Wajah anak-anak Papua dalam carut marutnya pendidikan Papua (Foto: Ist) |
Penulis: Fransiskus Kasipmabin
"Di muka bumi ini tidak satu pun yang menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara," (Bernard Shaw)
Judul
tulisan di atas merupakan sebuah refleksi pribadi saya selama perjalanan
mengikuti proses pendidikan (pendidikan sekolah formal) sampai saat ini.
Refleksi adalah sebuah pengharapan.
Pengharapanlah
membangkitkan kembali segala bentuk tindakan manusia. Walaupun dunia ini
diporak-porandakan oleh segala hal, namun masih ada harapan akan perbaikan
dunia, yaitu pengharapan.
Saat
ini, kita dihadapkan pada berbagai persoalan baik itu persoalan sosial,
persoalan kesejahteraan, persoalan korupsi, persoalan kebebasan-berekspresi,
persoalan kemanusiaan, sampai dengan persoalan tawar menawar pemekaran.
Pemekaran
yang ditawarkan saat-saat ini misalnya adalah sebuah paket khusus pemerintah
pusat yang kemudian diperdagangkan oleh para pejabat lokal di Papua. Ia dinilai
penuh muatan yang dapat mengiring masyarakat asli Papua pada sebuah keadaan
yang buruk.
Namun,
bangsa ini masih akan bernapas karena ada pengharapan yang besar
untuk bangkit membangun kembali, seperti yang dicita-citakan oleh pendiri
bangsa ini.
Lalu,
apa sebenarnya pengharapan bagi seorang tokoh pendidikan kritis, Paulo Freire.
Pengharapan bagi Freire adalah sebuah kesaksian dan penghargaan tentang daya
hidup batin sekian generasi manusia yang tidak beruntung dan tentang kekuatan
yang kerap kali diam. Namun, lapang pada diri berjuta-juta orang yang tidak
pernah rela membiarkan pengharapannya padam: orang-orang di seluruh dunia yang
telah diberdayakan oleh pedagogi kaum tertindas.
Oleh
karena demikian, kesaksian saya dan kesaksian semua manusia di bumi ini, bumi
Indonesia dan bumi Papua perlu direfleksikan bersama. Refleksi saya, sekolah
adalah sebuah kesaksian. Hadirnya sekolah, saya mengenal dan memahami segala
sesuatu yang digelapkan sengaja maupun tidak sengaja, belum diperlihatkan,
disembunyikan, kemudian, keluar dari kedok kegelapan, keluar dari lembah
kebodohan menuju pembebasan diri demi kemerdekaan universal.
Meneropong
sejarah peradaban sekolah di Papua menarik untuk disimak. Hadirnya sekolah di
Papua memunyai misi yang besar. Misi itu apakah kemudian akan menjadi
kenyataan?
Saya
mengotak-atik jendela google, menyangkut sejarah masuknya pendidikan (sekolah)
di Papua, membuka halaman demi halaman buku ternyata belum menemukan, mungkin
beberapa buku yang tidak sempat saya temukan masih ada terkait dengan sejarah
masuknya pendidikan. Namun, menarik sekali ketika melihat sebuah tulisan
(artike) di bloggernya sejarah pekabaran injil di Mansinam. Di sana saya
menemukan apa yang saya cari.
Saya
melihat sebuah artikel yang mengisahkan tentang sebuah buku dari Pdt.
Jusuf Fredrik Onim, M.Th yang berjudul "87 tahun Sejarah Pendidikan
Teologi di tanah Papua". Buku ini didapati data beberapa sekolah dasar
pertama di Mansinam yang didirikan pada tahun 1856, dan beberapa bulan kemudian
sebuah sekolah di buka di Kwawi.
Setahun
setelah injil masuk di tanah Papua 1867 sekolah ketiga di buka di Andai,
Manokwari, dan menurut data dari buku tersebut ada sebuah sekolah di Fanindi,
sehingga sampai tahun 1875, tercatat ada 6 buah sekolah.
Peran
sekolah yayasan di Papua membangkitkan motivasi belajar bagi warga pribumi.
Baik yayasan Kristen maupun Katolik sangat berperan penting karena sekolah
tersebut menciptakan generasi yang akan menjadi pemimpin (pejabat) di Papua,
sehingga mereka menjadi pemimpin di bebrapa kabupaten di Papua.
Selain
itu, peran Gereja melalui Yayasan Kristen ditentukan dengan banyaknya
lembaga yang dikelolah oleh yayasan ini, sekitar 826 pada tahun 1962, YPK
463 dan YPPK 363 dan Pemerintah Belanda sendiri 27 Sekolahan.
Pendidikan
katolik masuk melalui wilayah selatan. Pendidikan Kristen pada zaman itu
dikhususkan untuk orang-orang asli Papua, sedangkan katolik dibebaskan kepada
semua kaum, seperti anak-anak kei, bugis dan Maluku yang datang ke tanah Papua.
Setelah
melewati beberapa fase (kedudukan Belanda dan Jepang), kemudian bangkitnya
nasionalisme Indonesia paskah kemerdekaan, maka pendidikan Jawanisme dan model
pendidikan budaya bisu mulai bergerak ke penjuruh nusantara termasuk Irian Jaya
(kini Papua dan Papua Barat).
Pendidikan
budaya bisu merupakan sebuah paket yang dipaketkan langsung dari Jawa untuk
dipergunakan di seluruh Indonesia termasuk Bangsa Papua Barat. Gerakan budaya
bisu menyangkut semua aspek, dan dengan target-target tertentu. Misalnya
pendidikan Indonesia di Papua dengan target menumbuhkembangkan nasionalisme
bangsa Indonesia. Inilah timbul hegemoni Jawasentris di bumi Papua.
Menarik
sekali, baru-baru ini beredar video tentang kasus penganiayaan guru terhadap
murid di salah satu sekolah ternama di Jayapura. Sampai-sampai walikota
Jayapura turun tangan dalam kasus pemukulan tersebut. Walikota menaggapi kasus
pemukulan, kemudian sidak atau kunjungan mendadak ke sekolah, untuk mengetahui
kebenarannya. Hal tersebut membuktikan, bahwa penyelenggaraan proses belajar
mengajar di sekolah amat sangat kurang benar.
Proses
belajar di sekolah dari dulu sampai saat ini menemukan (mengamati), guru adalah
raja dari segala makluk hidup yang menghidupi kehidupan di sekolah, baik itu
siswa, gedung, hewan, segala tanaman dan lain-lainnya.
Murid
harus patuh dan setia terhadap perintah guru. Apa pun yang diperintahkan guru,
murid dengan senang hati melaksanakannya. Guru adalah komandan
sedangkan murid adalah perajurit yang siap untuk melaksanakan perintah
komandan. Mereka tunduk kepada atasanya. Itulah fenomena sekolah di Papua.
Pengalaman
saya dulu di sekolah. Saya sangat menghormati dan patuh sampai takut
terhadap guru. Di luar jam sekolah pun saya harus hormat kepada guru. Takut
karena perintahnya harus dilaksanakan, jika mengabaikan perintahnya atau belum
dikerjakan, maka hukuman lebih berat dari tugas yang diberikan oleh guru
tersebut.
Sekolah
semacam ini menciptakan manusia robot. Manusia yang dikendalikan oleh
tuannya, sehingga Manusia tersebut patuh terhadapnya. Sekolah
bermodel ini bukan membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan membantu
menciptakan manusia kuli bangunan pemerintah (menjadi PNS), kuli bangunan
korporat, kuli bangunan LSM asing dan lainnya.
Selain
itu, Peraktek pendidikan (guru di sekolah) yang menyedihkan dan melelahkan.
Guru melampaui batas kewajarannya. Regulasi yang dibuat sekolah pun memberatkan
murid. Aturan yang dibuat seolah-olah murid menjadi korban dari aturan
tersebut. Diwajibkan harus memakai seragam sekolah, batik sekolah, makai
sepatu, jika tidak memiliki semuannya akan dikeluarkan dari sekolah dan
lain-lainya.
Kemudian,
sekolah memiskinkan kreatifitas murid. Mematikan cara berfikir murid.
Solah-olah murid tidak apa-apanya, hanyalah sebuah becana kosong yang siap
diisi oleh guru. Sekolah medel ini bagi Freire adalah pendidikan model Banking.
Guru seharusnya mendorong dan mendukung siswa untuk berekspresi mengembangkan
potensi yang dimilikinya, baik itu bakat dan minatnya di sekolah.
Seharusnya
guru menjadi teman, guru menjadi pembimbing yang setia dan mendorong bagi
siswanya untuk lebih mengenal dirinya, lingkungan sekitar dan masyarakat pada
umumnya yang ada di wilayah tersebut.
Sekolah
membebaskan murid bermain sepuas mereka. Bermain bersama gedung, bersama
bunga-bunga, pepohonan dan taman disekeliling sekolah. Bebas bermain selama
berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan dan sampai bertahun-tahun.
Segala sesuatu yang ada di lingkungan sekolah adalah milik mereka (anak murid).
Kemudian,
aturan yang dibuat seharusnya memperhatikan aspek-aspek lain dari siswa. Tidak
sama ratakan tetapi kemudian memperhatikan dari segala segi, baik keinginan
siswa, latar belakang siswa dan lainnya yang perlu untuk diperhatikan. Karena
aturan dibuat untuk ditegakan dan dilaksanakan oleh penghuni sekolah. Apa lagi
aturan tersebut memberatkan bagi siswa sedangkan guru belum terikat dengan
aturan.
Wajah
sekolah sepert ini seharusnya segera diubah. Jika masih saja diterapkan di
negeri ini, negeri bangsa orang Papua di Papua, saya yakin dan percaya bahwa
sekolah itu akan menciptakan manusia robot, manusia yang ingin menjadi PNS,
menciptakan manusia bermental kuli bangunan, siap dipekerjakan di mana-mana.
Dan
pada akhirnya, manusia tersebut tunduk kepada para penguasa, tunduk kepada korporat,
tunduk kepada para kapitalis sehingga seluruh kekayaan yang menghuni
ditanah ini, bangsa ini, bangsa Indonesia dan bangsa Papua akan menghilang
ditelan para penghisap hasil bumi itu.
Sekolah
diharapkan membuka diri. Sekolah keluar dari dokma-dokma yang dibangun oleh
model pendidikan jawasentris. Sekolah seharusnya keluar dari segala jenis
kegiatan yang membunuh siswa secara langsung maupun tidak langsung. Sekolah
model perbudakan yang dibangun ini, harus segera dihakiri.
Moh.
Yamin menwarkan beberapa pandangan yang seharusnya sekolah perhatikan, di
antaranya sekolah didesain dengan lingungan yang kondusif dan menyenangkan,
menciptkan ruang berinteraksi antara sesama murid, guru dan staf lainnya dalm
sekolah dengan penuh persahabatan kemudian perlu untuk dilakukan.
Sekolah
dideasin untuk wadah bagi murid berdinamika dan berporoses demi pengembangan
dirinya dan menyemai nilai pendidikan untuk memperkuat jati diri anak murid.
Kemudian,
Moh.Yamin berkata dalam Beny Susetyo, kegiatan pendidikan yang terjadi saat ini
hanyalah sebuah proses pembelajaran yang memaksa siswa untuk menelusuri atau
menaiki tangga pendidikan yang tidak berujung. Lebih ironis lagi, pengajaran
yang mewajibkan sekolah seperti pendapat Ilich (1999:517), membunuh kehendak
banyak orang untuk belajar mandiri.
Sekolah
membebaskan adalah sebuah potret penyelenggaraan pendidikan yang berpedoman
pada proses pembelajaran dalam kelas dan menjadikan ruangan kelas itu dialog
kritis dan transpormatif. Oleh sebab itu, sekolah memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada murid untuk mencari tau sendiri dan menemukan,
menganalisa, mengkritis atas segala sesuatu dan mencari jalan keluar untuk
menjadi solusi menyelasikan masalah.
Oleh
karena demikian, untuk mengetahui bagimana sekolah yang membebaskan itu?
Moh.Yamin mengatakan Pertama, pendidikan yang dilandasi semangat pembebasan
serta perubahan ke arah yang lebih baik; Kedua, keberpihakan. Keberpihakan
merupakan ideologi pendidikan itu sendiri yang bertujuan membebaskan semua
siswa tanpa menggunaka label apapun;Ketiga, metodoli yang dibangun berdasarkan
kegembiraan siswa dan guru dalam proses pembelajaran; Keempat, mengutamakan
partisipasi dan komunikasi yang sehat antara peneglola pendidikan, guru, siswa,
kali kelas dan masyarakat di lingkungan tersebut.
Dengan
demikian, mengakhiri ulasan singat ini, saya berpandangan bahwa sekolah yang
membebaskan adalah sekolah yang menciptakan peradaban baru. Keluar dari segala
bentuk penindasan, mengutamakan kepentingan siswa. Siswa diberi kebebasan,
tidak terikat oleh segala sesuatu aturan atau regulasi yang dibuat oleh
sekolah. Menciptakan hal baru, mengakomodir seluruh kepentingan bersama menuju
sutu peradaban baru, demi terwujudnya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Oleh
karena demikian, saya berharap sekolah-sekolah di Papua setidaknya
mentransformasi diri menuju sekolah yang unggul, mengedepankan kreatif,
menciptakan inovasi-inovasi baru, agar bisa bersaing dunia luar. Semoga!
Fransiskus
Kasipmabin adalah Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar