Selasa, 07 Juni 2016

Menentukan Nasib Sendiri

 
Masa aksi KNPB for Freedom West Papua. Foto:Ist.
Penulis: Sanimala B.

“Kau yang anak bangsa Papua: Setidaknya, jangalah kau  jadi sekrup yang menguatkan roda sistem dan struktur raksasa yang menjajah yang diciptakan kolonial Indonesia bersama kuasa kapitalisme global ini, yang terus menggilas seluruh impian, cita-cita, dan harapan merdeka dan kedamaian hidup bangsa Papua di atas tanah airnya ini.”
***

Bangsa Papua, kemanakah arah Negara Kesatuan Republik Indonesia berjalan? Jawabannya adalah ia sedang berjalan ke arah yang berlawanan dengan cita-citanya. Di awal kemerdekaan (tentu saja, mengenai hal ini, setiap orang Papua pasti telah mempelajarinya dalam pelajaran Sejarah, pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) Indonesia punya cita-cita agung, sebuah cita-cita yang sederhana namun tinggi, yakni bebas dari kolonialisme dan penjajahan, berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari -ajaran Soekarno/Marhaen). Dalam hal ekonomi misalnya, kebebasan yang dimaksud akan bercirikan, 1) Indonesia tidak lagi menjadi daerah pasar bagi rpoduk-produk asing, 2) Indonesia tidak lagi menjadi sumber bahan mentah dan setengah jadi untuk diekspor ke luar, dikelola disana, dan dikembalikan lagi pada rakyat Indonesia untuk dikonsumsi, dan 3) Orang Indonesia tidak lagi dijadikan budak, pekerja kasar dengan upah di bawah standar, dijajah, diambil segala kepunyaannya tanpa upaya balasjasa dan budi yang diterima.

Cita-cita kemerdekaan juga, sebagaimana tergambar dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah untuk menegakkan dan menjamin kebebasan akan keagamaan, bahwa setiap orang berhak menentukan agama apa yang dipeluk dan dijalankan. Menciptakan kesadaran akan pentingnya harkat dan martabat manusia, sehingga Indonesia bercita-cita membangun manusia Indonesia yang benar-benar menjadi manusia: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kehidupan berbanggsa dan bernegara menjadi adil, beradab!

Indonesia harus berlandaskan hukum, dan bersifat kerakyatan. Segala keputusan dirundingkan, dimusyawarakan, lalu diambil sebuah mufakat. Ada sistem perwakilan masyarakat yang mewaliki kepentingan rakyat untuk turut serta merancang dan memberi masukan dalam mengatur arah kebijakan dan pembangunan agar benar-benar sesuai dengan kepentingan rakyat. Semua itu guna menciptakan suatu tatanam masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dalam UUD 1945, bangun ekonomi Indonesia yang sesuai dengan sistem kerakyatan Indonesia adalah koperasi, dan haluan pembanguan ekonomi adalah berdasarkan kekeluargaan, gotong-royong, dalam semangat ekonomi kerakyatan.

Landasan dan fonasi sistem ekonomi-politik sebagaimana tertuang dalam Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 sebagai dasar dan ibu kandung dari segala regulasi dan peraturan-peraturan yang secara berturut dan berkesinambungan diproduksi sesuai kebutuan, semuanya menjamin kedaulatan rakyat adalah yang utama dalam sisitem ekonomi-politik bangsa Indonesia. Bahwa rakyatlah yang memegang kendali dan tampuk pimpinan dalam negara Indonesia ini. Lalu bagaimana dengan prakteknya saat ini. Sudahkah Indonesia berjalan dalam relnya menuju kepada cita-citanya yang luhur-mulia itu? Apakah Indonesia telah berbalik haluan? Kenyataan yang kita amati hari ini memberi kepada kita jawabannya.

Indonesia sudah berada pada posisi negara berkembang. Pembangunan infrastruktur telah maju, walau terpusat di daerah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kita melihat Indoensia semakin hari semakin maju, dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Indonesia juga subur dengan berbagai kegiatan usaha/bisnis. Indonesia menjadi tempat bagi investor asing dan negara-negara yang berkepentingan menanamkan pengaruh modalnya di Indonesia. Indonesia cukup terbuka untuk menyisihkan kekayaan-kekayaan alamnya buat dikelola investor, dan itu merangsang pembangunan, memberi lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia, dan tentu saja, mendatangkan penghasilan bagi negara. Tapi di balik itu semua, rakyat Indonesia mayoritas mulai kehilangan hak-haknya.

Mulai dari tanah dan air yang telah mereka pertahankan dengan mengorbankan segalanya, bahkan nyawa mereka sekalipun itu yang mulai berpindah tangan ke para investor dan pemodal asing untuk eksploitasi tambang, tempat didirikannya pabrik, untuk sumur minyak bumi dan gas alam. Rakyat mulai kehilangan tanah dan tanah dan air  itu, bersama dengan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, oleh negara, untuk kepentingan pembangunan katanya, dipindah-tangan ke para pemodal asing.

Usaha-usaha kecil, usaha-usaha mikro yang digalakkan rakyat Indonesia mulai dihancurkan daya majunya oleh hadirnya Mall, supermarket-supermarket, barang-barang import dari luar negeri, sehingga kreativitas dan daya saing mati. Kematian daya saing ini lebih-lebih karena pandangan negara yang lebih memercayai produk luar negeri dan abai pada usaha mikro rakyat sendiri. Apalagi koperasi, yang cocok dengan corak hidup rakyat Indonesia sudah lama dimatikan, tak perperhatikan, tidak dijadikan landasan bangun ekonomi Indonesia. Maka berlahan-lahan rakyat Indonesia yang sudah dimatikan produktivitasnya itu menjadi pedagang penyalur barang luar negeri, tergantung pada dinamika pasar global yang dimainkan pedangang-pedagang besar asing, dan cenderung menjadi bangsa konsumtif.

Lambat laun, Indonesia mulai mengobral semua kekayaan alamnya para para investor. Tanah lepas pantai untuk pengeboran minyak untuk para investor dari berbagai negara dari luar negeri. Hutan dan kayunya untuk para investor dari luar negeri. Tambang-tambang dan mineral, minyak bumi dan gas alam untuk dieksploitasi perusahaan-perusahaan milik luar negeri. Lalu hitung-hitung, rakyat Indonesia menjadi pekerja-pekerja kasar di pabrik, industri, tambang-tambang milik asing itu, yang berdirinya di atas tanah, air dan kekayaan mereka itu: potret ini mirip potret Indonesia sebelum 17 Agustus 1945, seperti para budak Indonesia itu bekerja jadi buruh-buruh kasar pada perusahaan-perkebunan asing.

Lalu bagaimana dengan ajaran berdiri di atas kaki sendiri? Sejak gerakan 30 September 1965 dan tumbangnya rezim Soekarno, ditandatanganinya undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA), haluan dan arah yang dituju kapal yang namanya Indonesia ini telah berubah! Ia tidak lagi percaya pada kekuatan ekonomi kerakyatan dengan mengandalkan rakyatnya sendiri untuk mengelola segala potensi ekonomi yang ada padanya. Indonesia malah mengambil segala potensi itu daripada rakyat Indonesia dan mengoralnya pada modal asing untuk dikelola. Indonesia tidak lagi memandang rakyat sebagai yang utama, pemegang kendali tertinggi negara, pemilik tanah, air dan udara Indonesia. Rakyat tidak lebih dari para pelayan: menyediakan tanah dan airnya Cuma-Cuma buat para perampok dan perampas asing itu, lalu mereka harus menghambakan diri menjadi pekerja-pekerja dengan gaji rendah. Negara diharuskan puas dengan kontribusi rendah paerusahaan-perusahaan asing itu.

Mengapa sejak itu posisi Indonesia menjadi begitu lemah, seakan-akan dikendalikan asing dalam ekonomi, dan punya kekuasaan politik ompong yang gagal melindungi segala milik dan kekayaannya, rakyat yang menjadi pilar keberadaan negara? Karena hakikat kemerdekaan politik Indonesia telah diancurkan hegemoni neo-liberalisme, wajah baru kapitalisme global. Indonesia telah jauh dililit utang luar negeri dan mau tak mau harus mematuhi aturan dan syarat-syaratnya. Idonesia tak mampu berbuat apa-apa saat pendapatan negara untuk belanja sebagian besar ternyata tergantung kepada kontribusi para investor-intvestor itu, sehingga suara-suara dan kepentingan mereka harus diutamakan negara daripada suara rakyatnya, yang telah berdarah-darah dalam musin perjuangan kemerdekaan, sebenarnya untuk melepaskan ikatan-ikatan seperti ini.

Sementara warisan penjajah lainnya: korupsi, birokrasi yang sarat kepentingan, dan pengaruh neo-liberalnya, tidak terpisahkannya penguasa dan pengusaha, semakin menjadikan pilar-pilar dan alasan mengapa Indonesia harus merdeka tersingkir jauh dari hadapan kepentingan banyak pihak asing. Ternyata kemerdekaan politik Indonesia tidak menjamin kemerdekaan ekonomi yang telah hancur lebur di hadapan dominasi kapitalisme global.

Jadinya, kekayaan Indonesia tidak 100% dinikmati rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia di hadapan pemerintahannya sendiri menjadi budak para perampok asing dengan berbagai perusahaannya. Penjajahan ekonomi, sosial-budaya itu terulang kembali dalam tubuh Indonesia yang merdeka politik. Untuk merdeka lagi 100%, jelas bukan perkara mudah! Menjadikan rakyat Indonesia makmur, beradab, adil, sejahtera, itu jelas mimpi pada 17 Agustus 1946 dan mimpi hari ini, dan akan tetap jadi mimpi selama penjajahan ekonomi belum dihancurkan!

Lalu bagaimana kita membayangkan tanah air dan bangsa Papua dalam kekuasaan Indonesia yang terjajah itu? Bangsa Papua juga ikut terjajah oleh kuasa kapitalisme global itu. Bangsa Papua dijajah oleh dua pihak: Indonesia dan kuasa kapitalisme global. Keduanya sama-sama mementingkan sumber daya alam Papua dan sangat tidak peduli pada manusia Papua yang sedang menuju kepunahan akibat sistem dan struktur yang menjajah oleh kedua pihak di atas tadi.

Maka pilihan bangsa Papua adalah sudah pasti Papua merdeka. Merdeka untuk memutus mata rantai penjajahan oleh Indonesia dan kuasa kapitalisme global. Merdeka ekonomi politik yang 100%. Menentukan nasib sendiri lebih baik daripada pasrah menerima nasib dijajah akibat terus pasrah pada kungkungan jajahan kolonialisme Indonesia yang juga dijajah kuasa kapitalisme global.

Pertanyaannya, bagaimana memperjuangkan dan mewujudkan kemerdekaan itu? Bangsa Papua pula yang harus menjawabnya! Apa saja yang bangsa Papua miliki buat dioptimalkan dalam proses mencapai kemerdekaan?

Lihatlah potensi-potensi yang ada. Bangsa Papua terdiri dari 312 suku bangsa, dengan lebih dari 1,5 juta penduduk yang tersebar di seantero tanah air Papua. Rakyat Papua adalah keuatan utama perlawanan, karena perlawanan harus berbasis rakyat: lahir dari kesadaran rakyat yang ditindas, disingkirkan, dianiaya, dibunuh, dirampok tanah-tanah adatnya, dibunuh sanak-keluarganya. Merekalah kekuatan revolusi bangsa Papua menuju merdeka. Rakyat Papua di atas teritori Papua dari Merauke di selatan dan Jayapura di ujung utara sebagai batas timur. Kepulauan Mapia di utara hingga pulau Adii di selatan, hingga pulau Waigeo, pulau Gam dan kepulauan Raja Ampat di ujung barat teritori Papua. Semua orang Papua perlu dioptimalkan, menjadikan mereka massa rakyat revolusioner menuju kemerdekaan Papua.

Bangsa Papua punya organisasi-organisasi perjuangan. Mereka telah bersatu dalam satu wadah payung, namanya The United Liberation Movement for West Papua/ULMWP, atau organisasi persatuan perjuangan untuk pembebasan bangsa Papua. Setiap organisasi perjuangan akan mempertahankan eksistensi organisasinya masing-masing, tetapi tetap patuh pada koordinasi ULMWP sebagai wadah payung, guna mencapai kemerdekaan. Koordinasi antara para pemimpin organisasi dan ULMWP tetap jalan. Maka bangsa Papua sudah punya wadah politik untuk berjalan, punya pengurus yang mengurus dan meimpin bangsa Papua menuju merdeka.

Lalu apa tugas generasi revolusioner ini? Maksudnya, apa tugas pemuda-pemudi Papua yang sadar dan melek pengetahuan akan revolusi ini?

Kau yang pemuda-pemudi tak sekolah, anak-anak jalanan, sarjana-sarjana tak kerja, pelajar dan mahasiswa.

Dengar ... dengar tanah air memanggilmu jadi garda revolusi bangsa.

Timbalah dulu ilmu revolusi dari sumur kita. Di tengah-tengah rakyatlah hadirmu dengan tetap setia pada program dan straktat. Jadilah sobat bagi rakyatmu.

Bangkitkan motivasi. Tuntun rakyat ke jalan revolusi.

Bersama rakyat di kebun, di hutan, di tanah-tanah lapang dan bebukitan, di  pantai dan pegunungan, di jalanan, di meja diskusi dan penjara penjajah.

...bersama petani, nelayan, kaum buruh tambang dan kuli tinta, kuli bangunan, buruh terdidik, rakyat kita yang miskin-papa, komunitas-komunitas dan kelompok: gelorakan asa menuju merdeka-kita!

Demi merdeka-kita, berlakulah tongkat bagi si buta.
Berlakulah jururawat bagi si sakit.
Berlakulah jurutulis wartakan duka-asa.
Berlakulah ahli hukum lindungi rakyat        
              .
Jadi guru bagi rakyatmu: jelaskan transformasi dunia, jelaskan nafsu penjajah. Jelaskan hakikat dan maksud merdeka-kita.

Di setiap ladang otak dan lembah hati yang subur tanahnya dalam setiap tubuh dan jiwa anak bangsa Papua itu, semailah benih kebenaran kita!

Hadirmu jadi pemimpin rakyat. Pimpinan yang bersama rakyat... bersama menghadang-menerjang... bersama hidup-mati di medan juang!

Tanpa ragu tanpa gentar... Majuuuuu!
Usiiirrrrrr penjajah !!
Hancurkan!!!  Koyakkkk, cabik-cabikkkkkk... !!!

...tanpa ampun-tanpa gentar, tanpa kata mundur-tanpa kecut nyali... maju dan hancurkan! ...hingga penjajah terpukul-mudur! ...hingga penjajah menyerah!

Bergeraklah bagai bayangan, 24 jam sehari, 60 menit sejam, 60 detik semenit.
Bersama massa rakyat, pena, toa, debu jalanan, bau amis darah dan lantai dekil penjara

... dengan kain kumal-lusuh di tubuh, mulut bau, gimbal rambut, anak panah  dan M-16 di sepanjang belantara dan bibir pantai

Bersama rakyat setia hingga ajal di garis juang, hingga tak satupun penjajah mengiri-mencuri merdeka-kita.

Hingga hormatlah kita-tersisa pada Bintang Kejora perkasa melambai di langit biru West Papua.
...dibasahi rintik airmata merdeka-bahagia anak-cucu harapan merdeka-kita.

[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar