Foto: Iustrasi |
Status di facebook Yermias Degei mengungkapkan bahwa di
Papua ada banyak doktor dan mastergolongan yang kedua ini jauh lebih
banyaktetapi kok hanya sedikit yang bersuara. Nada status itu
bertanya atau mempertanyakan apa yang mereka lakukan untuk Papua? Kok tidak
banyak kontribusi yang mereka berikan? Kok tidak banyak kaijan
yang mereka lakukan untuk mencerahi orang-orang sebangsa? Seperti ditulis oleh
Yermias, memang ada segelintir yang perannya sangat menonjol seperti Dr. Beny
Giay, Dr. Neles Tebay, dan Dr. Tom Wanggai. Para doktor ini demikian
artikulatif dalam persoalan Papua sekarang ini.
Saya
menikmati juga membaca komentar serba-serbi yang mengekor dari status itu.
Bahwa ada orang mendapatkan gelar 'doktor' atau 'master' dengan cara membeli,
seperti halnya membeli sepotong tempe goreng hanya saja harganya lebih mahal,
banyak orang tahu. Bahwa bagi sebagian orang menjadi 'doktor' atau 'master'
demi meraih jabatan atau posisi yang lebih tinggi dalam suatu hirarki, kita
tidak menutup mata. Sebagian orang ingin mendapatkan pengakuan berkat gelar
yang menempel pada namanya. Sampai-sampai kalau ada yang salah menuliskan gelar
pun orang bisa marah. Gelar adalah sarana untuk mencapai
kepentingan-kepentingan.
Gugatan
Yermias Degei, jika saya tidak keliru tangkap, mau mengatakan bahwa kalangan
terdidik ini diharapkan untuk kritis dengan keadaan Papua sekarang ini.
Artinya, bicara pada tataran ideal, orang terdidik itu hendaknya berjuang untuk
mendidik bangsanya yang belum mengenyam pendidikan sebaik mereka. Mereka
diharapkan untuk bisa membangkitkan kesadaran kritis orang-orang Papua. Akan
tetapi, rupanya harapan ini masih belum terpenuhi.
Kita
mesti membacanya dalam konteks sosio-historis Papua sekarang ini. Sejak otonomi
khusus digulirkan struktur kesempatan untuk menjadi elit lokal di Papua
berubah. Orang-orang Papua diarusutamakan. Lebih lagi kemudian disusul dengan
pemekaran yang entah kapan berhenti.
Pemerintahan
memiliki nomenklatur yang mesti diisi. Macam-macam klaim dipakai untuk bisa
menempati posisi yang tersedia. Persaingan terjadi tapi tidak sungguh-sungguh
ketat. Meski saya tidak mengerti persis jumlahnya, sebagian doktor dan master
itu menjadi elit lokal, sebuah posisi yang menawarkan peluang untuk menangguk
kuasa dan keuntungan. Perubahan sosial di Papua pasca-otsus memunculkan
godaan-godaan baru untuk menjadi elit.
Yang
lebih menantang untuk ditelisik selanjutnya adalah kesadaran yang tumbuh di
antara elit baru Papua ini: Apakah mereka memiliki kesadaran yang sama dengan
banyak 'orang jalanan' yang perhatian dengan persoalan HAM, ketidakadilan,
kerusakan lingkungan, di Papua atau mereka memiliki kesadaran yang berbeda?
Bisa
jadi para elit ini, yang banyak mendiami gedung-gedung pemerintah, memiliki
pengalaman yang berbeda dengan rakyat biasa yang tinggal di kampung-kampung
yang hutannya terus dihabisi. Juga berbeda dari para aktivis yang secara
konstan mendapatkan teror dari negara. Kesadaran mereka berbeda dari para
mahasiswa yang rajin berdiskusi tentang keadaan Tanah Papua. Birokrasi bisa
menjadi alat dan cara yang dengan diam-diam efektif menumpulkan kesadaran.
Kiranya
sebagian elit lokal memiliki situasi hidup yang lebih nyaman. Mereka terjamin
secara ekonomi dan memiliki kuasa untuk mengupayakan berbagai kemudahan.
Dibandingkan dengan banyak orang Papua lain, keadaan mereka lebih baik. Ini
adalahstatus quo yang mereka pertahankan. Boleh jadi mereka
mempertahankan status itu dengan tinggal diam, tidak bersuara, tidak melakukan
hal-hal yang malah bisa mengancam keadaan yang sudah baik itu.
Apakah status
quo semacam itu membuat kesadaran tidak lagi kritis? Barangkali iya.
Boleh jadi gelar doktor atau master memang untuk menikmati situasi yang nyaman,
bukan untuk menjadi kritis seperti seorang nabi.
Status
quo mencegah
para terdidik untuk terlibat lebih dalam kehidupan orang-orang Papua yang
mengandung risiko. Yermias melihat hanya segelintir orang dengan gelar akademik
tertinggi berani mengambil risiko untuk ikut bertanggung jawab atas kehidupan
orang-orang Papua ke depan. Misalnya dengan membangun kesadaran kritis
orang-orang Papua akan situasinya saat ini.
Dengan
begitu, sesungguhnya mereka yang bergelar doktor atau master dan menempati
posisi-posisi yang baik, tapi tidak memberikan kontribusi yang positif bagi
kehidupan di Papua adalah bagian dari masalah.
Saya
kira program seribu doktor untuk Papua yang sekarang ini masih berjalan
menyertakan pekerjaan rumah: tidak sekadar menjadi doktor, melainkan menjadi
insan terdidik yang terlibat mengabdikan dirinya untuk kehidupan yang lebih
baik di Papua. Bukan menjadi doktor demi hidup diri sendiri dan orang-orang
terdekatnya, namun mesti menjadi doktor untuk satu komunitas, satu bangsa,
untuk seluruh dunia.
Johanes Supriyono adalah penulis buku Semiotika dan Melangkah ke Dunia
Luas (Pengulatan Anak-anak Papua). Alumnus Magister Universitas Indonesia itu
penulis kolom di www.majalahselangkah.com. Ia bisa dihubungi melalui: hansprie@gmail.com
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di majalahselangkah.com. Kami menyadari bahwasannya tulisan ini sangat penting untuk kita pahami dengan baik demi sebuah pemahaman yang konstruktif dan idealis demi pendidikan yang masif di Papua.
Redaksi Matoa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar