Karl Marx (Foto: Ilustrasi) |
Penulis: Adolfh Seno
Hampir seminggu lebih
hujan tak mengguyur kota Yogyakarta. Setiap titik kota hingga perkampungan
kumuh sudah begitu kering. Yang ada hanya air bekas cucian milik Barabas,
pemilik Angkringan Sarang
Anak-Anak Tolak Penindasan Antar Manusia (Satpam) di pinggiran jalan di suatu sudut
kota.
Belum memasuki bulan
pertama di semester awal, musim hujan pun tiba dan membasahi kota pendidikan
tersebut.
Angkringan beratap
terpal berwarna cokelat hitam yang sering digunakan untuk tempat nongkrong para
tokoh-tokoh buangan dari berbagai daerah pun, diguyur hujan pada saat itu.
Dari
kejauhan, tempat itu terlihat seperti perkemahan anak-anak pramuka. Tentu anda tahu bagaimana membayangkan situasinya.
Di samping
kedua sisi meja yang menjajakan bungkusan nasi, gorengan, dan jajanan lainnya,
ditempatkan juga dua buah bangku panjang
dibawanya.
Disitu ada
Camilo. Camilo adalah seorang pelajar. Dia duduk posisi paling pojok disamping Tan Cu seorang nelayan yang sempat singgah disitu.
Disitu juga ada Ernest seorang dokter dan Celia seorang aktivis perempuan.
Mereka berdua duduk berhadapan dengan Tan Cu dan Camilo.
Tiga bulan lalu,
Camilo mendapat stigma sebagai seorang pemberontak karena melawan dan menentang
pajak pembangunan yang dianggapnya sebagai permainan birokrasi yang menguras
uang orang tuah siswa di kota itu.
Mereka
masing-masing santai dengan kopi hitam yang diletakannya di depan meja berukuran
setinggi dada.
Dari kejauhan,
seorang nelayan asal Tiongkok ini terlihat
sedang memainkan bahasa tubuh. Bahasa
tubuh yang menyindir itu dibuatnya berulang-ulang.
Karena tidak menerima
gaya Tan Cu, Camilo, anak Ernest ini membalas dengan kerutan dahi menampilkan wajah kurang setuju dengan gaya dan ekspresi Tan Cu.
Situasi di angkringan
itu semakin memanas karena aktivitas mereka berdua.
Di tempat milik Barabas ini, tidak pernah memandang adanya senior atau junior, laki-laki atau perempuan, suku, etnis, apalagi agama, tetapi di sini semua dianggap setara.
Semua yang ada di
tempat itu sadar bahwa perbedaan-perbedaan sepeti rasialisme, diskriminasi, konflik
agama, dan lain-lainnya itu tercipta
akibat perjuangan ekonomi dalam masyarakat berkelas.
***
Hujan tak kunjung
henti. Aku berlari berlari
secepat mungkin dari tempat kerjaku
menuju Angkringan milik Barabas. Kebetulan, aku sering sekali mampir di
Angkringan itu karena kekhasan kopi hitam yang dijualnya beda dari yaang
lainnya.
Setibanya, aku langsung memesan kopi,
“Broo, aku pesan Black
Coffee ya,”
Barabas sengaja tidak
menanggapi apa yang aku bicara.
“Mas broo, aku pesan
kopi hitam,” dengan nada keras aku katakan ke manusia pemilik angkringan ini.
Dia kaget dan sejenak
balik ke aku.
“Ohhhh, sory mas, aku
ngak lihat tadi. Soalnya aku sedikit sibuk,”
“Iyooo, kopi hitam
satu.” Kata saya dengan nada emosi.
Tempat ini membuat
aku tertarik dan selalu ingin kesini, karena siapa pun yang ke Angkringan ini
juga semua menolak pikirannya si Adam. Si Adam adalah pemilik Hotel Melatih yang berdiri tepat di depan angkringan ini.
Dengan memiliki
kekayaannya yang berlimpa, Si Adam menganggap semua manusia egois, sangat ambisius tanpa memandang nasib sesama manusianya. “Konon katanya
hotel ini telah membuat rakyat pemilik tanahnya digusur dengan kebijakan
pembersihan dan tata ruang kota oleh pemerintah yang ditundukkan oleh uang Pak
Adam,” kata barabas
sambil mengantarkan kopiku.
“Trus, yang gusur
bangunan itu siapa-siapa?” tanya Camilo ketika mendengarkan aku dan Barabas
berbincang.
“Yang gusur itu, Polisi dan Tentara yang dibayar oleh si Adam untuk membantai siapa saja saja yang melawannya.” Jawab si mantan preman pemilik angkringan
ini.
“Adam itu sosok yang sejak masa mudanya telah menjadi seorang pengusaha
besar,”
“Sekarang, dia adalah Direktur Utama di PT. Smith yang memiliki anak perusahaan yang tersebar di
berbagai daratan bumi dan berkonsenterasi di berbagai bidang.” Lanjut Barabas sambil menjelaskannya.
Setelah si pemilik
Angkringan itu bercerita panjang lebar mengenai Si Adam tersebut, karena kami
yang ada disitu semakin serius mendengar apa yang dia katakan, tiba-tiba ada
seseorang yang tak dikenal datang menghampiri kami.
“Eeee kawan-kawan, coba
lihat siapa yang datang,” kata Barabas dengan mengajak kami melihatnya.
Orang itu berbadan besar. Karena diguyuri
hujan, dia membungkus kepalanya dengan karung
goni dari guyuran hujan.
“Utang lagi,
pasti berutang si tua brewokan itu, pasti saja”. Mantap preman pemilik angkringan berambut gimbal itu menggeruti.
“Tapi kasihan
juga, kata orang disini, Dia paling miskin, ada anaknya pernah meninggal karena Dia tidak
mampu membawanya ke rumah sakit untuk berobat, Dia baru lima bulan lalu di
sini, karena di depak dari negeri seberang”, kata penjaga angkringan itu sambil
mencuci beberapa gelas yang kotor menggunakan air hujan.
Kami asyik
berdiskusi tentang situasi Papua yang beberapa waktu lalu memanas di media mainstrim Indonesia sambil yang lainnya mengesampingkan ajakan si penjaga Angkringan Satpam itu.
“EHhmmmmm…..,” suara itu mengheningkan suasana diskusi sekejap saja.
Suara seorang
tua brewokan, berdiri tepat di belakang Ernest. Aku sebelumnya belum mengenal
pria ini, karena jarang ia kemari untuk berbelanja atau berdiskusi ditempat ini.
"Hei, kau jangan
terlalu heran dengan kehadiran para elit borjuis itu, pemerintah negara Inggris, pemilik media maistrem atau siapapun itu, jangan heran dengan media murahan yang diskriminatif itu,” suaranya
agak tegas sambil menatapku tajam.
“Dalam
situasi rakyatmu yang seperti sekarang ini, kelompok yang sok-sokan baik, dengan
bahasa-bahasa nafsu mereka yang berkedok kemanusiaan, kelompok yang sok
perhatian dengan situasi kalian Orang Asli Papua (OAP) yang
benar-benar dibuat terbelakang, ditindas SDMnya juga dikuras semkain habis itu akan bermunculan, pada saat kalian mulai memberontak ingin bebas." Jelaskannya lagi.
Nampaknya pria ini sudah beberapa menit berdiri dan mendengarkan
perbincangan kami dan dia
melontarkan pun tidak jauh dari apa yang sedang kami diskusi.
Si brewok itu tak
henti-hentinya memotong perbincangan kami dan terus menjelaskan, "Mereka akan sok perhatian memberi bantuan-bantuan, menayangkannya
melalui media-media provokatif untuk menghancurkan psikologi, untuk memperbaiki
status kebusukan mereka di dalam hati kalian.”
Karena keasyikan
berbicaranya, si pemilik angkringan itu memberikan kode de si prewon ini untuk
mau menagih utang-utangnya.
"Mereka
itu hanya ingin memperbaiki tatanan penjajahan mereka yang hampir kalian
hancurkan," lanjutnya.
Barabas
menampilkan wajah kusutnya. Nampaknya ia walau hatinya tak sampai menolak permintaan si brewokan itu
untuk berhutang gorengannya.
"Ingat!, Hanya kau orang Papua
sendiri dan persatuan rakyat tertindas di seluruh dunia yang bisa hancurkan semua bentuk penindasan dan
tentunya dengan ideologi yang benar-benar matang ntuk menghancurkannya.” katanya
sambil mengangkat kresek berisi gorengannya. Kebetulan walau ditagus utang-utangnya oleh si pemilik angkringa
ntersebut, tetapi si brewok itu tetap saja belum ada uang, dan dia masih mau
berutang gorengan kepada pemilik angkringan tersebut sambil bercerita panjang
lebar.
Pria itu
membuat situasi benar-benar tegang. Ernest sesekali menghisap rokok Cerutu kesukaannya sambil memandang Camilo anaknya.
Celia mulai
mengangkat gelas kopinya dan
mengatakan, “Benar sobat, kira-kira bagaimana
perjuangan perempuan di Papua? Harus dikoordinir, agar perempuannya dapat
mengerti posisinya untuk membebaskan bangsa Papua dari segala bentuk penindasan,”
“Sangat
penting membangun sektor untuk mendidik akar rumput agar dapat sadar dengan
laju dan perkembangan dunia yang sedang dihajar habis oleh kapitalisme. Minimal mereka
dapat sadar situasinyalaa,” tambah si aktivis perempuan
itu yang sedang menikmati kopi yang baru saja ia pesan.
Aku masing
merenung tanpa menanggapi pertanyaan dan pernyataan si aktivis perempuan itu. Aku juga masing penasaran siapa pria brewokan itu?
Perkataannya
langsung mengingatkanku, bahwa memang benar, belakangan banyak isu Papua
yang dimuat dalam media-media nasional milik kolonial. Mulai dari isu
tolak Otonomi Khusus (Otsus), Freeport, hingga Isu Papua Merdeka. Hal ini bukan sesuatu yang harus dipertimbangkan untuk dimuat di media diskriminatif mereka dan
memang memunculkan banyak pertanyaan.
Sangat benar
pikirku dalam benak, bahwa Otsus yang kini kata para aktivis kalau gagal itu
muncul dari perlawanan rakyat Papua tahun 1990-an. Otsus yang diberikan tahun 2001, yang kini
diibaratkan gula-gula manis pemerintah Indonesia itu hanya untuk menenangkan
pemberontakan akar rumput.
“Woooeee,
woee sobat, ayo pikir apa kau ini? Jawab dulu pertanyaan saya?” Celia
menegurku merasa diabaikan pertanyaannya tadi.
Pria itu
hilang sekejap dalam gelapnya malam yang diguyur hujan yang tak kunjung
berhenti. Kepergiannya
dari angkringan ini pun tanpa pamit dari kami.
Memang benar dan aku
semakin yakin, apa yang dikatakan pria brewok tersebut, gumamku dalam hati setelah meneguk kopi yang sudah dingin.
Berarti para
birokrat sedang dan terus menjadi
jalan untuk mencari cela meloloskan bisnis
mereka, benar bahwa si Lukas Enembe (Gubernur Papua) sedang mencari cela
meloloskan Otsus Plus yang kata seorang kawan saya merupakan berisi
aturan-aturan tentang pengelolahan hasil SDA. Ada pun kelompok lainnya
sedang berjuang untuk menempatkan OAP menjadi prisedir Freeport
Indonesia.
Yang lebih lagi membenarkan
pernyataan si brewo tadi lagi adalah apa hubungannya pemerintah Inggris mengunjungi Papua dengan
menawarkan pendidikan untuk Papua. Padahal, saat Inggris memimpin UNI EROPA
dalam sidang Dewan HAM PBB yang ke-54 pun pihak mereka keras kepala
mendukung diktator Soeharto yang melakukan pembantaian di Timor Leste dan sekarang pun kita tahu mereka itu
siapa.
“Haiii, kau jangan
tidur, ayo jawab pertanyaanku tadi, atau kamu penasaran dengan si tua tadi?” Tanya
Celia sambil menuntut pertanyaannya dijawab. Hampir sepuluh menit aku merenung karena pertimbangan dari kata-kata
si brewok tadi.
“Ia benar, si
Brewok tadi siapa ya? Aku sangat penasaran? Dia seakan memberi jalan terang terhadap semua
renungan dan pertanyaanku selama ini,” kataku sambil menghisap rokok yang hampir mati.
Tanco
menegakkan badannya, sambil menggulung rokok Lampionnya dan menjawab
pertanyaanku, “Dia tokoh yang telah berimajinasi tentang tatanan umat manusia,”
“Maksudnya?” tanyaku sambil memajukan telingaku di mulut Tanco.
“Karena Dia,
manusia semakin sadar posisinya di bumi ini, bahwa semua manusia adalah
pencipta dan menyadarkan menusia bahwa, manusia itu memiliki kesamaan hak tanpa
memandang kekotak-kotakkan yang diciptakan kelompok rakus itu,” kata Tanco menjawab pertanyaanku.
“Dia karena
tidak punya uang, sering pindah-pindah rumah, pendapatannya tidak cukup untuk
biaya makan, membayar ongkos rumah, apalagi sekolah anak-anaknya. Dia juga
diusir dari tempat tinggalnya akibat tulisan-tulisannya yang sarat akan kritik
dan propaganda,” ujar Camilo melanjutkan
penjelasannya tentang si brewok itu.
Barabas hanya
senyum kecil-kecil di sudut angkringan, sepertinya merasa puas telah
membantunya selama ini.
“Apa
menulis?” Tanyaku lebih penasaran.
“Benar, Ia
sering membaca, menulis, berdiskusi, dan sangat aktif di organisasi
buruh,” tambah Ernest.
“Kamu tahu? Aku
meninggalkan tugasku sebagai dokter akibat tulisan-tulisannya. Aku lebih
memilih menjadi petani sambil membantu mereka yang memerlukan bantuanku,”
“Dia pernah
menulis bahwa, memang kita harus mendapatkan uang untuk dapat hidup dan
bekerja, tetapi jangan kita bekerja untuk mendapatkan uang,” lanjut Ernest.
Aku masih
menanti jawaban yang tepat bahwa sebenarnya siapa orang itu.
“Aku sangat
menanti-nanti buku pertamanya,
yaitu Das Kapital I yang ia tulis,” kata Ernest sambil mengisap rokok Cerutunya.
“Ooo berarti
Dia Karl Marx?” tanyaku meminta pembenaran.
“Benar!, makanya
tadi kami terdiam ketika Dia mulai berkata-kata,” kata Ernest lagi.
“Apaaaaaa?”
aku terjatuh dari tempat tidurku, karena kaget, bagai mimpi buruk.
“Cih, di mana
aku?” kataku dalam hati.
“Ah, mimpi!” aku
mengucak-ngucak mataku.
“Sial ini hanya mimpi ternyata,” kataku
sendirian sambil berdiri dan membuka
jendela kamarku.
Mimpi yang
mengajarkan sesuatu, bahwa mereka sedang mengatur sesuatu yang besar untuk
menjatuhkan kami ke dalam lubang yang lebih dalam dari pada penindasan Kapitalisme.
Penulis (nama samaran) adalah mahasiswa yang sedang kuliah di Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar