuan terhadap hubungan alamiah antara manusia Papua dan
tanah airnya untuk hidup. Kalau Indonesia tetap jalankan sistem pembangunan
ekonomi seperti saat ini, dimana eksplorasi dan eksploitasi tambang dan
sumber-sumber daya alam Papua lainnya sebagai satu-satunya jalan membangun
ekonomi Papua, didukung kucuran dana Otsus yang justru menciptakan dan
memperkuat ketergantungan, saya pikir orang Papua harus tempuh jalan radikal
untuk menyelamatkan kehidupannya.
Jalan
radikal itu adalah kemerdekaan Papua. Hanya kemerdekaan yang akan mengembalikan
tanah Papua kembali ke pangkuan rakyat Papua. Hanya kemerdekaan yang memberi
bangsa Papua kesempatan menata kembali segala sistem kehidupan
ekonomi-politiknya berlandaskan perkembangan peradabannya. Hanya kemerdekaanlah
yang akan jadi pagar politik bagi bangsa Papua -bukan NKRI, bukan Otsus
produksi NKRI- yang akan memagari bangsa Papua dari arus pasar bebas (pengaruh
kuasa kapitalisme global) yang akan mengacaukan dan menghancurkan tatanan hidup
bangsa Papua.
Topilus
B. Tebai adalah penulis lepas.
Sayang Saja
BalasHapus