Minggu, 13 Maret 2016

Nasib Pendidikan Anak di Wilayah Pemekaran Papua

Foto: Ilistrasi



Penulis: Topilus B. Tebai

PENDIDIKAN. Bicara tentang pendidikan memang luas. Pada tulisan ini, penulis hannya menyoroti bagaimana pendidikan yang ada di daerah kita jauh melenceng dari hakekat pendidikan yang semestinya ada, salah satu di antaranya adalah karena adanya pemekaran wilayah.


Seluruh pelosok Papua telah mengidap wabah. Ya, wabah yang cepat sekali menyebarluas. Awalnya ada reformasi. Tim 100 Papua berdialog dengan Gusdur. Megawati memberi Otonomi Khusus yang katanya sebagai jawaban atas aspirasi penentuan nasib sendiri (self determination) bangsa Papua.

Setelah Otsus diberikan, Papua diberi uang Otsus. Berbarengan dengannya, seluruh daerah di tanah Papua berlomba-lomba memekarkan diri. Inilah wabah yang dimaksud: Pemekaran. Banyak elit lokal Papua memekarkan wilayahnya masing-masing, dan itu fakta, terlepas dari pertanyaan, apakah mereka memekarkan wilayah itu benar atas dasar keprihatinan mereka, atau demi harta dan kekuasaan.

Yang mesti diketahui, pemekaran itu tidak sembarang. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, di antaranya jumlah penduduk, penghasilan daerah, sumber daya manusia yang nantinya menopang keberlangsungan daerah pemekaran itu, dan banyak lagi.

Banyak pengamat mengatakan, banyak wilayah di Papua disetujui pusat untuk memekarkan diri, walau tidak memenuhi beberapa kriteria. Entahlah, apa alasannya. Terlepas dari itu, kembali ke awal, apa dampaknya terhadap pendidikan?

Banyak dampak. Anda lebih memahami ini, karena bisa jadi, pembaca adalah salah satu yang langsung merasakan masalah ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama: banyak guru yang meninggalkan pekerjaan utama mereka sebagai pengajar, dan beralih profesi menjadi pegawai pemerintah. Siapa yang akan menggantikan mereka sebagai guru? Entalah!

Akibatnya, proses belajar mengajar di daerah pemekaran tersendat-sendat, tidak semestinya. Korbannya jelas generasi muda Papua, para murid itu yang pada dasarnya punya hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak.

Kedua: Ketika guru banyak beralih profesi dan pelajaran terbengkalai, dapat dipastikan, pendidikan yang semestinya tidak didapat para siswa. Ketika ujian nasional tiba, pastinya posisi siswa sangat berat, apalagi kenyataan berbicara, mereka belum dibekali dengan pendidikan yang mestinya mereka dapat.

Di sisi lain, kepala sekolah, dinas pendidikan (fenomena ini bukan hanya di daerah pemekaran baru) yang cenderung menjadikan kuantitas kelulusan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan akan berusaha meluluskan anak didiknya.

Karena sadar tidak ada bekal ilmu yang cukup untuk menghadapi ujian nasional, akhirnya pemberian kunci jawaban menjadi solusi terakhir. Satu hal yang pasti: kepala sekolah, dinas pendidikan, pemerintah daerah ingin prestise, ingin bangga bukan malu. Dan tentunya, prestise, kebanggaan itu mereka dapat bila semua anak didik lulus 100%.

Di sini, pembunuhan masa depan anak bangsa Papua oleh anak bangsa Papua sendiri terjadi. Mestinya terbalik bukan? Itu yang terjadi.

Ketiga: Sekolah bukan dipandang lagi sebagai tempat belajar dan memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi beralih fungsi menjadi tempat memproduksi Ijazah. Ini sepertinya dilatarbelakangi oleh terbukanya lapangan pekerjaan di daerah pemekaran baru, apalagi putera daerah yang notabene diutamakan dalam pengangkatan pegawai negeri.

Bila orang-orang yang tidak memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang cukup ditugaskan di pemerintahan, menjadi guru, atau apa saja, pembangunan yang baik, yang dicita-citakan pasti tinggal mimpi. Pembangunan akan jalan di tempat. Ini bahaya!

Keempat: Hakikat pendidikan yang sebenarnya, yakni proses memanusiakan manusia berlahan dikesampingkan. Yang terjadi adalah sekolah dijadian tempat untuk mendapat ijazah. Dari dasar pemikiran ini, banyak ijazah palsu beredar. Dengan ijazah palsu, seseorang bisa menduduki jabatan tertentu.

Peredaran ijazah palsu ini seakan didukung oleh uang Otsus yang beredar, hingga untuk mendapat ijazah palsu tidak sulit. Belakangan ini, banyak gelar muncul tanpa kuliah, istilah kerennya, kuliah sulapan.

Sepertinya benar, kini yang ada di pikiran bukan bagaimana mengubah dan membawa hidup masyarakat ke arah yang lebih baik, tetapi bagaimana mendapat prestise dan kehormatan dengan menduduki jabatan tertentu.

Kelima: Banyak guru siluman hadir di Papua. Mereka tidak memunya latarbelakang pendidikan di bidang yang mereka emban untuk menajar. Banyak juga masyarakat biasa menjadi guru setelah menjalani proses tes PNS dengan ijazah palsu.

Bayangkan, bagaimana bentuk generasi muda Papua nantinya, hasil didikan para guru siluman ini. Ini penghancuran masa depan bangsa.
Keenam: Kebudayaan luar yang masuk, arus modernisasi dan globalisasi ikut memengaruhi pelajar. Banyak dampak negatif yang ditimbulkan karenanya. Adanya HP misalnya. Sebaik-baiknya teknologi, ada dampak negatif yang bsia merusak moral dan nilai manusia Papua. Ini dapat kita lihat Papua.

***
Sebenarnya, banyak dampak lainnya. Yang terpenting untuk direfleksikan adalah, bahwa di balik manisnya pemekaran, masa depan bangsa Papua terancam. Guru yang beralih profesi, adanya guru siluman, maraknya ijazah palsu, pengaruh lingkungan dan modernisasi, semua membuat anak muda Papua yang mengenyam pendidikan menjadi terabaikan.

Pelajar Papua, anak muda Papua masa kini di pelosok Papua, mereka adalah korban dari keegoisan dan kepentingan pribadi elit lokal akan prestise, harta, kekuasaan, jabatan. Sayang, sepertinya tindakan kita sendiri itu seperti mengubur impian dan dambaan kita, orang Papua, akan hari esok yang lebih cerah.

Pembangunan yang vital adalah membangun manusia. Papua saat ini butuh perhatian serius bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. Sering saya dengar orang berkata, Bila ingin membangun sebuah bangsa yang kuat dan mandiri, didiklah anak muda.

Pendidikan untuk anak muda Papua penting, lebih penting dari pembangunan lainnya. Membangun sebuah bangsa mestinya dimulai dari pembangunan manusianya. Mestinya fenomena ini perlu disikapi bersama, demi masa depan dan eksistensi kita orang Papua sebagai sebuah bangsa diatas tanah kita ke depan.

Topilus B. Tebai adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta.

Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di majalahselangkah.com. Kami menyadari bahwasannya tulisan ini sangat penting untuk kita pahami dengan baik demi sebuah pemahaman yang konstruktif dan idealis demi pendidikan yang masif di Papua.

Redaksi Matoa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar