Rabu, 16 Maret 2016

Pembunuh Bayangan

Foto: Ilustrasi

Penulis: Topilus B. Tebai

BUNUH! Dalam benakku, hanya ada kata itu: Bunuh!

Memang, itulah tugasku, membunuh. Namaku? Bagaimana aku memberitahu kau, sedang aku pun tak mengetahui siapa diriku? Yang aku tahu, aku  pembunuh. Pembunuh bayangan. Aku tahu, aku lahir untuk membunuh. Lebihnya? Tidak penting bagiku kini.

Barangkali yang muncul dalam imajimu adalah sosok berperawakan menyeramkan dengan jenggot tebalnya, atau alisnya yang tebal, dengan mata semerah darah, bila kau ketik kata “pembunuh” dalam mesin pencari di otakmu.

Entalah! Yang jelas, aku bukan seperti yang kau bayangkan. Aku manusia seribu wajah. Aku manusia seribu bahasa. Aku manusia seribu karakter. Aku hadir dalam setiap tarikan nafasmu.
Aku berada dimana kau berada, berdiri di setiap persimpangan jalan, berjalan di belakangmu, mengikuti kemana kau pergi. Aku masuk di tempat kau masuk, dan duduk di belakang tempatmu duduk, mengawasimu.


Barangkali, kau pernah bertemu aku. Mungkin di pasar, katika aku dengan sepeda tuaku berteriak-teriak dengan keringat di dahi, berjualan koran. Sangkamu, aku benar penjual koran. Nyatanya? Itu wajahku ketika mengamati mangsa.

Barangkali, kau pernah bertemu aku di tempat karaoke. Di warung makan. Aku mungkin kau lihat saat menjadi pelayan, atau menjadi salah satu wanita penghibur yang menemanimu kala itu. Itulah aku, dan sekali lagi, kau tak tahu siapa aku, bahkan saat kau berada di atasku, dalam jarak yang tidak lebih dari satu sentimeter, di atas ranjang, bersiap menindihku dengan gelora.

Kau tidak sadar bahwa saat itu, aku berduaan sediri dengan calon pembunuh dirimu. Aku!
Pemuda, barangkali kau lihat aku ketika aku datang padamu. Aku duduk bersamamu, dengan cepat merebut kepercayaanmu, lalu mengajakmu minum. Ketika kau mabuk, aku tinggal memencet tut-tut di Hpku, memanggil rekan-rekanku. Dan saat rekan-rekanku datang, aku sudah enyah dari antaramu. Itulah aku, pembunuh bayangan, bergerak bagai bayangan. Membunuh dalam sekejab, bagai kelebat bayangan.

Barangkali, kau pernah bertemu aku di tempat wisata. Ketika itu, mungkin aku menjadi seorang wisatawan. Dengan wanita, bir, dengan celana pendek, dan kau tak menyangka bahwa akulah dia. Itulah wajahku ketika refresing. Kata Boss, aku perlu refresing. Katanya, itu semacam jeda iklan untuk kemudian melanjutkan filmnya. Seperti jeda sejenak untuk iklan di Global TV.

Barangkali kau juga pernah bertemu aku. Ketika itu, aku jadi pengojek. Aku mengantarmu ke tempat tujuanmu. Dalam perjalanan, aku bertanya, dimana kau tinggal, dari mana asalmu. Kau jawab tanpa pikir panjang, tidak sadar bahwa akulah pembunuh bayangan, yang dapat melenyapkanmu dalam hitungan detik. Itulah wajahku ketika aku bertugas.

Mungkin juga kita pernah duduk bersama di Cafetaria kapal. Mungkin dalam perjalanan Surabaya –Jayapura. Kita cerita banyak hal. Dengan cepat kau percayai aku. Jangan heran kawan, aku memang ahlinya untuk itu.

Dan ketika informasi berhasil kukorek darimu, esok pagi takkan kau temukan aku dengan wajah lama. Aku telah berwajah baru. Mungkin pedagang, mungkin juga anak buah kapal yang sering mondar mandir di depanmu. Aku cukup lihai membutakan matamu untuk memandangku. Inilah aku, pembunuh bayangan. Bergerak bagai bayangan.

Juga mungkin, kita pernah bertemu. Aku saat itu kau lihat sebagai  jurnalis, reporter, koresponden, mahasiswa, aktivis yang berteriak di jalan, atau sebagai  pejabat pemerintahmu yang vokal. Itulah aku, pembunuh bayangan.

Aku muncul padamu ketika kau belum berpikir tentang kemungkinan bagi aku untuk hadir di sekitarmu, dan menghilang sebelum kau menyadari, bahwa beberapa detik lalu, aku telah berdiri di sampingmu, duduk di belakangmu, mengintaimu, menunggu kesempatan pas.
Kau tahu, pembunuh yang baik akan menunggu kesempatan yang tepat. Seperti itulah aku. Bila kesempatan itu tak kunjung datang, aku lihai menciptakan kesempatan. Dan... lewatlah kau!

Ketika kita berkontak mata, bukan sorot mata merah dan tajam menusuk, atau dengan alis mata tebal yang kau temui. Takkan kau jumpai aku dengan perawakanku seperti itu. Aku proffesional.

Ketika di dekatmu, aku hadir dengan bola mata bulat, dengan rambut kelopak yang lentik, dengan alisnya yang tipis menawan, yang membuat hatimu berteriak: ‘Aduhai...betapa cantiknya bidadari itu..’ Dan ketika kalimat itu terucap dari bibirmu, kau tak tahu siapa diriku sebenarnya.

***
CEPAT, teliti, rapi, aman, dan terpercaya. Itu kredibelku sebagai pembunuh. Boss percaya aku. Kau? Bagiku, kau tidak lebih dari seonggok daging segar di tanganku, dengan embun darah berceceran di tanganku, yang  membuat air liurku menetes, ingin segera memangsamu, menghirup darah segarmu. Hidupmu begitu mudah kucekat.

Bagiku, bagi Boss yang mengaturku, menghilangkanmu dari buminya Tuhan ini terlampau gampang. Seperti sekerat daging segar, dengan tetasan darahnya, ranum, menggugah selera. Namun aku takkan menelanmu. Aku cukup memangsamu sedikit demi sedikit. Bila kau lemah, aku bangkitkan kau, untuk kemudian kumangsa kau.

Kau sumber hidupku. Tak ada kau, darimana kudapat sesuap nasi untuk aku dan keluargaku hidup? Tidak! Aku ingin terus hidup, dan ini pekerjaanku: mengintai, mengamati. Bila kau terlalu kuat, kupangkas kau. Bila terlalu lemah, kuberi sublemen tambahan. Ketika kau bangkit, kupangkas lagi. Begitu seterusnya.

***
Siang ini, aku iseng membuka Koran Online Sampari (www.sampari.com). Koran Online Sampari, majalah terbesar di tanah Papua. Dalam laporan peristiwa, kulihat foto mangsaku terbaru dicetak. Aku tertarik membaca tulisannya:

“Martinus Dororume ditemukan rombongan pemuda dalam keadaan tak bernyawa kena bacokan benda tajam di tikungan Sky Land, pagi hari ini, Senin (23/11) pukul 07.00. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ia meninggal  akibat bacokan benda tajam sekitar 4 jam yang lalu. Polisi masih menyelidiki kasus ini. Polisi yang menyelidiki menghubungkan kematian ketua umum FPCC dengan beberapa mahasiswa pegunungan yang mabuk di tikungan Sky Land malam itu,  sampai pagi. Mereka telah diamankan polisi. Polisi juga mengamankan tiga buah sabit di TKP sebagai bukti.”

Aku keluar dari warung internet. Dari tempat biasa, segera aku berganti wajah. Kini, dengan kamera tergantung di leher, dengan kaos putih menempel, aku berjalan kaki menuju Sky Land. Sampai di TKP, aku wawancarai juru bicara FPCC. Aku wawancarai saksi mata, juga polisi, juga penasehat hukum ternama di daerah itu. Aku hanya ingin mendeteksi, barangkali kerja tim bayangan terbongkar.

Bila terbongkar, aku mesti bertindak cepat melindungi Boss. Keadaan mesti kuciptakan agat Boss tidak terperciki masalah. Bagaimana aku bisa jadi wartawan? Tenang. Aku cukup lihai. Lihat, apa yang kukalungkan ini?

Kartu pers!

***
Aku tak tahu alasan Boss memberiku tugas memangsa ketum FPCC itu. Ketika target masuk, aku bergerak. Awalnya, selama sebulan, aku masuk FPCC.  Martinus, katika turun jalan, ia orasi dalam demo menuntut tanggungjawab negara atas korbanku sebelumnya di tempat lain, berkoar-koar bak air pancur memancarkan air: kencang, mengalir, bertenaga.

Aku tertawa geli. Martinus tidak sadar, bahwa pembunuh rekannya itu, yang ia kutuk dalam orasinya itu, adalah orang yang menolongnya kini di jalan, menyorongkan pengeras suara di dekat mulutnya, agar gema kutukannya begitu jelas terdengar.

Sekali ini, Martinus tidak menyadari, bahwa ia telah begitu dekat berada dengan pembunuh rekannya. Juga ia tak menyadari, target berikut dari Boss yang masuk adalah dirinya, Martinus.  Dan calon pembunuh dirinya, kini berada tidak lebih dari sementer dari dirinya. Siapa lagi bila bukan diriku.  Bagiku yang seorang pembunuh, aku menikmati fenomena langka seperti ini.

Kejadian itu kini sudah 2 minggu berlalu. Aku dengar, keempat pemuda itu dipenjara masing-masing 7 tahun dengan tuduhan membunuh ketua FPCC. Sehari setelah itu, keluarga martinus membunuh seorang dari keluarga mereka yang telah dihukum dan mendekam di penjara itu sebagai balas dendam.

Aku tertidur di apartemen dengan nyenyak. 5 jam berselang, aku baca lagi di pertal berita Sampari, terjadi pentrok antar orang Papua sendiri di Jayapura, dan korban tak terhindarkan lagi. Penyebabnya? Aku dan implementasi taktikku: Satu pembunuhan, 100 kematian. Satu pembunuhan, 100 perpecahan.

Pada saat yang sama, Hpku berdering. Pesan dari Boss:

“Selamat. Satu pembunuhan, 100 kematian. Dana telah dicairkan. Cek di rekening: @80.000.000.  Mat bersenang-senang!”

Waktunya jeda iklan, sobat. Film ini akan segera berlanjut, setelah jeda iklan ini. Terget berikut akan dikonfirmasi Boss, dan film akan segera dimulai. Khusus untuk calon korbanku yang hobinya berkoar-koar di jalan bagai air yang tercurah  di tanah ini, semoga saja mottoku dapat kurealisasikan: satu pembunuhan, 100 kematian. 1 pembunuhan, 100 perpecahan. [] TAMAT.


Catatan:
Cerpen ini pernah dimuat di blog pribadinya penlis (www.lemari-sastra.blogspot.com), kami menyadari bahwa Cerpen ini sangat penting untuk dibaca dan mesti harus hidup terus sebagai belak penyadaran tentang persoalan di Papua melalui karya sastra Papua.

Redaksi MATOA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar