Minggu, 13 Maret 2016

Doktor dan Master Papua

Foto: Iustrasi



Status di facebook Yermias Degei mengungkapkan bahwa di Papua ada banyak doktor dan mastergolongan yang kedua ini jauh lebih banyaktetapi kok hanya sedikit yang bersuara. Nada status itu bertanya atau mempertanyakan apa yang mereka lakukan untuk Papua? Kok tidak banyak kontribusi yang mereka berikan? Kok tidak banyak kaijan yang mereka lakukan untuk mencerahi orang-orang sebangsa? Seperti ditulis oleh Yermias, memang ada segelintir yang perannya sangat menonjol seperti Dr. Beny Giay, Dr. Neles Tebay, dan Dr. Tom Wanggai. Para doktor ini demikian artikulatif dalam persoalan Papua sekarang ini.
Saya menikmati juga membaca komentar serba-serbi yang mengekor dari status itu. Bahwa ada orang mendapatkan gelar 'doktor' atau 'master' dengan cara membeli, seperti halnya membeli sepotong tempe goreng hanya saja harganya lebih mahal, banyak orang tahu. Bahwa bagi sebagian orang menjadi 'doktor' atau 'master' demi meraih jabatan atau posisi yang lebih tinggi dalam suatu hirarki, kita tidak menutup mata. Sebagian orang ingin mendapatkan pengakuan berkat gelar yang menempel pada namanya. Sampai-sampai kalau ada yang salah menuliskan gelar pun orang bisa marah. Gelar adalah sarana untuk mencapai kepentingan-kepentingan.

Gugatan Yermias Degei, jika saya tidak keliru tangkap, mau mengatakan bahwa kalangan terdidik ini diharapkan untuk kritis dengan keadaan Papua sekarang ini. Artinya, bicara pada tataran ideal, orang terdidik itu hendaknya berjuang untuk mendidik bangsanya yang belum mengenyam pendidikan sebaik mereka. Mereka diharapkan untuk bisa membangkitkan kesadaran kritis orang-orang Papua. Akan tetapi, rupanya harapan ini masih belum terpenuhi.
Kita mesti membacanya dalam konteks sosio-historis Papua sekarang ini. Sejak otonomi khusus digulirkan struktur kesempatan untuk menjadi elit lokal di Papua berubah. Orang-orang Papua diarusutamakan. Lebih lagi kemudian disusul dengan pemekaran yang entah kapan berhenti. 
Pemerintahan memiliki nomenklatur yang mesti diisi. Macam-macam klaim dipakai untuk bisa menempati posisi yang tersedia. Persaingan terjadi tapi tidak sungguh-sungguh ketat. Meski saya tidak mengerti persis jumlahnya, sebagian doktor dan master itu menjadi elit lokal, sebuah posisi yang menawarkan peluang untuk menangguk kuasa dan keuntungan. Perubahan sosial di Papua pasca-otsus memunculkan godaan-godaan baru untuk menjadi elit.
Yang lebih menantang untuk ditelisik selanjutnya adalah kesadaran yang tumbuh di antara elit baru Papua ini: Apakah mereka memiliki kesadaran yang sama dengan banyak 'orang jalanan' yang perhatian dengan persoalan HAM, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, di Papua atau mereka memiliki kesadaran yang berbeda?
Bisa jadi para elit ini, yang banyak mendiami gedung-gedung pemerintah, memiliki pengalaman yang berbeda dengan rakyat biasa yang tinggal di kampung-kampung yang hutannya terus dihabisi. Juga berbeda dari para aktivis yang secara konstan mendapatkan teror dari negara. Kesadaran mereka berbeda dari para mahasiswa yang rajin berdiskusi tentang keadaan Tanah Papua. Birokrasi bisa menjadi alat dan cara yang dengan diam-diam efektif menumpulkan kesadaran.
Kiranya sebagian elit lokal memiliki situasi hidup yang lebih nyaman. Mereka terjamin secara ekonomi dan memiliki kuasa untuk mengupayakan berbagai kemudahan. Dibandingkan dengan banyak orang Papua lain, keadaan mereka lebih baik. Ini adalahstatus quo yang mereka pertahankan. Boleh jadi mereka mempertahankan status itu dengan tinggal diam, tidak bersuara, tidak melakukan hal-hal yang malah bisa mengancam keadaan yang sudah baik itu.
Apakah status quo semacam itu membuat kesadaran tidak lagi kritis? Barangkali iya. Boleh jadi gelar doktor atau master memang untuk menikmati situasi yang nyaman, bukan untuk menjadi kritis seperti seorang nabi.
Status quo mencegah para terdidik untuk terlibat lebih dalam kehidupan orang-orang Papua yang mengandung risiko. Yermias melihat hanya segelintir orang dengan gelar akademik tertinggi berani mengambil risiko untuk ikut bertanggung jawab atas kehidupan orang-orang Papua ke depan. Misalnya dengan membangun kesadaran kritis orang-orang Papua akan situasinya saat ini.
Dengan begitu, sesungguhnya mereka yang bergelar doktor atau master dan menempati posisi-posisi yang baik, tapi tidak memberikan kontribusi yang positif bagi kehidupan di Papua adalah bagian dari masalah.
Saya kira program seribu doktor untuk Papua yang sekarang ini masih berjalan menyertakan pekerjaan rumah: tidak sekadar menjadi doktor, melainkan menjadi insan terdidik yang terlibat mengabdikan dirinya untuk kehidupan yang lebih baik di Papua. Bukan menjadi doktor demi hidup diri sendiri dan orang-orang terdekatnya, namun mesti menjadi doktor untuk satu komunitas, satu bangsa, untuk seluruh dunia.

Johanes Supriyono adalah penulis buku Semiotika dan Melangkah ke Dunia Luas (Pengulatan Anak-anak Papua). Alumnus Magister Universitas Indonesia itu penulis kolom di www.majalahselangkah.com. Ia bisa dihubungi melalui: hansprie@gmail.com


Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di majalahselangkah.com. Kami menyadari bahwasannya tulisan ini sangat penting untuk kita pahami dengan baik demi sebuah pemahaman yang konstruktif dan idealis demi pendidikan yang masif di Papua.

Redaksi Matoa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar