Penulis: Sanimala B.
“Kau
yang anak bangsa Papua: Setidaknya, jangalah kau jadi sekrup yang menguatkan roda sistem dan
struktur raksasa yang menjajah yang diciptakan kolonial Indonesia bersama kuasa
kapitalisme global ini, yang terus menggilas seluruh impian, cita-cita, dan
harapan merdeka dan kedamaian hidup bangsa Papua di atas tanah airnya ini.”
***
Bangsa Papua,
kemanakah arah Negara Kesatuan Republik Indonesia berjalan? Jawabannya adalah
ia sedang berjalan ke arah yang berlawanan dengan cita-citanya. Di awal
kemerdekaan (tentu saja, mengenai hal ini, setiap orang Papua pasti telah
mempelajarinya dalam pelajaran Sejarah, pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan) Indonesia punya cita-cita agung, sebuah cita-cita yang
sederhana namun tinggi, yakni bebas dari kolonialisme dan penjajahan, berdiri
di atas kaki sendiri (Berdikari -ajaran Soekarno/Marhaen). Dalam hal ekonomi
misalnya, kebebasan yang dimaksud akan bercirikan, 1) Indonesia tidak lagi
menjadi daerah pasar bagi rpoduk-produk asing, 2) Indonesia tidak lagi menjadi
sumber bahan mentah dan setengah jadi untuk diekspor ke luar, dikelola disana,
dan dikembalikan lagi pada rakyat Indonesia untuk dikonsumsi, dan 3) Orang
Indonesia tidak lagi dijadikan budak, pekerja kasar dengan upah di bawah
standar, dijajah, diambil segala kepunyaannya tanpa upaya balasjasa dan budi
yang diterima.
Cita-cita kemerdekaan
juga, sebagaimana tergambar dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
adalah untuk menegakkan dan menjamin kebebasan akan keagamaan, bahwa setiap
orang berhak menentukan agama apa yang dipeluk dan dijalankan. Menciptakan
kesadaran akan pentingnya harkat dan martabat manusia, sehingga Indonesia
bercita-cita membangun manusia Indonesia yang benar-benar menjadi manusia:
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kehidupan berbanggsa dan
bernegara menjadi adil, beradab!
Indonesia harus
berlandaskan hukum, dan bersifat kerakyatan. Segala keputusan dirundingkan,
dimusyawarakan, lalu diambil sebuah mufakat. Ada sistem perwakilan masyarakat
yang mewaliki kepentingan rakyat untuk turut serta merancang dan memberi
masukan dalam mengatur arah kebijakan dan pembangunan agar benar-benar sesuai
dengan kepentingan rakyat. Semua itu guna menciptakan suatu tatanam masyarakat
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dalam UUD 1945,
bangun ekonomi Indonesia yang sesuai dengan sistem kerakyatan Indonesia adalah
koperasi, dan haluan pembanguan ekonomi adalah berdasarkan kekeluargaan,
gotong-royong, dalam semangat ekonomi kerakyatan.
Landasan dan fonasi
sistem ekonomi-politik sebagaimana tertuang dalam Pancasila sebagai dasar
negara, UUD 1945 sebagai dasar dan ibu kandung dari segala regulasi dan
peraturan-peraturan yang secara berturut dan berkesinambungan diproduksi sesuai
kebutuan, semuanya menjamin kedaulatan rakyat adalah yang utama dalam sisitem
ekonomi-politik bangsa Indonesia. Bahwa rakyatlah yang memegang kendali dan
tampuk pimpinan dalam negara Indonesia ini. Lalu bagaimana dengan prakteknya
saat ini. Sudahkah Indonesia berjalan dalam relnya menuju kepada cita-citanya
yang luhur-mulia itu? Apakah Indonesia telah berbalik haluan? Kenyataan yang
kita amati hari ini memberi kepada kita jawabannya.
Indonesia sudah berada
pada posisi negara berkembang. Pembangunan infrastruktur telah maju, walau
terpusat di daerah Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Kita melihat Indoensia semakin
hari semakin maju, dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Indonesia juga subur dengan berbagai kegiatan usaha/bisnis. Indonesia menjadi tempat
bagi investor asing dan negara-negara yang berkepentingan menanamkan pengaruh
modalnya di Indonesia. Indonesia cukup terbuka untuk menyisihkan
kekayaan-kekayaan alamnya buat dikelola investor, dan itu merangsang
pembangunan, memberi lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia, dan tentu saja,
mendatangkan penghasilan bagi negara. Tapi di balik itu semua, rakyat Indonesia
mayoritas mulai kehilangan hak-haknya.
Mulai dari tanah dan
air yang telah mereka pertahankan dengan mengorbankan segalanya, bahkan nyawa
mereka sekalipun itu yang mulai berpindah tangan ke para investor dan pemodal
asing untuk eksploitasi tambang, tempat didirikannya pabrik, untuk sumur minyak
bumi dan gas alam. Rakyat mulai kehilangan tanah dan tanah dan air itu, bersama dengan segala kekayaan yang
terkandung di dalamnya, oleh negara, untuk kepentingan pembangunan katanya,
dipindah-tangan ke para pemodal asing.
Usaha-usaha kecil,
usaha-usaha mikro yang digalakkan rakyat Indonesia mulai dihancurkan daya
majunya oleh hadirnya Mall, supermarket-supermarket, barang-barang import dari
luar negeri, sehingga kreativitas dan daya saing mati. Kematian daya saing ini
lebih-lebih karena pandangan negara yang lebih memercayai produk luar negeri
dan abai pada usaha mikro rakyat sendiri. Apalagi koperasi, yang cocok dengan
corak hidup rakyat Indonesia sudah lama dimatikan, tak perperhatikan, tidak
dijadikan landasan bangun ekonomi Indonesia. Maka berlahan-lahan rakyat
Indonesia yang sudah dimatikan produktivitasnya itu menjadi pedagang penyalur
barang luar negeri, tergantung pada dinamika pasar global yang dimainkan
pedangang-pedagang besar asing, dan cenderung menjadi bangsa konsumtif.
Lambat laun, Indonesia
mulai mengobral semua kekayaan alamnya para para investor. Tanah lepas pantai
untuk pengeboran minyak untuk para investor dari berbagai negara dari luar
negeri. Hutan dan kayunya untuk para investor dari luar negeri. Tambang-tambang
dan mineral, minyak bumi dan gas alam untuk dieksploitasi perusahaan-perusahaan
milik luar negeri. Lalu hitung-hitung, rakyat Indonesia menjadi pekerja-pekerja
kasar di pabrik, industri, tambang-tambang milik asing itu, yang berdirinya di
atas tanah, air dan kekayaan mereka itu: potret ini mirip potret Indonesia
sebelum 17 Agustus 1945, seperti para budak Indonesia itu bekerja jadi
buruh-buruh kasar pada perusahaan-perkebunan asing.
Lalu bagaimana dengan
ajaran berdiri di atas kaki sendiri? Sejak gerakan 30 September 1965 dan
tumbangnya rezim Soekarno, ditandatanganinya undang-undang Penanaman Modal
Asing (PMA), haluan dan arah yang dituju kapal yang namanya Indonesia ini telah
berubah! Ia tidak lagi percaya pada kekuatan ekonomi kerakyatan dengan
mengandalkan rakyatnya sendiri untuk mengelola segala potensi ekonomi yang ada
padanya. Indonesia malah mengambil segala potensi itu daripada rakyat Indonesia
dan mengoralnya pada modal asing untuk dikelola. Indonesia tidak lagi memandang
rakyat sebagai yang utama, pemegang kendali tertinggi negara, pemilik tanah,
air dan udara Indonesia. Rakyat tidak lebih dari para pelayan: menyediakan
tanah dan airnya Cuma-Cuma buat para perampok dan perampas asing itu, lalu
mereka harus menghambakan diri menjadi pekerja-pekerja dengan gaji rendah.
Negara diharuskan puas dengan kontribusi rendah paerusahaan-perusahaan asing
itu.
Mengapa sejak itu posisi
Indonesia menjadi begitu lemah, seakan-akan dikendalikan asing dalam ekonomi,
dan punya kekuasaan politik ompong yang gagal melindungi segala milik dan
kekayaannya, rakyat yang menjadi pilar keberadaan negara? Karena hakikat
kemerdekaan politik Indonesia telah diancurkan hegemoni neo-liberalisme, wajah
baru kapitalisme global. Indonesia telah jauh dililit utang luar negeri dan mau
tak mau harus mematuhi aturan dan syarat-syaratnya. Idonesia tak mampu berbuat
apa-apa saat pendapatan negara untuk belanja sebagian besar ternyata tergantung
kepada kontribusi para investor-intvestor itu, sehingga suara-suara dan
kepentingan mereka harus diutamakan negara daripada suara rakyatnya, yang telah
berdarah-darah dalam musin perjuangan kemerdekaan, sebenarnya untuk melepaskan
ikatan-ikatan seperti ini.
Sementara warisan
penjajah lainnya: korupsi, birokrasi yang sarat kepentingan, dan pengaruh
neo-liberalnya, tidak terpisahkannya penguasa dan pengusaha, semakin menjadikan
pilar-pilar dan alasan mengapa Indonesia harus merdeka tersingkir jauh dari
hadapan kepentingan banyak pihak asing. Ternyata kemerdekaan politik Indonesia
tidak menjamin kemerdekaan ekonomi yang telah hancur lebur di hadapan dominasi
kapitalisme global.
Jadinya, kekayaan
Indonesia tidak 100% dinikmati rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia di hadapan
pemerintahannya sendiri menjadi budak para perampok asing dengan berbagai
perusahaannya. Penjajahan ekonomi, sosial-budaya itu terulang kembali dalam
tubuh Indonesia yang merdeka politik. Untuk merdeka lagi 100%, jelas bukan
perkara mudah! Menjadikan rakyat Indonesia makmur, beradab, adil, sejahtera,
itu jelas mimpi pada 17 Agustus 1946 dan mimpi hari ini, dan akan tetap jadi
mimpi selama penjajahan ekonomi belum dihancurkan!
Lalu bagaimana kita
membayangkan tanah air dan bangsa Papua dalam kekuasaan Indonesia yang terjajah
itu? Bangsa Papua juga ikut terjajah oleh kuasa kapitalisme global itu. Bangsa
Papua dijajah oleh dua pihak: Indonesia dan kuasa kapitalisme global. Keduanya
sama-sama mementingkan sumber daya alam Papua dan sangat tidak peduli pada
manusia Papua yang sedang menuju kepunahan akibat sistem dan struktur yang
menjajah oleh kedua pihak di atas tadi.
Maka pilihan bangsa
Papua adalah sudah pasti Papua merdeka. Merdeka untuk memutus mata rantai
penjajahan oleh Indonesia dan kuasa kapitalisme global. Merdeka ekonomi politik
yang 100%. Menentukan nasib sendiri lebih baik daripada pasrah menerima nasib
dijajah akibat terus pasrah pada kungkungan jajahan kolonialisme Indonesia yang
juga dijajah kuasa kapitalisme global.
Pertanyaannya,
bagaimana memperjuangkan dan mewujudkan kemerdekaan itu? Bangsa Papua pula yang
harus menjawabnya! Apa saja yang bangsa Papua miliki buat dioptimalkan dalam
proses mencapai kemerdekaan?
Lihatlah
potensi-potensi yang ada. Bangsa Papua terdiri dari 312 suku bangsa, dengan
lebih dari 1,5 juta penduduk yang tersebar di seantero tanah air Papua. Rakyat
Papua adalah keuatan utama perlawanan, karena perlawanan harus berbasis rakyat:
lahir dari kesadaran rakyat yang ditindas, disingkirkan, dianiaya, dibunuh,
dirampok tanah-tanah adatnya, dibunuh sanak-keluarganya. Merekalah kekuatan
revolusi bangsa Papua menuju merdeka. Rakyat Papua di atas teritori Papua dari
Merauke di selatan dan Jayapura di ujung utara sebagai batas timur. Kepulauan
Mapia di utara hingga pulau Adii di selatan, hingga pulau Waigeo, pulau Gam dan
kepulauan Raja Ampat di ujung barat teritori Papua. Semua orang Papua perlu
dioptimalkan, menjadikan mereka massa rakyat revolusioner menuju kemerdekaan
Papua.
Bangsa Papua punya
organisasi-organisasi perjuangan. Mereka telah bersatu dalam satu wadah payung,
namanya The United Liberation Movement
for West Papua/ULMWP, atau organisasi persatuan perjuangan untuk pembebasan
bangsa Papua. Setiap organisasi perjuangan akan mempertahankan eksistensi
organisasinya masing-masing, tetapi tetap patuh pada koordinasi ULMWP sebagai
wadah payung, guna mencapai kemerdekaan. Koordinasi antara para pemimpin
organisasi dan ULMWP tetap jalan. Maka bangsa Papua sudah punya wadah politik untuk
berjalan, punya pengurus yang mengurus dan meimpin bangsa Papua menuju merdeka.
Lalu apa tugas generasi
revolusioner ini? Maksudnya, apa tugas pemuda-pemudi Papua yang sadar dan melek
pengetahuan akan revolusi ini?
Kau yang pemuda-pemudi tak sekolah, anak-anak jalanan, sarjana-sarjana tak
kerja, pelajar dan mahasiswa.
Dengar ... dengar tanah air memanggilmu jadi garda revolusi bangsa.
Timbalah dulu ilmu revolusi dari sumur kita. Di tengah-tengah rakyatlah
hadirmu dengan tetap setia pada program dan straktat. Jadilah sobat bagi
rakyatmu.
Bangkitkan motivasi. Tuntun rakyat ke jalan revolusi.
Bersama rakyat di kebun, di hutan, di tanah-tanah lapang dan bebukitan,
di pantai dan pegunungan, di jalanan, di
meja diskusi dan penjara penjajah.
...bersama petani, nelayan, kaum buruh tambang dan kuli tinta, kuli
bangunan, buruh terdidik, rakyat kita yang miskin-papa, komunitas-komunitas dan
kelompok: gelorakan asa menuju merdeka-kita!
Demi merdeka-kita, berlakulah tongkat bagi si buta.
Berlakulah jururawat bagi si sakit.
Berlakulah jurutulis wartakan duka-asa.
Berlakulah ahli hukum lindungi rakyat
.
.
Jadi guru bagi rakyatmu: jelaskan transformasi dunia, jelaskan nafsu
penjajah. Jelaskan hakikat dan maksud merdeka-kita.
Di setiap ladang otak dan lembah hati yang subur tanahnya dalam setiap
tubuh dan jiwa anak bangsa Papua itu, semailah benih kebenaran kita!
Hadirmu jadi pemimpin rakyat. Pimpinan yang bersama rakyat... bersama
menghadang-menerjang... bersama hidup-mati di medan juang!
Tanpa ragu tanpa gentar... Majuuuuu!
Usiiirrrrrr penjajah !!
Hancurkan!!! Koyakkkk,
cabik-cabikkkkkk... !!!
...tanpa ampun-tanpa gentar, tanpa kata mundur-tanpa kecut nyali... maju
dan hancurkan! ...hingga penjajah terpukul-mudur! ...hingga penjajah menyerah!
Bergeraklah bagai bayangan, 24 jam sehari, 60 menit sejam, 60 detik
semenit.
Bersama massa rakyat, pena, toa, debu jalanan, bau amis darah dan lantai
dekil penjara
... dengan kain kumal-lusuh di tubuh, mulut bau, gimbal rambut, anak
panah dan M-16 di sepanjang belantara
dan bibir pantai
Bersama rakyat setia hingga ajal di garis juang, hingga tak satupun
penjajah mengiri-mencuri merdeka-kita.
Hingga hormatlah kita-tersisa pada Bintang Kejora perkasa melambai di
langit biru West Papua.
...dibasahi rintik airmata merdeka-bahagia anak-cucu harapan merdeka-kita.
[]
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar