Foto: Ilustrasi |
Entah sampai kapan masalah pendidikan di Papua yang
sangat serius bisa terurai. Sejauh ini tanda-tanda ke arah itu belum tampak.
Persoalan-persoalan yang mendasar masih membelit anak-anak Papua, termasuk yang
di sekolah dasar. Kondisinya serba terbatas, terutama untuk daerah-daerah
pedalaman. Layanan pendidikan belum merata. Pertanyaanya: kapan Papua akan
merdeka dari kebodohan? Anak-anak Papua boleh jadi merdeka dari kebodohan jika
ada kondisi minimal yang memungkinkan mereka untuk belajar.
Kisah Klasik
Cerita-cerita tentang gedung sekolah yang reyot, guru yang sedikit, dan tanpa
buku-buku pelajaran di pedalaman sudah usang. Kisah seperti ini dimiliki bukan
saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi sebelumnya sudah lebih dulu
mengalami.
Tidak banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di pedalaman
Papua pada tahun 1980-an dan yang ada sekarang ini. Boleh jadi sepanjang
sejarah sekolah-sekolah di pedalaman belum banyak yang memiliki perpustakaan.
Profil sekilas murid-murid pun sama: hanya sedikit yang bersepatu,
seragam yang serba kumal, dan lusuh. Jumlah guru tidak bertambah
secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah di pedalaman Papua pada umumnya
kekurangan guru.
Boleh jadi masih ada kesamaan-kesamaan yang lain: kekurangan gizi yang
menyebabkan hambatan kesehatan, kesulitan membaca dan berhitung karena tidak
ada alat bantu ajar, kesulitan mengakses sekolah dari kampung, dll. Boleh
diduga juga bahwa ada anak-anak usia sekolah yang meninggal duniadata tentang
hal ini akan sangat berdampak terhadap kebijakan pendidikan di Papuadengan
berbagai sebab: penyakit, kecelakaan, dll.
Kisah-kisah suram pendidikan pada umumnya dan pendidikan dasar ini masih bisa
lebih panjang. Pertanyaannya: mengapa kondisi pada puluhan tahun lalu tidak
banyak berbeda dengan kondisi sekarang ini? Dengan lain kata, mengapa
pembangunan pendidikan di Papua terkesan jalan di tempat? Kini dapat
dibayangkan, anak-anak Papua akan tersingkir dari kancah dunia yang berkembang
pesat.
Harus diakui, perkembangan positif dunia pendidikan di Papua tidak cukup
kentara. Ini tentu masalah yang tidak kecil. Gelombang kekecewaan terhadap
pendidikan di Papua tidak pernah surut. Akan tetapi, sejauh ini pun masalah
belum tampak akan terurai. Kisah klasik suramnya pendidikan di Papua masih
terus berlanjut, entah hingga kapan. Kebutuhan anak-anak Papua akan pendidikan
dan pengetahuan masih belum tercukupi.
Masalah Besar
Penyelenggaraan pendidikan idealnya membantu anak-anak peserta didik membuka
akses mereka terhadap pengetahuan, yang membantu mereka untuk bertumbuh dan
berkembang dalam banyak aspek hidup mereka. Pengetahuan menyumbang pada derajat
hidup anak-anak Papua. Artinya, pengetahuan membantu mereka untuk
menumbuh-kembangkan hakikat kemanusiaan mereka; mengenal dan menyerap
nilai-nilai universal. Pengetahuan akan turut membentuk perspektif hidup
anak-anak, akan membangun cara mereka menghayati hidup (way of life).
Pendidikan membantu anak-anak didik untuk memiliki mata-budi dan mata-hati yang
lebih peka sehingga bisa memandang lebih luas dan merasa lebih dalam.
Pendidikan menggerakkan anak-anak untuk merdeka, untuk membangun kebebasaannya
sendiri (mandiri) dan kebebasan bersama yang lain.
Dalam kenyataan, cukup banyak anak Papua tidak mengenyam pendidikan yang
memerdekakan ini. Masalah-masalah besar membelenggu pendidikan di Papua dan
mengancam potensi anak-anak Papua untuk tumbuh sebagai insan-insan yang
merdeka.
Pertama, semangat pendidikan yang membebaskan belum menjadi semangat
pendidikan kita. Semangat pendidikan ini antara lain ditandai dengan pemberian
ruang utama untuk pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali
dirinya: sejarahnya, tanahnya, silsilahnya, dan segala harta pengetahuan yang
ada paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal
diri sendiri dan perlahan mengenal yang lain. Dengan demikian, anak-anak pun
pada masanya akan mengerti lebih utuh diri mereka. Tanpa ruang luas untuk
mengerti diri sendiri pendidikan bagi anak-anak Papua, anak-anak Papua lebih
cenderung menjadi orang lain.
Semangat pendidikan yang membebaskan ini menggerakkan peserta didik untuk
menyadari masyarakatnya. Kesadaran ini pada saatnya bertransformasi menjadi
rasa cinta yang mendalam (compassion) terhadap tanah dan bangsa.
Pendidikan bukan hanya soal mengalirkan pengetahuan tetapi juga soal mengonstruksi
paradigma-paradigma dan membangun nilai.
Inilah masalah terbesar pendidikan di Papua: tidak menggerakkan insan-insan
muda untuk merdeka!
Kedua, tidak berkembang kultur pendidikan yang sehat. Boleh diakui
atau disangkal, budaya pendidikan di Papua sedang (di)rusak oleh
praktik-praktik berulang yang semangatnya bertentangan dengan jiwa pendidikan
ideal.
Dalam percakapan keseharian, sekolah dikesankan sebagai lembaga pencetak
ijazahselembar kertas yang berfungsi sebagai legitimasi untuk menempati jabatan
publik. Ijazah jauh lebih bernilai daripada seluruh proses belajar sehingga
seseorang pantas diberi ijazah. Bahkan, merebak pula berbagai praktik transaksi
tidak sehat demi mendapatkan ijazah.
Pemberian ijazah dengan mengabaikan prasyarat-prasyarat vital, yaitu proses
pendidikan yang sehat, merusak kultur pendidikan sekaligus membangun budaya
bohong. Praktik ini mengosongkan proses pendidikan dari makna yang
sesungguhnya. Pada saat yang sama, praktik seperti ini menunjukkan dengan
sangat jelas bahwa proses pendidikan tidak memiliki korelasi langsung dengan
ijazah. Sudah tentu, jika praktik ini terus berulang, masyarakat dan anak-anak
pun akan bertanya-tanya: sekolah untuk apa? Masyarakat akan terperangkap dalam
krisis pendidikan yang kian lama, kian parah.
Ketiga, belum terbentuk masyarakat melek pendidikan. Masalah pendidikan di
Papua antara lain menjadi berlarut-larut karena masyakarat melek pendidikan
belum sepenuhnya terbentuk. Bertautan dengan praktik yang sudah disinggung,
oleh sebagian masyarakat sekolah masih belum sepenuhnya dipahami sebagai
lembaga pendidikan. Sekolah lebih sebagai lembaga pemberi gelar. Bukan mustahil
perilaku masyarakat yang haus gelar ini bisa memanipulasi sekolah dan membajak
sekolah untuk tidak mengemban tugas sejatinya.
Secara kasar, sekolah ditekan agar memainkan peran utama menjual gelar sambil
menyelenggarakan pendidikan yang pura-pura. Artinya, pendidikan yang
diselenggarakan dibajak untuk sebatas menjadi kedok belaka. Tentu saja,
perilaku ini tidak bermanfaat bagi anak-anak belia Papua selain menjadi contoh
kasus yang buruk dan merongrong hasrat mereka akan pendidikan. Pendidikan tidak
bisa direduksi menjadi proses meluluskan atau memberi ijazah belaka.
Seandainya praktik-praktik yang pada hakikatnya malah melawan pendidikan ini
terus lestari di Papuademi alasan apa punbukankah ini kontraproduktif untuk
masyarakat Papua sekarang dan generasi yang akan datang? Anak-anak belia Papua
belum akan mengenyam pendidikan selama praktik ini masih lestari dan menjadi
jalan pintas untuk mendapatkan pengakuan sebagai insan berpendidikan.
Solusinya?
Jelaslah bahwa langkah pertama dan paling penting untuk mengatasi perkara
pendidikan di Papua adalah konsep pokok pendidikan Papua yang komprehensif,
yang secara matang dipikirkan dan didiskusikan. Cukup banyak ahli dari berbagi
disiplin untuk dimintai sumbangan pemikiran. Pendasaran filosofis untuk
pendidikan mesti ada.
Filosofi pendidikan Papua yang matang dan diproyeksikan untuk menjawab
permasalahan kontemporer dan masa depan akan memberikan pendasaran yang kuat
untuk menyusun perencanaan pendidikan di Papua. Tanpa pendasaran yang kokoh,
pendidikan di Papua kehilangan visi yang tegassekadar menjadi kumpulan
aksi-aksi yang berdiri sendiri dan lemah dalam hal ikatan dengan konteks Papua
dewasa ini serta justeru kontraproduktif terhadap masyarakat Papua.
Yang paling diperlukan sekarang ini adalah pemikiran yang kokoh dan sangat
relevan dengan persoalan pendidikan di Papua. Jika pemikiran ini sudah ada,
solusi-solusi yang lain akan dengan sendirinya muncul.
Johanes Supriyono adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Antropologi
Universitas Indonesia, peneliti ahli di Lembaga Pendidikan Papua (LPP)
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di majalahselangkah.com. Kami menyadari bahwasannya tulisan ini sangat penting untuk kita pahami dengan baik demi sebuah pemahaman yang konstruktif dan idealis demi pendidikan yang masif di Papua.
Redaksi Mato
Tidak ada komentar:
Posting Komentar