Senin, 28 Maret 2016

Kunjungan Luhut, MEA, dan Kebuntuan Kapitalisme


Sumber gambar seputarforex.com

Penulis: Adolfh Seno

Berbagai media mainstream, baik media lokal Papua maupun kolonial Indonesia memberitakan bahwa Menteri Koordinasi Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopulhukam) ditemani oleh beberapa pejabat penting seperti Panglima TNI, Kapolri, Menteri Pekerjaan Umum (PU), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sedang mengunjungi Papua dan Fiji.

Kunjungan yang ditolak mentah-mentah oleh pemuda dan masyarakat Papua tersebut  membuktikan bahwa, negara Republik Indonesia ini benar-benar kepala batu (baca: keras kepala) untuk tetap mempertahankan Papua menjadi wilayah pemerasan Imperialisme dan melalui NKRI. Sebelumnya Luhut Pandjaitan mengeluarkan pernyataan keras terhadap para tokoh Pembebasan Nasional Papua untuk meninggalkan wilayah Papua, atas dasar geliat politik Pembebasan Nasional Papua yang terus menjalar ke setiap sudut-sudut ruang di bumi.

Di tingkat nasional pemerintah kolonial, antusiasme Luhut mengunjungi Papua juga dipicu oleh sikap Lukas Enembe yang terus memberontak menolak Otsus. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus itu menurut Lukas merupakan produk yang gagal, produk yang basi (baca: tidak berlaku), dan perlu dihangatkan supaya sedikit lebih enak (baca: biar lebih baik).


Pemerintah Indonesia tentu tidak akan memberikan perbaikan atas keterpaksaan pengesahan UU Otsus tahun 2001 yang merupakan satu produk politik untuk meredam semangat berdaulat Rakyat Papua. Luhut dan pihak Jakarta menganggap Otsus masih enak untuk dikonsumsi oleh pemerintah Papua, dengan lontaran dana 52 Triliun lebih untuk provinsi Papua dan Papua Barat. Di samping perang statement tentang Otsus, penembakan-penembakan terus terjadi beruntun di wilayah Papua.

Nampak jelas, pihak Indonesia semakin kalang kabut akibat goyangnya stabilitas ekonomi politik dunia, disamping kekhawatiran China dengan goncangan ekonominya yang memaksa Tiongkok harus bertarung di Laut China Selatan. Dalam kunjungan tersebut tentu sangat berhubungan erat dengan struktuk kerangka kapitalisme kian keropos dan kebijakan Masyarakat Ekonomi yang sedang marak-maraknya menghapus batas-batas negara demi kepentingan kaum kapitalis di Asia Tenggara.
 
Dalam kunjungan tersebut terdapat beberapa hal yang akan ditempatkan dalam pembahasan mendasar, di antaranya sosialisasi dan penjelasan tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, narkoba, terorisme, dan deradikalisme, serta lebih khusus membahas perkembangan politik dan keamanan. Dalam beberapa topik tersebut, isu keamanan dan terorisme menjadi masalah yang semakin serius di bahas.  Isu yang ditingkat dunia semakin basi akibat stabilitas ekonomi yang goyang.

Papua adalah ladang subur bagi kejayaan Imperialisme, sebuah tahapan khusus dari sebuah sistem binatang yang bernama Kapitalisme menurut persfektif Lenin[1]. Kapitalisme telah menjelma menjadi satu kekuatan monopoli yang terus menghisap manusia dan sumber daya alam (SDA) oleh segelintir manusia di bumi rakyat dunia.

Hal  utama di dalam tahapan ini adalah pergeseran kapitalisme menuju persaingan bebas oleh kapitalisme monopoli. Tahap yang ditandai dengan lahirnya kekuatan Multy National Corporation (MNC), di satu pihak kapital finansial adalah kapital dari beberapa bank monopoli yang sangat besar, yang merger dengan kapital dari asosiasi-asosiasi monopoli industrialis. Di lain pihak penguasaan dunia yang tanpa dibatasi oleh batas negara. Kapital finansial ini didukung oleh Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi).

Dalam memandang tujuan kunjungan Luhut ke Papua, merupakan satu bentuk penekanan sistematis terhadap perjuangan pembebasan Nasional dan semangat pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat sipil Papua, baik melalui aksi-aksi fisik maupun psikis. Hal ini selaras dengan penekanan yang dilakukan oleh kelas kapitalis di Amerika Latin, yang secara periodik menyerang kemampuan berorganisasi dan bernegosiasi secara langsung kepada kaum buruh. Kelas kapitalis melakukan negara sebagai alat kekuasaannya untuk menyerang kekuatan prosgresif dari buruh, tani, nelayan, pemuda, dan kelompok-kelompok tertindas lainnya.

Mesti ditinjau dari basis material yang melatarbelakangi pihak jakarta kepala batu untuk melakukan kunjungannya ke Papua. Tentunya, akibat perkembangan kapitalisme yang tidak memandang batas wilayah atau negara, mesti dianalisis bahwa kunjungan Luhut merupakan sebuah kekhawatiran yang amas sangat dari krisis yang melanda Amerika dan Eropa serta China.

Situasi Dunia hari ini sedang mengalami goncangan yang hebat di tahun 2016. Seperti dalam tulisan Alan Woods[2], bahwa para ekonom hari ini sedang serius memperkirakan bahwa ekonomi dunia memasuki kemerosotan berikutnya, yang mungkin dimulai di Asian sebagai akibat perlambatan tajam dari ekonomi Tiongkok yang perkasa. Tanggal 28 Desember 2015 lalu, Financial Times menerbitkan sebuah artikel oleh Gideon Rachman dengan judul menarik: Babak Belur dan Gelisah – Seluruh Dunia Berada di Ujung Tanduk: Tahun 2015, sentimen keresahan tampak melanda seluruh pusat-pusat kekuasaan dunia. Dari Beijing ke Washington, Berlin ke Brazilia, Moskow ke Tokyo, pemerintah-pemerintah, media, dan rakyat merasa kebingungan dan terombang-ambing.

Ketakutan terus menghantui para pakar Ekonomi dunia yang semakin cemas dengan masa depan yang semakin menuju jurang kehancuran kapitalisme. Zona Eropa sekarang sedang melalui krisis yang paling serius di dalam sejarahnya. Seperti yang telah diprediksi sebelumnya bahwa atas kontradiksi antar nasional yang sedang mencuat dengan retaknya hubungan Yunani, Prancis, Irlandia, Jerman, dan Italia. Uni Eropa sedang bertarung menghadapi hari-hari yang sulit.

Krisis yang pecah semenjak 2008 seperti juga yang dikatakan oleh sejumlah ekonom borjuasi yang lebih cerdas seperti John Ing, CEO Maison Placements Canada, merupakan awal dari krisis satu ke krisis lainnya. Situasi ini seperti mengulangi apa yang mereka bangun sebelum perang Imperialisme yang diawali oleh krisis kapitalisme awal tahun 1925. Perang Dunia (PD) II, yang dipicu oleh perekonomian dunia saat itu yang terombang-ambing dan berakhir dengan pembantaian umat manusia.

Di Amerika dengan situasi politik yang tidak stabil, hampir semua media sedang menyoroti para bakal calon presiden dari Partai Republik, yakni Donald Trump. Tampaknya para elit borjuis Amerika semakin meragukan badut yang satu ini. Dari sudut pandang kelas penguasa tampaknya Hilary Clinton lebih signifikan dibanding Trump. Namun dukungan masif lebih dibanjiri oleh Bernie Sanders, kandidat dari Partai Demokrat akibat kekecewaan mendalam Rakyat Amerika terhadap kaum elit borjuis di Amerika. Revolusi Politik ala Bernie Sanders menjadi jargon yang terus menggema di telinga jutaan Rakyat dalam setiap kampanyenya.

Di samping pergolakan dalam negeri, pergolakan di luar negeri Amerika pun tidak kalah ributnya. Washington mengamati situasi ini dengan perasaan campur aduk, was-was, dan tidak berdaya. Perang melawan teror yang dikampanyekan oleh Amerika dan sekutunya kini bukanlah sesuatu yang woaow di Irak. Klaim bahwa tentara Irak yang lemah dan pengecut di bawah kendali AS, yang katanya telah merebut kembali Ramadi dari tangan ISIS, ternyata hanyalah dusta belaka.

ISIS dan Amerika ibarat sebuah peluru senjata yang berbalik mengenai tuannya. Amerika kini mau tidak mau harus tunduk di bawah tangan Putin yang menguasai Suriah. Bahkan sekutu-sekutu Eropanya pun semakin tunduk di bawah Moskow. Ekonomi yang pincang di Eropa semakin membuat borjuasi Eropa butuh pasar dan gas Rusia untuk membersihkan kekacauan di Suriah dan menanggulangi pengungsi yang terus membanjiri tiada henti.

Di Arab, kelompok penguasa Saudi kini sedang menuai badai. Demonstrasi-demonstrasi masa telah meletus di berbagai kota dengan slogan seperti, “Mampuslah Bangsawan Saudi…!”.

Di China awal tahun 2016 dikejutkan dengan 3 kali kejatuan harga saham. Pemerintah China berusaha mencoba mendamaikan situasi. Tajuk utama koran Tiongkok People’s Daily, menyangkal pendapat ini dengan mengatakan bahwa apa yang terjadi di Tiongkok hanyalah demam sementara yang bisa diatasi. Berbeda dengan beberapa media barat yang menggambarkan bahwa apa yang terjadi adalah sinyal mengakhiri model China. Persoalannya adalah over produksi di sektor-sektor yang menjadi tumpuhan ekonomi China, seperti; batubara, bijih besi, baja, kapal, panel surya, dan properti. Hal ini pula yang mendorong pihak Tiongkok terus keras kepala terlibat konflik Laun China Selatan yang kaya akan kandungan minyak dan gas serta batu bara.

Sementara di Jepang, kepercayaan semakin pudar, dan menyangsihkan kemampuan reforma-reforma radikal, yang dikenal sebagai Abenomics, untuk memecahkan siklus hutang dan deflasi Jepang. Keresahan Jepang semakin membengkak akibat berlanjutnya ketegangan-ketegangan dengan Tiongkok.

Dari problem pelemahan ekonomi di Eropa, Indonesia pun nampaknya mulai menunjukkan wajah kecemasan. Indonesia yang merupakan pelayan negara-negara Imperialisme pusat, selalu bergantungan pada tangkai-tangkai kapitalis. Ketiga para negara imperialis berada di atas awan, maka negara ini pun akan berdiri di atas awan, ketika negara-negara imperialisme jatuh, maka Indonesia pun akan berada di situasi yang paling hancur. Hal ini terbukti ketika terjadi perlambatan ekonomi di China yang mengakibatkan pelemahan terhadap nilai mata uang rupiah dan kembali pulih ketika Tiongkok berhasil menambal bolongan lapisan ekonomi mereka.

IMF beberapa waktu yang lalu berteriak kencang kepada negara-negara di Asia harus berperan dalam menjaga perekonomian global. Kepada Indonesia, IMF memperingatkan untuk merevisi kebijakan kekuangan di tahun 2016. Hal ini menandakan bahwa situasi perekonomian sedang kocar-kacir.

Indonesia hari ini sedang mempersiapkan seluruh kekuatannya untuk bersaing dalam kompetisi yang dibangun oleh para kapitalis Asia Tenggara. Dalam kunjungan Luhut sangat berkaitan erat dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang beberapa waktu lalu telah diresmikan untuk dilaksanakan. Penembakan yang menewaskan 4 orang di Puncak Jaya, tentu memperlambat jalan Trans Papua yang ditargetkan harus menyambung akses ke berbagai pusat kota di Papua terhambat. Di tahun 2009 Susilo Bambang Yudoyono mendeklarasikan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang membentuk turunannya ke dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat untuk membangun jalur-jalur pengurasan SDA atau bahan-bahan mentah dari Papua.

Dalam asal-usul dan perkembangan MEA, sangat relevan untuk mempejalari asal usul dan perkembangan UNI EROPA yang dibangun uasi Perang Dunia ke-2, jelas krisis yang sebelumnya yang terbangun atas wilayah-wilayah koloni yang melepas ikatan-ikatan kapitalisme pada jamanya. Kini UNI Eropa telah menemui jalan buntunya. Unit-unit persatuan regional yang terbentuk, tentunya sangat berkaitan erat dengan aspek ekonomi, di antaranya terbentuk akibat kontradiksi kapitalisme sendiri dan kebutuhan akan pasar untuk penyebaran produk-produk.

Tanpa ucapan khusus dan basa-basi, MEA kini telah diberlakukan. MEA secara ringkas berisi limat hal, yakni; Arus bebas barang, Jasa, Tenaga Kerja Terampil, Investasi, dan Modal. Dalam hal persaingan menuju masyarakat ekonomi, Filiphina telah menyiapkan 1000 orang, Thailand telah menyiapkan ratusa pebisnis, ribuan guru di Vietnam sedang mengikuti kursus bahasa dan budaya Indonesia, Singapura telah menyiapkan ratusan konsultan keuangan dan, Ribuan warga Myanmar sedang mengikuti pelatihan montir kendaraan bermotor dan sevice HP. Semua persiapan ini akan melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk Papua.

MEA dideklarasikan di antara kekuatan ekonomi politik dunia yang semakin ambruk. Berbeda dengan UNI Eropa yang dibentuk saat masa developmentalisme dari tahap kapitalisme. Impian yang hampa di kalangan kaum kapitalisme Asia Tenggra akan sebuah pasar bebas yang sebebas-bebasnya akan terbentur pada realita kapitalisme yang pahit dan justru akan menciptakan situasi politik yang meledak-ledak seperti di Yunani, cepat atau lambat.

Situasi ini tentu membuat berbagai negara-negara di berbagai belahan dunia goyang dan was-was. Bagaimana tidak? Dua kelompok pemimpin ekonomi (Amerika dan UNI Eropa) hari ini sedang berada dalam situasi yang terseok-seok. Hal ini jelas membawa shocktherapy yang amat mendalam di kalangan ekonom dunia. Tidak bisa dibilang tidak bahwa bencana over-produksi ini bila bertahan dalam waktu yang lama maka kemungkinan Chaos (Perang) bukanlah hal yang mustahil terjadi. Dalam catatan-catatan ilmiahnya, Marx pernah mengatakan bahwa, kapitalisme sedang menggali kuburnya sendiri akibat kontradiksi-kontradiksi di kalangan kapitalis. Dari penggalan kalimatnya yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah para penggali dan pengubur untuk melenyapkan setan kapitalisme ini? Penggali kubur yang dimaksud adalah kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya seperti, petani, nelayan, perempuan, miskin kota, pemuda, pelajar dan mahasiswa. Melenyapkan kapitalisme yang dimaksud di sini ialah dengan melakukan Revolusi dan menguburkannya di sini bermaksud untuk memusnahkan tatanan kapitalisme.

Seperti pertanyaan di atas bahwa, sang penggali kubur atau kelas-kelas yang selalu memberikan kontradiksi melawan kapitalisme ini harus siap dalam menghajar dan menguburkan kapitalisme. Tentunya hanya praktik yang dapat membuat perubahan yang nyata bukan celoteh-celoteh melalui media-media sosial sejenisnya. Bukan juga melalui tulisan-tulisan panjang. Seperti yang dikatakan Lenin bahwa, bukan lagi kita mengelotek atau hanya berteriak-teriak tanpa tindakan nyata. Hal utama yang harus dilakukan oleh organisasi Revolusioner saat ini adalah menghapuskan paham reformis di antara gerakan. Bangun kekuatan progresif, ciptakan massa Rakyat terdidik, dan kuburkan kapitalisme selamanya.

Penulis adalah mahasiswa jalanan




Pustaka:

[1] Baca: (https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1916/1916-hakpenentuannasibsendiri.htm) dikutip pada 28 Maret 2016

[2] Dalam koran Militan Indonesia edisi 22, Februari 2016 tentang 2016, Dunia di Ujung Tanduk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar