Minggu, 13 Maret 2016

Membaca Luka, Membaca Perlawanan


Penulis: Endhiq A. Pamungkas

Judul                 : Tanah Tabu
Penulis             : Anindita S. Thayf
Penerbit            : Gramedia Pustaka Utama
Tebal                : 240 halaman
Cetakan            : I, Mei 2009

Di cover depan dituliskan bahwa Tanah Tabu merupakan Pemenang Lomba Menulis Novel DKJ 2008. Beberapa tahun terkahir ini DKJ memang rutin menggelar lomba penulisan novel. Salah satu pemenang lomba penulisan novel DKJ yang sempat bikin heboh adalah Saman karya Ayu Utami.

Sebagai novel pemenang lomba—apalagi pemenang pertama dan satu-satunya—tentu saya mengharapkan Tanah Tabu menawarkan sesuatu yang lain bila dibandingkan novel-novel Indonesia yang saat ini bertebaran di toko buku, yang rata-rata mengusung tema seragam: kalau tidak bertema keagamaan-keagamaan biasanya bertema seks. Oleh karena itu, dengan kehadiran Tanah Tabu saya berharap bisa menemukan tema lain.Apakah novel ini menawarkan tema lain itu?

Tanah Tabu berlatar lokasi Papua—sebuah lokasi yang jarang disentuh oleh novel-novel Indonesia . Ada tiga narator dalam novel Tanah Tabu: Pum, Kwee dan Aku. Mereka saling bergantian menceritakan peristiwa-peristiwa yang mereka alami atau pernah dengar. Antara Pum dan Kwee tidak jarang sering bersitegang. Pum yang merasa lebih tua merasa mempuyai hak untuk menasihati Kwee. Sementara Kwee yang lebih muda melihat Pum suka mengatur-ngatur. Tetapi mereka akan bersatu ketika melindungi tokoh Aku. Ke mana pun tokoh Aku pergi, Pum dan Kwee selalu menjaga dan menemani. Pum dan Kwee memang tokoh misterius dalam Tanah Tabu. Penulis novel ini, Anindita, begitu lihai menyembunyikan identitas Pum dan Kwee. Apabila tidak jeli kita akan terkecoh mengenal sosok Pum dan Kwee.

Tanah Papua dalam Tanah Tabu diceritakan sebagai tempat yang mengenaskan. Tanah yang kaya akan emas ini menjadi jarahan kaum pendatang. Penduduk asli hidup miskin dan terbelakang. Kehidupan mereka semakin terpinggirkan dari zaman ke zaman. Ketika mereka ingin menuntut hak, malah dituduh sebagai pemberontak. Melawan kesewenang-wenangan berarti harus berhadapan dengan orang-ornag berseragam dan bersenjata. Ironi-ironi inilah yang diceritakan secara bergantian oleh Pum, Kwee dan Aku dengan gaya mereka sendiri-sendiri, yang kadang lucu, kadang mengharukan.

Kompleksitas tema dalam Tanah Tabu yang meliputi masalah-masalah feminisme, militerisme, pasca kolinial dan politik, mampu ditulis dengan apik oleh Anindita. Terlihat kalau Anindita menguasai teknik penulisan novel dengan baik. Sudut pandang dalam Tanah Tabu memang melompat-lompat, tetapi tetap padu dalam sulaman-sulaman cerita yang utuh. Dengan teknik cerita yang “canggih” ini kita diajak masuk ke dalam suasana tanah Papua yang kadang-kadang magis, ironis, menakutkan dan penuh gejolak, dengan dahi tanpa harus berkurut, dan bisa-bisa justru kita tersenyum kecut. Dongeng lain tentang tanah Papua dalam Tanah Tabu ini memang menarik untuk dibaca.

Mabel: Bukan Perempuan Tangung-Tangung
Sosok Mabel dalam Tanah Tabu cukup sentral. Kwee menggambarkan Mabel sebagai perempuan sebesar gunung yang mampu mematahkan leher orang dewasa. Usia Mabel sudah tua tetapi masih bertenaga. Mabel lahir ketika Belanda datang ke Lembah Baliyem pada tahun 1946. Pasangan keluarga Belanda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan kemudian menjadikan Mabel sebagai anak angkat. Mulailah Mabel berkelana mengikuti tuan barunya.

Ikut dengan keluarga Belanda menjadikan Mabel terpelajar. Ia mampu berbahasa Indonesia dan Belanda dengan baik. Ia banyak membaca buku. Walaupun begitu, karena ikut keluarga Belanda yang tidak ingin penduduk pribumi bisa mengenyam pendidikan yang baik di sekolah, Mabel pun dilarang sekolah.
Mabel berpisah dengan tuannya ketika Papua masuk kedalam wilayah Indonesia . Sang tuan harus meninggalkan Papua, kembali ke Belanda. Maka Mabel ditemani Pum harus hidup mandiri. Dari sinilah kehidupan Mabel yang sebenarnya dimulai.

Dua kali Mabel menikah. Suami pertama meninggalkanya setelah terjadi perang suku. Suami keduanya pergi setelah para penambang emas mulai berdatangan. Setelah itu, Mabel hanya hidup ditemani Johanis, anaknya, dan Pum, sahabat karibnya.

Sebagai perempuan yang menjadi tiang keluarga dan ibu, Mabel terus berjuang untuk hidup. Dia hidup dari berlandang dan menjaul hasil kebun. Awalnya, hidup Mabel tanpa ganguan sampai suatu malam ia ditangkap orang-orang berseragam dan bersenjata karena dituduh melindungi kaum pemberontak. Selama beberapa waktu ia disiksa dan diperlakuan tidak manusiawi agar mengakui kesalahan. Sampai akhirnya ia dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Sejak saat inilah Mabel mulai berubah. Ia yang awal-awalnya perempuan “biasa-biasa” saja berubah menjadi perempuan yang kritis terhadap kondisi lingkungannya. Siksaan ternyata justru menempanya menjadi perempuan yang tangguh.

Mabel mengkritisi pertambangan emas yang tidak memperhatikan penduduk pribumi, militer yang sewenang-wenang, para suami yang gemar main pukul terhadap istrinya dan partai politik yang suka obral janji. Dengan caranya sendiri ia bertumbuh sebagai seorang feminis, yang tidak hanya membela kaum perempuan semata, tetapi juga membela orang-orang pribumi yang tertindas. Bisa dikatakan, Mabel-lah sang penjaga Tanah Tabu dari tangan-tangan jahat yang ingin menjarah. Terhadap itu semua Mabel selalu menganjurkan untuk selalu melawan. “Kita harus tetap kuat…Jangan menyerah. Terus berjuang demi anak cucu kita. Mereka harus mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” pesan Mabel.

Akankah Mabel mampu melindungi Tanah Tabu?

Antara Etnografi dan Pasca Kolonial
Tanah Tabu bisa dikatagorikan sebagai novel etnografi. Yaitu, sebuah novel yang ditulis oleh seorang penulis tentang “hal lain” yang baik secara goegrafis maupun antropologis berada di luar wilayah si penulis. Dalam biografi disebutkan Anindita dilahirkan di Makassar dan sekarang menetap di Yogyakarta . Dan, ia kemudian menjadikan Papua, sesuatu “hal lain”, sebagai latar lokasi dan tulang punggung novelnya. Maka lahirlah novel etnografi tentang Papua.

Sebagai novel etnografi, Tanah Tabu menarik untuk disimak, bukan saja sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai kajian antropogi. Cerita yang terudar di dalamnya memberikan pandangan-pandangan baru tentang tanah Papua. Kisah-kisah yang ada membuat kita lebih memahami tentang Papua yang sampai sekarang terus bergejolak dan mengapa tetap melawan—bahkan ingin memisahkan dari Indonesia .

Selain itu, Tanah Tabu juga mengudar gagasan pasca kolonial. Pasar dalam Tanah Tabu menghubungkan “dunia pribumi” dengan “dua asing”. Pengaruh-pengaruh pasca kolonial tergambar ketika Aku bertemu dengan seorang pemuda yang membawa hp produk terbaru ,tidak jauh dari pasar—hp sebagai simbol benda asing di kepala Aku yang “pribumi”. Juga di depan pasar ada jalan luas yang menghubungan dengan dunia lain yang hanya bisa dinikmati oleh kaum pendatang: komplek pertambangan emas. Komplek tersebut menampilkan dunia lain yang tidak boleh dimasuki oleh orang-orang “pribumi”. Dari sinilah jejak-jejak kolonial dalam bentuknya yang baru tergambar dengan jelas: dunia “penjajah” yang berbeda dengan dunia “yang dijajah”. Setelah Tentralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Tanah Tabu merupakan novel kekinian yang kembali mengangkat tema pascakonial. Tak pelak lagi kalau Tanah Tabu perlu diapresiasi secara lebih luas agar kajian pascakonial dalam karya sastra kembali bergairah.***

Penulis adalah alumni Fakultas Filsafat UGM. 

Sumber : LPM Hayamwuruk

Catatan:
Resensi ini dikirimkan oleh penulis ke email redaksi sastrapapua.com. Setelah diposting di sastrapapua.com, kami menyadari bahwa tulisan ini juga sangat penting untuk dibaca oleh siapa saja dan dimana saja, maka kami memposting ulang tulisannya di blog ini.

Redaksi MATOA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar