Rabu, 16 Maret 2016

OAP: Tanah Dorang Ambil, Kitorang Mati!



Foto Petrus Kindem. Tampak-anak-anak-Kampung Selil, Distrik Uliln, Papua, sedang bermain bulutangkis di areal HGU Bio Inti Agrindo. Sumber: www.mongabay.co.id



Penulis: Topilus B. Tebai

Tanah air Papua itu mama bagi semua orang Papua. Setiap 312 suku bangsa yang menempati tanah air Papua ini dilahirkan, dibesarkan, diasuh dan diberi makan oleh mama Papua. Tanah air Papua itu nafas hidup kita. Tanah dorang ambil, kitorang mati!

Kita mulai dengan tanya kita punya diri. Patok saja, dari  bapa punya bapa (kakek). Dia melangsungkan hidup di atas tanah adatnya. Dia punya kebun di atas tanah adatnya. Dari kebun yang di atas tanah itu, dia tanam berbagai jenis bahan makanan. Lalu di sisa lahan yang lain, dia berburu. Dapat daging untuk dia makan. Untuk suku bangsa Papua yang lain, mereka punya hutan-hutan sagu milik kelompok/komunitas hidup. Saat persediaan sagu habis, ramai-ramai mereka ke hutan sagu, bikin sagu, lalu pulang. Mereka berburu untuk ambil daging. 

Kebun dengan bahan makanan itu ada dimana? Di atas tanah. Hutan sagu dan aneka macam kuskus, rusa, burung, babi hutan, itu ada dimana? Di atas tanah. Jadi kita punya hidup sejak dari bapa punya bapa, sangat tergantung pada tanah Papua ini. Bahkan setelah kebudayaan luar dari sisi corak produksinya yang lebih bertumpu pada kegiatan perdagangan, mengenal siklus keuangan, dan mengenal kapital dan pasar itu datang, kita orang Papua yang di dalamnya 312 suku bangsa ini masih hidup dalam tahapan mencukupi kebutuhan kita sendiri dengan berburu, mengumpulkan bahan makanan, bertani/berkebun. Walau pendatang hasil migran sudah di tahapan kapitalisme dengan mengandalkan pasar dan perputaran uang untuk hidup, kita yang 312 suku bangsa di Papua ini masih mengandalkan tanah Papua ini untuk hidup!


Maka untuk pembangunan ekonomi hari ini, apabila pemerintah Indonesia dan aparatnya di daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh tanah Papua ingin agar kita bangsa Papua maju dalam ekonomi, mereka seharusnya tidak melepaskan kita dengan tanah yang menghidupi. Bila Indonesia benar-benar ingin agar orang Papua maju dan menjadi sejahtera, maka sistem ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam konteks ekonomi adalah kebijakan-kebijakan yang memproteksi dan melindungi tanah-tanah adat milik orang Papua, melindungi kepemilikan tanah adat, meregulasikannya.

Tapi apa yang terjadi saat ini?

Tanah Papua dianggap milik negara. Ada dalam undang-undang dasar negara ini, bunyinya antara lain bilang, “... tanah, air dan udara adalah milik negara dan dipergunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat ...” dan seterusnya. Tanah Papua milik negara Indonesia, bukan milik masyarakat adat Papua. Maka tanah-tanah adat tidak diproteksi. Hak milik masyarakat adat hilang. Apa akibat dari hal ini?

Saya bingung apa istilah yang pas, kit samakan  saja dengan sistem ‘lelang.’ Indonesia membagi tanah Papua, petak-petak. Lalu masing-masing petak dengan kekayaan dan potensi alamnya yang khas itu dilelang kepada para investor, para pemodal asing maupun lokal dan kolaborasi. Mereka mengambil petak-petak tanah Papua. Mereka tidak peduli, petak-petak tanah itu sebenarnya adalah milik pusaka suku-suku bangsa Papua yang jumlahnya 312  itu. Lalu mereka bikin industri pertambangan, pengeboran, penebangan hutan untuk perkebunan sawit, dan lain-lain. Eksploitasi dan eksplorasi terus berlanjut atas dasar undang-undang penanaman modal dari Indonesia. 

Lalu terjadilah yang demikian: Orang Papua kehilangan tanah. Artinya orang Papua kehilangan  tempat bikin kebun sebagai sumber bahan makanan. Orang Papua kehilangan hutan-hutan sagu. Orang Papua kehilangan tanah tempat berburu. Orang Papua kehilangan penopang kehidupannya. Istilahnya, tanah dorang ambil. Lalu kitorang tunggu mati! 

Tapi sabar, para investor itu, mereka cerdik. Indonesia punya skema juga untuk siasati kitorang punya kehidupan kekiniaan yang seperti di atas itu. Lalu mereka bilang ke kita: Kalian orang Papua, masuklah ke dalam perusahaan-perusahaan itu, jadilah pekerja di sana dengan gaji dan fasilitas yang memadai. Uang ganti rugi dan hak ulayat akan kami berikan, silahkan kalian pakai buat beli apa saja. Kami akan bangun fasilitas umum, pasar, sekolah dan rumah sakit, dan lain-lain dan lain-lain. Intinya dorang bicara banyak! Lalu Otonomi Khusus juga berikan kepada kita orang Papua kucuran dana segar yang melimpah. Apalagi dalam program Respek, setiap kampung dapat lebih dari 100 juta. Kita senang. Kita bahagia karena ada uang buat belanja segala kebutuhan hidup. Kita bahagia karena ada fasilitas dari perusahaan dan lain-lain dan lain-lain. Terus?

Kita tidak sadar bahwa tanah kita sudah berpindah tangan ke dorang dan sudah jadi milik dorang. Kita tidak sadar bahwa kita punya sumber kehidupan itu (tanah kita) telah digantikan perannya oleh para perusahaan itu, para investor itu, oleh uang Otsus itu, oleh beras Raskin itu. Kita tidak sadar bahwa kita sekarang menggantungkan kita punya detak nafas ini kepada segala sesuatu yang asing, yang tidak kita kenali, yang tidak kita produksi sendiri, yang tidak kita mengerti alur dan sistemnya. Kita tidak sadar bahwa tanah air yang memberi kita kehidupan sejak nenekmoyang kita itu telah kita persembahkan ke hadapan imperialisme-kapitalisme global melalui pintu (UU PMA) yang dibuka lebar-lebar oleh Indonesia yang mengaku diri ‘kitorang pu bapa’ itu.

Pikir-pikir, kita sudah serahkan harta paling berharga yang bangsa Papua punya: tanah air Papua. Kita telah berikan tanah air yang memastikan detak nafas kita tetap ada itu kepada dorang. Lalu kita sudah menggantungkan detak nafas kita kepada sistem, cara kerja, hasil-hasil produksinya mereka, yang asing bagi kita. 

Masuk akal kah? Jelas tidak! Bangsa Papua sudah rugi besar! Bangsa Papua sudah bikin kesalahan besar: memberi nafas hidupnya kepada orang lain untuk dikendalikan! Ini tidak masuk akal. Ini kesalahan besar bangsa Papua! Padahal orang Papua mengaku diri punya akal budi, harkat dan martabat, marifat dan budi pekerti. 

Pikir-pikir, apa yang bisa bangsa Papua banggakan tanpa tanah air?

Perusahaan-perusahaan itu habiskan segala harta karun yang dikandung dalam tanah kita, yang sebenarnya itu adalah milik pusaka kita. Harta karun itu adalah emas, tembaga, titanium, uranium, minyak bumi, nikel, kayu, batubara, dan lain-lain dan lain-lain. Lalu tanah jadi tandus, kering kerontong! Dorang kastinggal begitu saja tanah itu. Di atasnya dibangun bangunan-bangunan, apartemen, supermarket-supermarket. Siapa yang tempati semua itu? Siapa yang jadi ‘pemain-pemain’ di sana? Orang Papua? Akh, tipu besar! 

Kitorang lihat hasil pendidikan Indonesia saat ini pada orang asli Papua: sudah berapa sarjana, magister dan doktor asli Papua? Mereka masih hidup semua kah banyak yang mati muda? Mereka yang berpendidikan itu hanya segelintir, iya to?. Lalu bagimana dengan 80% orang asli Papua di leposok-pelosok yang buta huruf hingga hari ini? Bagaimana dengan penerapan penyelenggaraan pendidikan yang sangat buruk di Papua saat ini? Kita harus mengerti, dengan penyelenggaraan pendidikan yang model begini, kita orang asli Papua dipersiapkan hanya untuk jadi pekerja-pekerja kasar, buruh-buruh upahan, staf-staf rendahan di dalam perusahaan-perusahaan, di perkantoran dan segala divisi yang akan dibangun kelak. Istilahnya, kalo su bisa baca surat pernyataan dan tandatangan surat penyerahan tanah, ko su pintar!

Di Jawa, Sumatera, Sulawesi, di Malaysia, di Australia, Amerika, Jepang, China, ada jutaan tenaga kerja yang siap ke Papua, untuk memenangkan persaingan dengan kita bangsa Papua dalam ranah pasar bebas, sebuah skema pembangunan ekonomi kawasan tanpa ada sekat-sekat yang menghalangi, yang saat ini Indonesia dorang sedang dorong. Kita orang Papua, dengan tingkat kemiskinan tinggi, dengan tingkat angka buta huruf 80%, dengan tingkat pendidikan yang rendah, dengan tingkat HIV/AIDS tinggi, dengan masyarakat yang masih dalam tahapan peradaban komunal dan tribal, kita mau buat apa? Kita sudah tertinggal 50 langkah ke belakang. Kita jelas-jelas tidak mampu mengikuti alur main kapitalisme dan pasar bebas yang sudah di depan mata. 

Pilihan terakhir, dan sayangnya, telah jadi satu-satunya pilihan adalah kembali kepada pengenalan diri kita dan penataan segala sistem yang bersinggungan dengan kehidupan kita. Tak terkecuali penataan sistem ekonomi-politik.

Maka satu-satunya cara bagi orang Papua adalah kembali menjadikan tanah Papua milik ke-312 suku bangsa asli Papua itu. Lalu khusus untuk Papua, dibangunlah sistem pembangunan ekonomi yang partisipatoris dan emansipatoris, yang menjadikan sifat hubungan kepemilikan tanah oleh suku-suku bangsa Papua sebagai landasan utama pembangunan ekonomi. Jadi syarat pembangunan ekonomi Papua sudah harus dari pengakuan tanah adat, peran tanah bagi hidup orang Papua, dan pengembangan ke depannya adalah memutus mata-mata rantai ketergantungan yang mengalihkan ketergantungan manusia Papua pada alam (tanah airnya) kepada segala sesuatu yang di luar dari tanah air mereka.

Bila tidak seperti di atas, kita bilang, Indonesia itu penjajah. Dorang hanya pentingkan tanah air Papua yang kita punyai dan ingin merampasnya dari kita untuk kepentingan ekonomi mereka tanpa pedulikan kita bagsa Papua dengan segala kondisi sosial ekonomi, budaya dan peradaban kita saat ini.

Kalau saya berpikirnya begini, kamu terserah. Indonesia dan aparatur pemerintahannya segera kembalikan tanah air Papua agar kembali menjadi milik masyarakat adat Papua. Atur dalam regulasi dan undang-undang. Disahkan! Peran negara dalam mengikat perjanjian eksplorasi, eksploitasi di atas tanah adat Papua ditiadaka. Berbagai ikatan ketergantungan kepada segala sesuatu yang tidak bisa dihasilkan manusia Papua mesti diupayakan untuk dihapus dari segala sistem hidup yang diterapkan. Ada pengakuan terhadap hubungan alamiah antara manusia Papua dan tanah airnya untuk hidup. Kalau Indonesia tetap jalankan sistem pembangunan ekonomi seperti saat ini, dimana eksplorasi dan eksploitasi tambang dan sumber-sumber daya alam Papua lainnya sebagai satu-satunya jalan membangun ekonomi Papua, didukung kucuran dana Otsus yang justru menciptakan dan memperkuat ketergantungan, saya pikir orang Papua harus tempuh jalan radikal untuk menyelamatkan kehidupannya.

Jalan radikal itu adalah kemerdekaan Papua. Hanya kemerdekaan yang akan mengembalikan tanah Papua kembali ke pangkuan rakyat Papua. Hanya kemerdekaan yang memberi bangsa Papua kesempatan menata kembali segala sistem kehidupan ekonomi-politiknya berlandaskan perkembangan peradabannya. Hanya kemerdekaanlah yang akan jadi pagar politik bagi bangsa Papua -bukan NKRI, bukan Otsus produksi NKRI- yang akan memagari bangsa Papua dari arus pasar bebas (pengaruh kuasa kapitalisme global) yang akan mengacaukan dan menghancurkan tatanan hidup bangsa Papua.

Topilus B. Tebai adalah penulis lepas.

1 komentar: