Tanah Papua. Foto ilustrasi: Ist. |
Anakku,
Perkenankan
aku hadir, mengungkapkan kegelisahan hati ini, melalui untain bait kata-kata,
melalui surat ini. Mungkin kata-kata saya ini kurang berkenan di hatimu,
anakku, saya meminta maaf. Tetapi saya berusaha hadir di hadapanmu melalui
surat ini, apa adanya, dengan segala yang ada padaku.
Anakku,
baiklah
sebelumnya kuucapkan rasa syukurku kepada Bapa di Sorga, Sang Pemberi Kehidupan.
Hanya karena Dia,
saya masih dapat bertahan, memberimu makanan ala kadarnya dari segala
keterbatasanku saat ini, dan engkau hidup. Menemanimu, di setiap hidup, karya,
dan perjuanganmu, anakku.
Sebelum
terlambat, biarlah kutuliskan surat ini untukmu.
Anakku,
kita memang sepantasnya bersyukur pada-Nya. Dia yang di Ataslah yang memberimu
diriku untuk engkau tempati, anakku. Aku tidak membencimu, hanya karena engkau
berkulit hitam, dari rumpun Melanesia, anakku.
Aku tidak membencimu, hanya karena engkau berambut keriting, anakku. Akulah ibumu, dan aku sangat mencintaimu, anakku. Akulah ibumu, yang memelihara engkau, dengan susu dan madu, dan engkau hidup. Terpujilah Bapa yang di Atas selama-lamanya, atas segala berkat-Nya ini.
Anakku,
Aku
adalah Ibumu. Aku bangga karena engkau memanggilku ‘Mama’. Akulah Ibumu, tanah
Papua, yang memeberimu kehidupan dengan segala yang ada padaku. Dan engkau
hidup. Selamanya aku adalah Ibumu, dan selamanya engkau adalah anakku.
Engkaulah permata hatiku.
Anakku
,di saat-saat seperti ini, senyuman sering tersungging di bibirku. Bukan
senyuman sinis, anakku, tetapi senyuman kebahagiaan, mengenang masa lalu hidup kita yang sangat indah dan
harmonis.
Anakku,
Sejak
engkau di dalam kandungan ibumu, aku menanti-nantikan engkau dengan senang
hati. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Dia yang di Atas, yang telah
menghadirkanmu, dan mempercayakanmu untuk diasuh olehku. Terus terang, aku
bangga engkau lahir.
Aku
bangga melahirkan manusia sepertimu. Engkau unik. Tidak ada anak sepertimu yang
dimiliki oleh ibu-ibu yang lain di dunia, seperti Afrika, Amerika, Australia,
Asia, Sumatera, Jawa, dan lain sebagainya. Engkau unik. Dan engkau yang unik itu
dipercayakan Dia yang di Atas padaku. Sungguh, anakku, bangganya aku
memilikimu; Anakku, manusia Papua.
Anakku,
Ketika
engkau tumbuh besar, aku
berusaha membentuk karaktermu. Aku berusaha membuatmu merasa memiliki semuanya
yang kita punyai. Dengan kerasnya alam Papua, engkau kuajarkan untuk menjadi
pribadi yang tidak pernah mengenal kata menyerah.
Engkau
berusaha kubentuk menjadi pribadi yang menyukai tantangan, dan menjadikan
tantangan dan kesukaran menjadi semangat untuk memperjuangkan hidup yang lebih
baik lagi.
Anakku. Walau demikian, engkau
adalah permata hatiku. Aku menyayangimu. Dan kuberi apapun yang kau butuhkan,
hanya dengan sedikt kerja keras darimu, asalkan kau mau sedikit usaha. Anakku,
aku telah menyediakan diriku sebagai tanah yang sangat subur, dimana engkau
dapat bercocok tanam dan hidup.
Aku
telah menyediakan diriku sebagai air, di mata-mata air di seluruh tanah ini.
Itulah air susu ibu, anakku. Dan dengan meminumnya, engkau kini tumbuh dewasa.
Dengan kerasnya alam, aku merangsang engkau untuk dapat mengolah dan
memanfatkan otak, pikiran, pemberian Dia yang di Atas, untuk kehidupanmu
sehari-hari. Dan engkau berhasil. Engkau memang jenius, anakku.
Anakku,
akhirnya ingin kukatakan, bahwa aku ingin membentukmu menjadi manusia yang
berwatak keras, dengan mimik muka yang keras. Itulah cirimu, anakku. Itulah
gambaran semangat hidupmu yang selalu dijiwai oleh kerja keras, dan pantang
menyerah, yang hidup di tengah kerasnya alam, tetapi melimpah ruah susu dan
madunya, anakku.
Aku
sangat bangga padamu. Aku bangga, karena
di dalam hitam kulitmu, mimik
mukamu yang oleh sebagaian orang disebut
menyeramkan, Dia yang di Atas memberimu hati putih, putih seputih salju abadi,
anakku. Hatimu lembut, penyayang, punya hati nurani, dan berbela rasa terhadap
diriku sebagai ibumu, juga terhadap sesama dan alam. Inilah yang menjadikanmu
sampai saat ini disebut ‘manusia alam’; manusia yang sangat berkaitan erat
dengan alam. Aku bangga padamu, anakku, manusia hitam, pemilik hati putih,
seputih salju abadi.
Anakku, bila kau sakit, akulah
yang telah menyediaimu obat-obatan alami
yang sangat berkhasiat menyembuhkan semua
sakit yang engkau derita. Anakku, bersamaku, engkau aman, tenteram, dan
sejahtera. Terpujilah Dia yang di Atas, yang memberkatiku, dan memberkatimu,
anakku.
Anakku,
Kehidupan
kita dahulu sangatlah indah. Kita hidup saling berdampingan, dan saling membutuhkan.
Kita saling berkaitan erat. Dan kita hidup harmonis, saling memberi. Kita hidup
dahulu, saling menghargai sebagai layaknya anak dengan ibunya. Kita saling
menghormati dan saling menjaga. Itulah kehidupan kita dahulu.
Anakku,
Engkau,
dengan setiap suku bangsamu, kubiarkan menempati wilayahnya masing-masing
dariku. Aku berusaha adil padamu, anakku. Aku memeberikan semua yang engkau
perlukan. Ketahuilah, aku telah membagi diriku, dam memperhatikan dan
memeliharamu masing-masing, dengan caraku sendiri di tempat tinggalmu
masing-masing.
Di
dalam kelompok-kelompok suku bangsa itu, engkau hidup. Tetapi dari sanalah
engkau kuajari rasa saling menghargai
antara sesama suku bangsa. Engkau kuajari bagaimana harus hidup harmonis, walau
ada sedikit perbedaan antar kolompok suku bangsamu. Anakku, aku bangga padamu.
Ketahuilah, jauh di balik kelompok suku bangsamu itu, engkau hanyalah satu.
Kulitmu sama sama hitam. Rambutmu sama-sama keriting. Engkau adalah satu: Papua.
Anakku,
Ketika
engkau telah tua, dan telah mendapat perhentian, seperti nenek moyangmu, Aku
berduka, anakku. Tetapi yang lebihnya dari itu, aku juga bangga padamu, karena
engkau akan kembali lagi ke pelukanku. Aku mencintaimu, anakku, selamanya
engkau adalah anakku, dan selamanya engkaulah permata hatiku, manusia berkulit
hitam, pemilik hati putih.
Anakku,
Ketika
engkau berjuang untuk eksistensi kita sebagai sebuah bangsa, aku juga turut
berjuang dengan caraku, anakku. Dan
ketika Sang Sampari berkibar, sungguh,
bangganya aku ini. Yang harus kamu tahu, anakku, akau akan sangat bangga,
ketika engkau merasa bangga sebagai satu
bangsa: Papua, dan
akan ikut bersedih, jika kalian terjebak
dalam jebakan perbedaan, anakku.
Akulah
ibumu, dan akulah yang paling mengetahui apa yang terjadi denganmu. Karena
harus kamu tahu, bahwa kebanggaan dan sukacitamu sebagai sat bangsa adalah juga sukacitaku.
Dan kesedihan dan dukacitamu dalam penjara
suku, adama dan golongan adalah juga
dukacitaku.
Anakku,
Sejak
hari bersejarah itu, setelah kau pilih kita bergabung dengan mereka di sana,
engkau tahu anakku, sakitnya hati ini. Mengapa anakku?
Tubuhku
mulai dikoyak-koyak,
anakku. Besi-besi panas menancap masuk hingga ke dasar tubuhku yang paling dalam,
anakku. Semua isi perutku diambil mereka semuanya. Anakku, aku kini mulai tidak
berdaya. Mereka dengan kasarnya mengambil semua kepunyaanmu, harta warisanmu itu, yang selama ini kusimpan
jauh di dalam tubuhku. Anakku,
aku mulai tidak berdaya. “Apa kau rela membiarkan
harta warisan leluhurmu ini diambil semuanya oleh mereka, anakku?”
Anakku,
Hutan-hutan
tempat engkau bermain, tempat suaka margasatwa bernyanyi kini mulai dibabat,
anakku. Anakku, gunung-gunung tinggi dan danau tempat
bersemayam roh leluhurmu, mulai kau izinkan untuk dicemari. Anakku, aku
besedih.
Dengan
mataku sendiri aku melihat engkau dengan bangganya berusaha mendatangkan proyek
penghancuran atas diriku. Anakku, engkau
dengan bangganya menempati kursi-kursi kepemimpinan,
tetapi buta nurani ketika engkau menjadi pemimpin.
Anakku, engkau sendiri yang malah
menandatangami proyek proyek penghancuran tubuhku. Anakku, sadarkah engkau
dengan segala perbuatnmu ini? Anakku, dimana
nuranimu kau siman? Teganya kamu melihatku begini ...
Anakku,
harusnya engkaulah yang harus melindungiku. Dari mana engkau hidup, bila tidak
di atasku, dan bersamaku? Siapa yang
akan menjagamu, bila aku tidak berdaya lagi? Ibu Afrika, Amerika, dan lainnya hanya akan memeperhatikan anak-anak
mereka, anak Afrika, Amerika, dan lainnya. Aku, Ibumu, Mama dari semua orang
Papua lah yang akan memperhatikanmu, anakku Papua. Anakku, kini aku bertanya; “Sampai kapan besi-besi
panas yang tertusuk jauh di dasar tubuhku ini, yang menghisap urat nadiku ini
kau lepaskan?”
Anakku,
Kini,
kulihat kebersamaanmu itu mulai pudar. Rasa sebangsa dan setanah airmu mulai
hilang. Bela rasa dan hati nuranimu mulai tumpul. Anakku, mengapa engkau mulai
demikian? Aku tidak mengajarimu demikian.
Anakku, darimana kau dapatkan semua jalan menuju
kebinasaan ini?
Anakku,
Aku
perhatikan engkau baik-baik. Kepentingan diri sendirilah yang mulai kau
perjuangkan. Kepentingan kelompokmulah yang utama. Engkau anakku, dengan segala
kehormatan dan kekayaanmu, engkau mulai melupakan diriku. Engkau mulai
melupakan Ibumu, yang membesarkan engkau dengan air susu dan madu.
Kini
engkau mulai melupakan saudara sebangsamu, yang sementara ini hidup tersingkir,
terbuang di tanahnya, bahkan terhadap ribuan orang yang dari waktu ke waktu
cepat kembali ke pelukanku karena timah panaspun, kau hanya menutup mata.
Anakku,
kini kulihat semua kebijakanmu hanya sarat KKN. Anakku, sadarlah!
Engkau kini dibentuk menjadi sebuah baut yang hanya menguatkan sebuah roda raksasa,
yang terus berputar. Sayangnya
roda itu berputar ke arahmu, yang akan menggilas bangsamu, masa depanmu dan
anak cucumu, juga akan menggilas hari esokmu, dan hari esok anak cucumu yang akan
kau lahirkan.
Anakku,
sebagian dari engkau telah mengenyam pendidikan. Sadarkah engkau? Anakku,
sekali lagi; sadarkah engkau dimana engkau berada, apa yang terjadi, dan di mana posisimu di tengah semua gejolak ini?
Anakku,
Hatiku
sedih. Hatiku sakit, seperti
disayat silet berlumur sari cabai,
memikirkan masa depan kita. Masa depan engkau anakku, dan anak
cucumu nanti, dan masa depan aku, ibumu. Jujur, masa depan kita suram, anakku.
Bagaimana kiranya kehidupan kita kelak, anakku?
Anakku,
turutilah nasihatku ini.
Janganlah menjadi sekrup
yang menguatkan roda raksasa ini, yang terus berputar ke arah kita untuk
menggilas seluruh impian, cita-cita, dan harapan hidup kita di tanah ini. Berhati-hatilah
anakku, dalam setiap tindakanmu. Di dalam benakmu, ingatlah selalu Tuhanmu,
sesamamau sebangsa, dan petuah dari leluhurmu. Ingat perjalanan hidup kita
dahulu, sampai saat ini.
Anakku,
waktu tidak akan menunggu kita. Ibumu ini hanya dapat mengungkapkan perasaan
padamu, hanya melalui gejolak alam
yang selalu tidak kau tangkap. Anakku, engkaulah tumpuan
harapanku.
Engkaulah
tumpuan harapan semua alam raya Papua. Engkaulah tumpuan harapan saudara
saudarimu sebangsa dan setanah air Papua. Kini, akan seperti apa kehidupanmu
kelak, haruslah kau tentukan dengan melakukan sesuatu, sekarang juga. Ingat,
saat ini juga anakku..
Akakku,
sekali lagi, lakukan sesuatu sekarang juga, demi kebaikan kehidupan kita
bersama anakku. Demi kehidupanmu di atas tanah ini sebagai sebuah bangsa. Demi
kehidupan anak cucumu nanti. Demi
keharmonisan hidup kita.
Anakku,
Walau
engkau mengkianatiku, engkau tetaplah Anakku. Engkau permata hatiku, dan takkan
kubiarkan engkau sendirian. Buatlah sesuatu, saat ini juga, demi kehidupan kita
yang lebih baik di hari esok, anakku.
Aku
tetap mencintaimu, anakku, karena engkaulah anakku. Selamanya akulah ibumu, dan
engkaulah mutiara terindah pemberian Dia yang di Atas padaku untuk kuasuh,
dan kuanggap engkau anakku. Engkaulah permata hatiku, anakku; anakku Papua,
pemilik hati putih, seputih salju abadi.
Anakku,
kini kutunggu balasan surat darimu. Kutunggu balasan suratmu melalui tindakan
dan aksi nyata. Anakku, selamanya akulah ibumu, dan aku berada di setiap hidup,
doa, karya dan perjuanganmu. Bebaskanlah diriku, dirimu, dan bebaskanlah anak
cucumu yang akan hadir nanti di tanah Papua ini, dari tirani penindasan dan
penderitaan ini. Berjuanglah, ayo ... berdirilah, dan
lakukanlah! Gapailah masa depan yang
indah gemilang untuk kehidupan kita
di alam bebas.
Salam
dan doaku, untukmu, anakku Papua. Dia yang di Atas akan selalu bersamamu, dalam
setiap perjuangan kebenaranmu. Salam
dan doa dari roh-roh leluhurmu Papualah yang senantiasa akan mengiringi langkahmu meniti jalan
perjuangan ini.
Amin.
Ibumu
tercinta,
Tanah
Papuua.
Penulis: Sanimala B.
(Mahasiswa Papua, kuliah di tanah Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar